Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Mendampingi Desa Menjadi Subyek Perubahan

Redaksi Desapedia

DESAPEDIA.ID merupakan portal berita yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap berita, informasi dan pengetahuan terkini tentang desa di seluruh Indonesia

Mendampingi Desa Menjadi Subyek Perubahan - Desapedia

Suasana Pedesaan (FOTO/Dok)

Pembinaan, pengawasan dan  pendampingan  desa menjadi tema penting yang perlu dibicarakan berkenaan dengan implementasi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa

Tujuan awal pendampingan adalah, untuk membantu dan mempersiapkan desa di berbagai aspek, terutama menyangkut kapasitas menghadapi perubahan fundamental sebagaimana diisyaratkan pada misi besar transformasi desa.

Sementara, pengawasan dimaksudkan agar, sistem demokrasi dan praktik akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dapat berjalan dengan baik.

Itulah tujuan mulia yang penting dimengerti. Masalahnya adalah, masing-masing desa di Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 74.910 desa itu, belum memiliki persiapan yang sama di berbagai aspek.

Kita menyadari bahwa kapasitas kelembagaan dan SDM perangkat desa maupun masyarakat untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta pengawasannya dalam kenyataannya masih lemah dan terbatas.

Tentu hal ini tidak bisa ditimpakan sebagai kesalahan desa, karena sesungguhnya desa hanya menjadi korban kebijakan masa lalu yang dapat dikatakan salah urus.

Sejarah menjadi catatan penting mengapa situasi seperti itu terjadi. Bagaimanapun juga kondisi dan nasib desa di Indonesia memang cukup beragam. Sebelum regulasi baru itu lahir, rata-rata nasib mereka termarginalkan.

Beban struktural yang dialaminya, sebagai warisan kebijakan lama terutama dijaman orde baru yang wataknya otoriter saat itu telah merusak eksistensi desa. Jika bicara desa, diidentikkan dengan situasi kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Itulah  fakta sejarah.

Perlakuan negara pada desa secara salah pada saat itu, mengakibatkan ketergantungan desa pada negara. Pola rekayasa dan dominasi supra desa telah menghancurkan sendi-sendi otonomi desa.

Dengan berbagai cara desa dilumatkan secara paksa melalui politik homogenisasi, yang pada saat itu pemberlakuan regulasi represif UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Proyek penguasaan negara pada desa mengakibatkan pelumpuhan sistematik oleh aktor-aktor negara yang beramai-ramai menguasai sumberdaya bersekutu dengan pemilik modal mengeksploitasinya atas nama pembangunan.

Disitulah bentuk perampasan otonomi desa oleh negara, karena pembangunan dirancang dari atas dan sesuai selera pemilik modal. Suatu cerita kelam masa lalu.

Sekalipun ada sejumlah desa yang kebetulan bernasib baik, hal itu rata-rata karena daerahnya kaya, atau dapat dikatakan kebetulan pemimpin daerahnya berhati baik.

Sebut  saja desa-desa yang berlokasi dekat dengan area kandungan minyak dan gas, hutan atau perkebunan, maupun kekayaan alam sejenis kemudian menetes ke bawah sampai ke desa.

Maraknya bantuan yang diwadahi dalam program-program corporate social responsibility (CSR) misalnya, jelas menjadi rejeki bernilai untuk desa. Namun sebaliknya, jika ada daerah tidak memiliki kelimpahan sumber daya alam (SDA), desa cenderung makin menderita.

Wajar saja jika dorongan untuk mewujudkan keadilan antar desa sebagai penyangga Republik, sebagaimana pesan kuat UU Desa sangat relevan.

Keadilan struktural atas hak dan kewenangan menjadi tema sentral itu, yang berarti kesempatan mengakses sumberdaya jatah kue pembangunan, agar kesenjangan sebagaimana dimaksudkan tidak terjadi.

Fakta bahwa desa masih gagap, “ibarat siuman bangun dari tidur”, membutuhkan pertolongan awal berupa pembinaan, pendampingan, sekaligus pengawasan untuk menata diri. Menyiapkan piranti yang sesuai kebutuhan didalam mengawali babak baru, agar desa mampu menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan sesuai amanat perundangan.

Bagaimana pendampingan desa dirancang dan diimplementasikan?

Desa, dari Objek Menjadi Subjek

Merespon kebutuhan pendampingan desa, juga konsekuensi mandat UU Desa, Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah membuat kebijakan berkenaan dengan penyiapan pendampingan desa ini melalui terbitnya Peraturan Menteri (Permen) No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.

Dirumuskan secara eksplisit tujuannya, mengutip dari Pasal 2 adalah

  • a) Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa
  • b) Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif
  • c) Meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antarsektor, dan
  • d) Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris

Secara eksplisit tergambarkan betapa pendamping memiliki peran penting membantu mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan memfasilitasi rancangan perubahan sesuai kehendak dan kesepakatan seluruh komponen desa.

Hal itu terutama penataan sistematis, baik lingkup desa maupun supradesa, agar lebih baik. Diantaranya menyangkut hal tata kelola pemerintahan desa, penguatan dan pemberdayaan partisipasi warga serta orientasi penyelenggaraan pembangunan desa yang berkualitas.

Terlebih yang penting mengembalikan modal sosial dengan mervitalisasi sumberdaya ekonomi, sosial budaya dan politik sebagai pilar perubahan desa.

Dalam konteks demikian, tanggung jawab para pendamping tentu tidak ringan dengan berbagai variasi kondisi di lapangan. Jika dirinci, para pendamping paling tidak mengerjakan beberapa hal diantaranya:

  1. mendampingi Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa
  2. mendampingi Desa dalam melaksanakan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana prasarana desa, dan pemberdayaan masyarakat desa
  3. melakukan peningkatan kapasitas bagi Pemerintahan desa, lembaga kemasyarakatan desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, bahkan juga
  4. melakukan pengorganisasian di dalam kelompok-kelompok masyarakat Desa
  5. melakukan peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa dan mendorong terciptanya kader-kader pembangunan Desa yang baru
  6. mendampingi Desa dalam pembangunan kawasan perdesaan secara partisipatif, serta
  7. melakukan koordinasi pendampingan di tingkat kecamatan dan memfasilitasi laporan pelaksanaan pendampingan oleh Camat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Dengan begitu, jika mendapatkan pendamping yang tepat, berkapasitas memadai mengetahui seluk-beluk dan pokok persoalan substansial, serta kemampuan teknis memadai, kehadiran pendamping tentu akan teringankan beban desa.

Itu normatif dan idealnya.

Bagaimana agar mendapatkan pendamping seperti itu?

Pada awalnya sempat muncul perdebatan soal rekruitmen pendamping desa ini. Tarik ulur blok dan kepentingan terjadi, yang pada saat itu sempat agak “memanas”.

Ada satu kelompok berpendapat dan mengusulkan agar pendamping desa diambilkan “secara otomatis” dari para mantan fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

Alasannya, merekalah yang mengklaim dirinya paling siap tinggal menjalankan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mengonversi kedalam program pendampingan desa dalam skema baru UU Desa.

Sementara ada pihak juga, yang dinilai masuk dalam blok politik tertentu berkepentingan menguasai program pendampingan desa dengan tujuan dan target pragmatis, yakni memasukkan kader-kadernya yang dapat berperan sebagai agen dan mesin politik kelak termanfaatkan dalam pemilu, atau agenda politik lainnya.

Tentu hal demikian tidak terartikulasikan secara eksplisit. Kepentingan dan nalar seperti ini sangat logis, dan mudah dibaca watak pragmatisnya, dimana para pendamping berperan mengorganisir masyarakat desa untuk kepentingan pemilu, misalnya.

Jika dikembalikan pada semangat awal UU Desa bahwa pendampingan itu fungsinya membantu dan menjadi mitra kerja, maka pendampingan itu tujuan mulianya mendorong akselerasi agar desa mampu menjadi subjek perubahan.

Karena itu tidak etis jika dilandasi sekadar motif mencari kerja atau bahkan projek operasi politik, yang celakanya karena tumpuan motif tersebut mengabaikan kapasitas dan kepentingan utama desa.

Pendampingan desa sudah seharusnya diformulasikan melalui pendekatan baru sebagai konsekuensi kebutuhan pola dan corak kontekstual sebagaimana mandat UU Desa.

Dengan demikian, untuk memperoleh pendamping yang sesuai kebutuhan desa, idealnya dalam rekruitmen menetapkan prasyarat normatif sesuai perundangan, mempertimbangkan dimensi sosiologis kondisi desa.

Hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa penyelenggaraan rekruitmen dilakukan secara transparan dan terbuka, untuk mencegah permainan “gelap” oleh siapapun.

Karena itu siapapun baik para mantan fasilitator PNPM, aktivis NGO, kader-kader politik tertentu, atau aktivis lain hendaknya diperlakukan sama. Kuncinya memenuhi syarat substansi dan teknis, proses yang transparan dan akuntabel.

Idealnya, pendamping mempunyai dasar mentalitas aktivisme, komitmen membantu desa, serta memiliki pengetahuan dan keterampilan soal desa.

Pada awal-awal rekruitmen, tahun 2015, sempat terjadi sengkarut soal pendampingan ini dan menjadi sorotan publik. Dibayangi ketegangan antar kelompok sebagaimana diilustrasikan di atas, sistem pencarian pendampingan dinilai tidak sesuai harapan.

Selain dinilai kurang transparan, juga dinilai sistem rerkuitmen pendamping mengalami kedodoran. Banyak isu berseliweran, mulai dari tuduhan titipan, tidak sesuai kapasitas, serta adanya tudingan jatah-jatahan membayangi perdebatan saat itu, yang melahirkan reaksi negatif.

Kita tidak boleh menutupi memang sebelum-sebelumnya urusan proses rekruitmen pendampingan belum beres. Kontroversi soal pendampingan desa semestinya tidak perlu harus berlarut-larut.

Apalagi terjadi saling tuduh di sana sini, karena kesemua itu berdampak tidak menguntungkan dalam rangka mengawal desa sesuai mandat UU Desa. Harus diakui, bahwa masa transisi tahun 2015 lalu soal pendampingan dapat dikatakan masih bersifat darurat.

Banyak kelemahan dan keterbatasan yang harus dikoreksi, sebagai akibat sejak awal memang tidak dipersiapkan grand design oleh kementrian terkait, sehingga melahirkan berbagai langkah yang dinilai kontra produktif.

Apapun hal demikian akan menciptakan berspekulasi, apalagi saat itu konsolidasi antar kelembagaan nasional juga masih belum solid.

Perseberangan dan ketegangan antara Kementerian Desa dengan Kemendagri, saat itu, yang juga berakar dari problem pemilahan kewenangan yang tidak tuntas akhirnya meluas berbau aroma persaingan politik.

Bahkan, pada saat itu sempat terjadi “perang urat syaraf” antara Kemendagri dan Kemendes yang bersumber soal rekrutimen pendamping desa ini.

Jika dikembalikan semangat awalnya, pendamping desa punya tugas mulia mengawal realisasi agenda-agenda strategis desa dan berbagai program lain supaya bermanfaat dan bermakna.

Dari banyaknya cerita miris soal proses seleksi yang dinilai kurang transparan dan berkeadilan pada awal-awal proses rekruitmen itulah, kemudian pada tahun 2016 secara bertahap dibenahi, yang relatif lebih baik, dimana mekanisme rekruitmen diserahkan kerjasama dengan perguruan tinggi.

Namun begitu, penyelenggaraan oleh perguruan tinggi tidak serta merta hasilnya dapat optimal sesuai harapan, karenanya masih membutuhkan pengawalan bersama pantauan publik, dari substansi sampai urusan teknis, untuk memastikan kredibel dan akuntabel.

Meninggalkan Pendampingan “Bergaya Robot”

Bagaimana implementasi kerja para pendamping desa? Banyak cerita berkaitan dengan kinerja pendampingan desa sepanjang 2015 sampe 2017. Ada khabar baik, banyak juga kisah buruk.

Perkembangan desa selama tiga tahun berjalan, beberapa pengalaman desa menunjukkan betapa kehadiran pendamping desa sangat diperlukan. Bahkan dianggap berkontribusi positif membantu memudahkan penataan administrasi, pelaporan serta keuangan desa (IRE, 2016).

Beragam kesulitan yang dialami perangkat desa, misalnya terkait dengan penyusunan RPJMDes, RKPDes, APBDes sampai dengan pertanyaan seputar peraturan desa (perdes) larinya ke pendamping desa.

Mereka membantu terutama menerjemahkan berbagai peraturan dari atas sampai bawah, kedalam langkah-langkah konkrit sehingga menjadi pemandu desa dalam memecahkan masalah.

Begitu pula peran pendamping didalam memfasilitasi pelibatan warga, terutama sektoral seperti kelompok tani, karang taruna, ibu PKK dan seterusnya saat merumuskan program-program desa.

Peran semacam ini terutama dirasakan oleh desa-desa yang tergolong masih terbelakang. Dalam konteks semacam ini, layak kita apresiasi peran pendamping desa.

Namun demikian, di lapangan tidak sedikit ditemukan cerita-cerita miring mengenai pendamping desa. Dalam perkembangannya, karena problem rekruitmen itulah, berdampak pada kinerja pendampingan yang belum maksimal sesuai yang diharapkan.

Selain soal kapasitas tidak sepenuhnya sesuai yang diharapkan, distorsi di lapangan menggambarkan pendamping seringkali mengalami penolakan oleh pemerintah desa maupun masyarakat, konflik serta tidak sinkron dengan tugas dan fungsi normatif sebagaimana dijelaskan dalam regulasi.

Banyak keluhan di kalangan perangkat desa atas peran pendamping desa yang gagal memahami konteks masalah desa, tidak pandai menerjemahkan tugas normatif kedalam peran praksis di lapangan.

Problem itu diantaranya, menyangkut buruknya kapasitas  pendamping yang dinilai tidak mampu berperan menjalankan tugas sebagaimana mestinya; dalam berkomunikasi kurang proaktif, bahkan tidak kooperatif.

Pada sejumlah kasus, para pendamping desa bahkan jarang muncul ke desa dampingan. Berdasar keluhan perangkat desa misalnya, pendamping mendatangi desa pada saat membutuhkan data-data sebagai syarat administratif untuk pencairan honor.

Hal semacam ini sungguh ironis, yang tidak semestinya terjadi jika pendamping memiliki komitmen dan tanggung jawab membantu dan memberdayakan desa. Tetapi apa mau dikata, jika pendamping tidak memiliki track record atau pengalaman yang cukup, atau katakalah “seni berdesa”, komitmen yang diharapkan tentu sulit terwujud.

Implikasinya, tidak heran jika corak kerja yang dilakukannya ibarat mesin, bekerja mekanistik. Jika diibaratkan, para pendamping semacam itu hanya seperti robot mengerjakan sesuatu jika ada permintaan dan bersifat kaku, bekerja dalam perangkap juklak juknis (administratif).

Padahal, sejatinya pendamping desa harus mampu memiliki daya kreatif menumbuhkan inisiatif-inisiatif baru yang tujuannya meningkatkan partisipasi masyarakat.

Jika mengaitkan dengan kemauan awalnya, pendampingan secara prinsipil berbeda dengan pembinaan. Dalam pembinaan, antara pembina dan yang dibina, mempunyai hubungan yang hirarkhis; bahwa pengetahuan dan kebenaran mengalir satu arah dari atas ke bawah.

Sebaliknya dalam pendampingan, para pendamping berdiri setara dengan yang didampingi (stand side by side), yang dimaknai sebagai “menemani”.

Di situlah, misi besar pendampingan desa idealnya memberdayakan desa sebagai self governing community yang maju, kuat, mandiri dan demokratis.

Kegiatan pendampingan membentang mulai dari pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesadaran kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi- organisasi warga, memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat musyawarah desa sebagai arena demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut jejaring dan kerjasama desa, hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dan masyarakat.

Jika dianalisis dan dicermati secara mendalam, pola penyelenggaraan “project” pendampingan desa ini dapat dikatakan terlalu instrumental. Mobilisasi para pendamping desa dalam waktu yang singkat, –terkesan drop-dropan– dilakukan begitu cepat tanpa mempertimbangkan berbagai aspek dan sisi.

Karena  proses yang instan berdampak hasil para pendamping yang tidak begitu baik. Lagi-lagi hal demikian juga dipengaruhi paradigma berfikir para penyelenggara kebijakan baik tingkat pusat maupun propinsi yang “kurang serius” mengolah dan menggodog program pendampingan ini, bahkan mereka gagal memahami kebutuhan desa.

Mengembangkan Pendampingan Organik

Pada dasarnya pembaharuan desa tentu membutuhkan perspektif, metode, praktik kerja dan SDM para pendamping sesuai tantangan yang ada saat ini dan kedepan.

Momentum pembaharuan yang dipesankan secara eksplisit didalam UU Desa dapat dimaknai sebagai struktur kesempatan bagi desa untuk menata ulang dan memperkuat dirinya dengan “gerakan pemberdayaan” yang sesungguhnya.

Dengan begitu, pendekatan lama dalam hal pendampingan desa yang diterapkan sebelum UU Desa, dalam beberapa hal secara mendasar perdlu dikoreksi, diberbaiki sesuai dengan relevansi desa baru.

Baik menyangkut orientasi, arena, isu, kebutuhan, dan pola relasi kuasa dan struktur ekonomi politik desa telah berubah sehingga perlakuan desa harus berubah.

Konsep desa sebagai subjek, dan bukan objek, perubahan hendaknya menjadi pertimbangan utama, sehingga mempengaruhi bagaimana kerja pendamping dalam memperlakukan desa

Pada dasarnya, pengertian atau cara pandang desa sebagai subjek dilandasi keyakinan, bahwa dibalik keterbatasan dimana desa dahulu diidentikkan dengan kemiskinan dan keterbelakangan itu, menyimpan kekuatan politik dirinya untuk bangkit membawa pola baru untuk berdaya.

Meminjam istilah Chambers (1988), desa memiliki kemampuan survive mengatasi tekanan,  yang dapat diolah menjadi modalitas transformasi diri beradaptasi dengan struktur kesempatan baru (Mc Adams, 1982) yang ada menghasilkan desa baru (Sutoro, 2017) yang lebih bermartabat.

Dengan begitu pendamping dituntut memiliki kepekaan atau sensitivitas dengan landasan kepemihakan membela desa dari keterpurukan menuju transformasi yang lebih bermakna baik.

Mendampingi desa berarti membela desa, menemani desa, membantu serta memotivasi untuk menggerakkan energy kolektif atas potensi kekuatan dari dalam desa. Membebaskan desa dari belenggu keterpurukan, yang secara kontekstual ketidaktahuan, ketidaksadaran dan kepasifan.

Bagaimana mungkin seorang pendamping akan mampu membebaskan desa dari belenggu jika dalam diri pendamping tidak memiliki “ideologi” atau nilai-nilai kepemihakan.

Jika hal ini diturunkan secara praksis maka, kemampuan pendamping memahami substansi dan teknis itu merupakan turunan dari ideologi kepemihakan pada desa.

Jika demikian, maka pengertian pendampingan desa berarti mengawal, memperkuat kapasitas serta memfasilitasi potensi yang dimiliki agar berkembang, baik dalam kaitannya partisipasi, mengorganisir menciptakan persenyawaan kepentingan stakeholders desa, merevitalisasi modal sosial serta mengolah kemampuan dan ketrampilan teknis yang pada akhirnya membantu kelancaran tugas pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan desa (FPPD, 2016).

Agar pihak dan komponen Desa mampu berproses, mengalami akselerasi sebagai subjek perubahan di grassroot, sehingga mampu aktif terlibat aktif dan mempengaruhi kebijakan strategis di desa.

Jangan sampai sebaliknya, kehadiran pendamping desa justeru menciptakan beban baru bagi desa, baik itu menyangkut urusan teknis administratif maupun hal-hal yang memerosotkan kepercayaan pada cita-cita perubahan.

Apalagi, desa dibombastis dengan ancaman, serta dieksploitasi dengan tarik-menarik kepentingan politik oleh siapapun yang memanfaatkan praktik pendampingan ini.

Peran pendamping desa, ibarat fasilitator yang membantu menggali dan memetakan problem dan kapasitas melalui model partisipatorik, menemukan akar masalah, mencari pendekatan yang sesuai, menjalani proses yang lebih menonjolkan ajakan dengan orientasi pelibatan diri (active citizenship) dengan mendapat hasil secara bersama (STPMD, 2017).

Pendamping kuncinya kemampuan memadukan kapasitas bersama untuk kekuatan  bersama desa (Totok Rahardjo, dalam IRE, 2016). Hal ini bisa diperankan oleh siapa saja, dimana pelibatan mereka berangkat dari aktivis LSM, akademisi, pekerja sosial, maupun kelompok lain, yang paling tidak ketrampilan menstimulan gerak nadi komunitas; menyemai bibit keberdayaan sebagai pilar warga yang aktif dan kritis.

Itulah yang dimaksudkan, bagaimana kreativitas dan kecerdasan pendamping menstimulasi tumbuh dan berkembangnya potensi warga untuk menjadi subjek aktif.

Kerja mengaktivitasi warga ini dapat berbasis sektoral (kelompok petani, perempuan, pemuda, buruh, nelayan dst) maupun territorial (tingkat dusun, RT, atau komunitas sejenis).

Karena misi pendamping semacam itu, diharapkan dalam jangka menengah dan panjang akan tumbuh agencies, pada masing-masing sasaran.

Dengan demikian, pada dasarnya pendampingan perlu dipahami sebagai kerja “sementara” sampai subjek yang didampangi mampu “dewasa”, serta akfif mandiri.

Situasi semacam itu ukurannya adalah kemampuan mentransformasikan kesadaran diri subjek secara kolektif. Cara pandang “dewasa dan aktif” tentu cara versi subjek yang didampingi, bukan hasrat dan kepentingan fasilitator (Flamma, 2014).

Itulah yang dimaknai dengan misi membangun kesadaran emansipatorik, kesadaran aktif warga yang tumbuh berakar dari mereka, dan karenanya bersifat organic, yang dapat dirumuskan dalam skema pendampingan organik (Sujito, 2015)

Itulah menjadi kunci kebangkitan warga

Dalam pengertian lebih jauh, pendampingan organik ini barangkali bisa ditafsirkan seperti kader desa. Berkenaan dengan ini, kader desa ibaratnya orang yang dibentuk untuk memegang peran penting (orang kunci) dan memiliki komitmen dan dedikasi kuat untuk menggerakan organisasi mewujudkan visi misinya

Mereka ini berperan mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat aktif dalam proses belajar sosial yang dilaksanakan oleh seluruh lapiran masyarakat desa.

Kader-kader Desa hadir di dalam pengelolaan urusan desa melalui perannya sebagai kepala desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat; tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; pengurus/anggota kelompok tani; pengurus/anggota kelompok nelayan; pengurus/anggota kelompok perajin; pengurus/anggota kelompok perempuan. Kader Desa dapat berasal dari kaum perempuan dan laki-laki dalam kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa dengan usia tua, kaum muda maupun anak-anak.

Kembali jika dikaitkan dengan misi UU Desa, posisi kader desa yang berasal dari warga desa itu sendiri berkewajiban untuk melakukan “upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa”, apa yang diitilahkan Sujito (2015) sebagai pendamping organik.

Fokus pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang untuk melakukan kaderisasi terhadap komponen masyarakat lainnya (Kemendes, 2015).

Harus disadari, bahwa keragaman kondisi dan kemajemukan karakter desa, serta kondisi ekonomi politik yang menggambarkan “fragmentasi dan gap” satu sama lain membutuhkan pendekatan pemberdayaan desa tentu bersifat kontekstual.

Pendampingan bukan bersifat generik yang menyamaratakan situasi desa seragam. Sebutlah ada desa-desa yang maju, mandiri dan kuat dalam proses pembangunan, namun masih banyak desa yang mengalami nasib “terbelakang” dan tidak berdaya, baik karena dampak kebijakan ekonomi politik (struktural), juga karena bersemayam akar kultural dalam rentang sejarah lama. Situasi inilah menjadi titik tolak perubahan model pendampingan.

Pemahaman atas semua ini mendorong kita meyakini bahwa tidak mungkin menggunakan pendekatan yang sama  (generik) dalam pendampingan desa.

Dengan demikian pendampingan adalah perspektif yang unik, kontekstual, berakar dan berbaur secara organik bersama komunitas desa. Dengan demikian mengenai pendampingan tidak mungkin dibuat rumus tunggal dan umum (Arie Sujito, 2015). Pendekatan pendampingan bertumpu pada problem, kebutuhan dan orientasi desa sebagai subjek perubahan.

Gagasan yang relevan untuk menjawab tantangan itu adalah perspektif pendampingan organik. Sebagai paradigma alternatif mengandung maksud, bahwa kemandirian desa akan tumbuh jika mereka diyakinkan kapasitas dirinya, dan aktor-aktor komunitas lahir yang bisa menjadi agen pembaharuan bersama rakyat desa; itulah kekuatan otentik motor perubahan secara emansipatoris.

Cara pandang ini maknanya masyarakat akan bangkit oleh dirinya. Aktor-aktor yang berakar dari desa, memiliki pengalaman historik dan kultural, menjadi kekuatan penting, dimana dirinya menjadi agen-agen di masyarakat yang akan mampu mendampingi dan mempengaruhi struktur sosial di komunitasnya masing-masing.

Itulah pentingnya tumbuh dan berkembang spirit relawan warga yang ditransformasikan menjadi fasilitator dan pendamping warganya. Pertanyaannya adalah, bagaimana memulai agar agen, relawan dan fasilitator otentik lahir dan tumbuh secara organik dari komunitas?

Saatnya kita perlu mendifinisikan ulang konsep kemandirian, subjek, orientasi, perspektif dan pendekatan yang bertumpu kekuatan lokal secara otentik.

Desa harus dibebaskan dari politik dominasi negara, hegemoni pasar dan oligarkhi elit lokal komunitas. Agar mampu membaca dan menganalisis problem, kapasitas dan orientasi perubahan maka hindari jebakan kolonisasi pendampingan; mengubah pendekatan pendampingan “corak kimiawi menjadi organik”.

Pendekatan ini butuh waktu, dalam konteks implementasi UU Desa, membutuhkan masa transisi menuju “pemberdayaan yang berakar dari dalam” dan stimulasi dari luar jangan sampai menjadi “racun baru” tetapi harus menjadi “vitamin alternatif”.

Dalam jangka pendek debat soal ideologi yang diturunkan kedalam perspektif dan pendekatan pendampingan harus dilakukan; tidak sekadar “berkutat pada instrumental dan teknokrasi”.

Fasilitator adalah subjek dalam pemberdayaan masyarakat. Namun pendampingan organik justru menempatkan masyarakat menjadi subjek aktif yang berperan secara emansipatif mengenali problem dirinya, kapasitas dan merumuskan cara dan strateginya mengatasi masalah.

Itulah pokok masalah, strategi memperkuat kapasitas masyarakat menuju transformasi desa. Fasilitator yang hebat untuk pendampingan desa tentu memegang kunci sebagai utama, yakni kemampuan dan kecerdasan mengaktivasi kesadaran kritis secara otentik warga desa.

Masa depan desa jika dikaitkan dengan implementasi UU Desa sangat dipengaruhi bagaimana paradigma dan pemikiran berdialog dengan realitas empirik yang ada saat ini.

Jika pendampingan desa dimaknai sebagai salah satu faktor penting, maka konstruksi pendampingan jangan sampe terjebak dengan urusan teknis administratif semata. Persis apa yang terjadi sejauh ini, penyiapan implementasi UU Desa masih didominasi wacana teknis, pandangan terlalu teknokratik administratif, yang dalam beberapa hal terjebak pada birokratisasi.

Desa harus didorong berinisiatif untuk memaknai regulasi itu secara emansipatorik. Substansi soal demokrasi desa, tata pemerintahan yang baik, penataan aset dan sumberdaya agraria, penguatan ekonomi desa, bahkan soal keadilan ekologi harus mendapatkan porsi pembicaraan yang berimbang.

Kerja pembaharuan desa bukan semestinya berangkat dari jebakan perselisihan teknis administratif, yang ujung-ujungnya sekadar “menakut-nakuti desa”.

Energinya habis untuk membahas hal-hal teknis instrumental yang begitu asing dengan desa. Padahal sejak awal UU Desa dirancang bukan untuk mempersulit desa, namun harus membantu dan memperkuat kebangkitan desa dari keterpurukan.

Debat dan pembicaraan harus diwarnai pertarungan perspektif yang lebih mendalam mengenai arah atau orientasi pembaharuan desa akan dibawa kearah mana.

Jika hal-hal substansi ini berproses dengan lebih mendalam dan hangat, maka kerangka teknis dan administrasi serta pengaturan mengenai keuangan desa sudah semestinya berakar dari dimensi substantif yang melandasinya.

Perlu dievaluasi penerapan pendampingan yang ada sejauh ini, terutama mempertimbangkan sengkarut yang ada didalamnya. Berbagai spekulasi mengenai problem rekruitmen, kompetensi, serta derajat penerimaan dan resistensi atas pendamping menjadi masalah serius.

Termasuk gejolak politisasi berlebihan atas rekruitmen berdampak pada ketidakpercayaan pada tata kelola pendampingan. Beberapa hal di bawah ini barangkali dapat dipertimbangkan sebagai resolusi.

  1. Rekruitmen pendampingan perlu dilakukan oleh konsorsium independen (perguruan tinggi dan CSO) yang kredibel di tingkat nasional kerjasama dengan daerah.
  2. Katagorisasi pendampingan; desa dan kabupaten porsinya sesuai tingkatan kebutuhan dengan melandaskan katagori desa maju, sedang dan terbelakang.
  3. Kapasitas pendamping berkenaan: pengetahuan dan ketrampilan dasar, pengkhususan dan pengembangan.
  4. Mekanisme pengawasan atau kontrol pendampingan dilakukan melalui cluster daerah (region) dengan dibentuk koordinator.
  5. Pemanfaatan pendamping desa dan coordinator kabupaten hendaknya perlu mendorong tumbuhnya kader-kader organik desa dengan berorientasi pada gerakan relawan desa.

Memperbaharui Partisipasi

Cerita desa, berarti membicarakan partisipasi warga. Apa yang berubah terkait dengan partisipasi desa? Apa yang dapat dijelaskan dengan partisipasi sosial sejak proses perubahan terjadi di desa?

Dalam semesta pembicaraan ini relevan kiranya mengaitkan penguatan partisipasi warga dengan demokrasi tersebut menjadi modalitas penting dan berharga untuk mendorong terwujudnya pemerintahan desa yang responsif dan warga negara yang kritis. Itulah yang dicita-citakan dengan demokrasi emansipatorik.

Situasi semacam ini membawa konsekuensi kebutuhan perubahan dalam hal model dan kualitas partisipasi. Pengalaman masa lalu sistem pemerintahan yang toriter dan korporatik (orde baru) partisipasi warga dimatikan, dan sekadar dikanalisi dalam disain proyek pembangunan yang top down.

Desa tentu mengalami “kebekuan” karena secara sistematik terus termarginalisasi. Sementara sejak era reformasi, paling tidak dalam rentang satu dekade, penataan desa belum berhasil mengeluarkan desa dari belenggu formalisasi partisipasi.

Apapun tajuknya, intrumentalisasi dan teknokratisasi atas partisipasi terlalu dominan, yang tidak menghasilkan “reformasi aspirasi”. Partisipasi tidak ubahnya masuk perangkap prosedur pembangunan, atau bagian kecil dari politik kebijakan yang berwatak formal.

Dalam perjalanan sejarahnya, partisipasi warga sangat dipengaruhi oleh sistem politik dan struktur sosial yang melingkupinya. Struktur masyarakat yang berkultur feodal, kecenderungannya arus aspirasi dimonopoli oleh pemimpinnya, dan sebaliknya kultur yang egaliter maka ruang untuk menyampaikan aspirasi lebih terbuka.

Suatu negara yang bercorak otoriter, tentu melakukan penyumbatan dan merepresi aspirasi warga, sehingga partisipasi tidak mendapatkan tempat. Sementara dalam sistem yang demokratis, partisipasi menjadi faktor penentu suatu produk kebijakan berpeluang berpihak pada kepentingan masyarakat. Mari kita lacak perjalanan partisipasi warga era otoriter sampai dengan jaman reformasi.

Di bawah kekuasaan Orde Baru, negara selalu dianggap sebagai institusi “serba tahu” tentang segala hal kehendak warganya. Kebijakan-kebijakan politik, sosial dan ekonomi (menyangkut kepantingan publik) yang ditetapkan rezim berkuasa, selalu menisbikan kehendak rakyatnya.

Kendatipun institusi-institusi politik formal tersedia, tetapi praktiknya selalu diterobos. Lembaga politik representasi hanyalah sebagai “etalase”, tidak pernah berfungsi sebagaimana mestinya. Pemekaran kekuasaan negara tersebut berdampak pada terbonsainya aspirasi masyarakat dan kian tidak berdaya (powerless).

Keberadaan lembaga-lembaga politik yang secara normatif berfungsi sebagai saluran strategis aliran aspirasi tidak bermanfaat langsung bagi perubahan nasib rakyat.

Lembaga perwakilan diberbagai tingkatan “ompong”, oleh karena bekerjanya kooptasi pemerintah. Proses seperti inilah yang disebut, negara tengah menjalankan politik korporatik. Adalah sistem politik dengan menghadirkan organisasi-organisasi sosial, politik dan kemasyarakatan, tetapi fungsinya hanyalah sebagai agen politik negara (Mas’oed, 1989).

Karena sebagai agen kekuasaan negara itulah, lembaga melakukan kontrol terhadap perilaku warganya. Wajar saja jika lahir kepatuhan massa, ketaatan, dan loyalitas pada kekuasaan. Mengikuti perintah negara bukan karena kesadaran, tetapi oleh karena ancaman dan represi secara sistematik atau hegemoni.

Akibatnya terjadi penumpulan kemampuan inisiasi dan daya kritis warga memahami realitas sosial sosial di sekelilingnya. Itulah distorsi lembaga perwakilan dalam proses politik.

Wacana partisipasi makin menarik seiring demokratisasi yang berlangsung sejak berakhirnya politik otoriter, orde baru. Di Indonesia, tema partisipasi ini mendasarkan pada bentuk pelibatan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, didalam proses pengambilan keputusan. Katagori keputusan itu tentu menyangkut kepentingan warga, baik tergolong strategis maupun hal-hal yang bersifat umum.

Poin penting yang perlu dicatat adalah, segala bentuk kebijakan publik tentu harus dikaitkan dengan partisipasi warga. Diawali dengan regulasi UU No. 22/1999 mengenai pemerintahan daerah, telah dijadikan sebagai landasan yuridis menggeser lokus politik ke arah daerah (lokal).

Kemudian diganti regulasi tersebut menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Disanalah, semestinya terjadi desentralisasi kewenangan dari negara ke masyarakat. Melalui otonomi dan desentralisasi itulah, diharapkan mampu melahirkan partisipasi aktif dan menumbuhkan kemandirian.

Dengan begitu, partisipasi warga menjadi dasar utama proses demokratisasi (Ari Dwipayana dkk, IRE, 2004).

Ilustrasi dinamika lokal (daerah dan desa) barangkali dapat dijadikan cermin perubahan itu. Tumbuhnya minat warga untuk berperan aktif dalam proses politik dan kegiatan terlihat dari keinginan warga memperkuat lembaga-lembaga politik lokal dan forum-forum kewargaan.

Baik itu berbasis asosiasi-asosiasi sosial dan politik, utusan teritorial, kelompok-kelompok kepentingan berlandas pekerjaan, kaum profesional, atau golongan kepemudaan dan perwakilan perempuan, keagamaan, serta sejenisnya.

Kehadiran parlemen warga komunitas, telah menjadi harapan baru bahkan impian yang ditunggu-tunggi agar menjadi saluran efektif atas aspirasi warga dalam pembangunan di aras lokal desa.

Lembaga ini dapat berperan dalam fungsi legislasi, kontrol formal, dan pemberdayaan (empowering) masyarakat.

Misalnya, merumuskan program kerja, penetapan penganggaran keuangan serta prioritas pelaksanaan pembangunan telah dilakukan dengan cara koordinasi dan konsultasi pemerintah (kelurahan/ desa) dengan masyarakat melalui lembaga parlemen. Termasuk penyusunan peraturan desa (Sutoro dkk, 2014). Fakta demikian merupakan perubahan mendasar tata politik di tingkat bawah.

Demikian halnya mengenai bangkitnya lembaga-lembaga sosial lokal. Semenjak aroma reformasi merebak awal reformasi itu, organisasi masyarakat sipil kembali mulai eksis, setelah dilakukan rehabilitasi.

Bahkan, dengan cepat bermunculan komite-komite ad-hoc yang sebagian besar dimotori oleh para pemuda, untuk melakukan gerakan-gerakan protes sosial atas berbagai bentuk kesewenang-wenangan peninggalan masa lalu.

Banyaknya pejabat kelurahan/desa, bupati/ walikota dan anggota DPRD yang diseret ke pengadilan karena tuntutan warga masyarakat merupakan contoh kasus meledaknya partisipasi warga yang berlangsung secara ekstraparlementer.

Keberadaan asosiasi-asosiasi kewargaan yang pada mulanya tidak memiliki fungsi mempengaruhi kebijakan, kemudian mulai dimanfaatkan sebagai alat dan media aspirasi. (FPPD, 2015). Bagaimana formulasi partisipasi dalam sistem demokrasi di aras lokal desa?

Merujuk dari pengertiannya, partisipasi meliputi keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan-keputusan, dalam pelaksanaan program, andil mereka dalam memanfaatkan program pembangunan dan keterlibatan mereka dalam usaha mengevaluasi program itu.

Partisipasi juga berkaitan dengan usaha terorganisir meningkatkan kontrol atas sumberdaya dan  institusi regulasi. Pembangunan dan kebijakan partisipatif merupakan bentuk kemitraan yang dikembangkan berdasarkan dialog diantara berbagai macam stakeholder. Selama dialog dan proses kebijakan tersebut agenda disusun bersama, berbasis pandangan lokal dan pengalaman asli.

Dari pengertian itulah, partisipasi warga dibangun oleh landasan nilai-nilai ideal sebagai berikut

  • Unsur kesadaran yang lahir dari dalam dalam diri warga secara otentik untuk terlibat dalam proses politik dan pembangunan. Nilai inilah yang membedakan partisipasi dengan dengan mobilisasi atau instruksi
  • Penempatan diri warga sebagai subjek kebijakan dan pembangunan. Jika warga ditempatkan sebagai subyek, dan bukan sebagai objek maka partisipasi menjadi dapat diukur
  • Peran-peran aktif yang sifatnya dialogis antar stakeholder sehingga menjamin kesetaraan. Hal ini mencakup tidak adanya tingkatan (stratifikasi) berdasarkan apapun dalam mengukur keterlibatan warga, pembedaan pendidikan, kekayaan, agama, suku maupun kelompok manapun, sehingga akan menghindari adanya diskriminasi
  • Suasana kebersamaan (kolektif) antar warga sebagai bentuk jalinan solidaritas sosial. Dengan demikian partisipasi didekatkan dengan semangat kebersamaan warga, tidak terbatas pada tingkat peran individual semata tetapi bersifat kolektif
  • Pelembagaan dan keberlanjutan (institutionalisation and sustainability). Maksudnya adalah terbangunnya kerangka aturan main dan koridor hukum yang disepakati bersama serta memiliki daya kekuatan yang panjang dalam memformulasi partisipasi warga. Sehingga membesarnya partisipasi bukan bersifat destruksi atas konstitusionalisme (aturan dasar) tetapi justeru memiliki korelasi positif dalam hal terbangunnya sistem yang lebih baik dan demokratis.

Partisipasi warga dalam politik dan pembangunan (kebijakan publik), sesungguhnya berhubungan dengan dua hal penting; pertama, hubungan struktural serta pentingnya pengembangan kapasitas dan keahlian rakyat untuk bernegosiasi dan mencari sumber daya yang mereka perlukan dalam memperbaiki hidup mereka, dan; kedua, metode dan teknik yang di dalamnya rakyat lokal dapat dibawa memainkan peranan dan untuk mengembangkan kontribusi dalam program pembangunan.

Jika dilihat dari manfaatnya, kedua tujuan tersebut sama pentingnya. Pada yang pertama berusaha mengamankan pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan bagi rakyat miskin, dan yang terakhir sangat penting dalam memberikan akses mendesak terhadap manfaat pembangunan.

Jika partisipasi warga ini dibumikan secara praksis, maka hal itu berkenaan dengan demokrasi desa. Dalam konteks ini, demokratisasi Desa merupakan misi penting dari UU Desa, dengan semangat utamanya pada pengakuan Desa sebagai subyek.

Hal demikian dipayungi secara tegas dari asas rekognisi dan subsidiaritas. Pengertian dari perspektif ini menunjukkan bahwa Desa bukanlah ruang dalam pengertian fisik yang kosong atau berjarak dari sosio budaya manusia yang tinggal di dalamnya.

Tetapi sebaliknya, konsep Desa merupakan kesatuan teritorial atau wilayah yang melekat dan terikat pada kehidupan manusia di atasnya beserta tradisi dan adat-istiadat yang menggerakkan kehidupan itu (Sutoro, 2015).

Dengan demikian, frase atau konsep demokratisasi Desa berarti upaya menggerakkan demokrasi dalam kekhasan Desa itu sendiri. Demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam semangat pengakuan keunikan dan kekhasan tradisi Desa (Kemendes, 2015).

Dirumuskan dalam kalimat lain, demokratisasi Desa harus dikembangkan dari kekayaan tradisi Desa sesuai asal- usul Desa dan pola sosio budaya masyarakat Desa itu sendiri.

Sehingga demokrasi Desa tumbuh hasil pergulatan masyarakat Desa dengan kekayaan sosio budaya yang mereka miliki, bukan cangkokan mentah-mentah dari luar.

Hal itu berarti, pembaharuan Desa melalui regulasi baru UU Desa hendaknya menjadi koreksi dan antithesis dari sistem sebelumnya.

Jika demikian, tentu diperlukan demokrasi yang berkualitas, yang bisa menembus atau melampaui dari sekadar instrumental atau prosedural, tidak berhenti warga memanfaatkan hak “kehadiran semu” dalam proses kebijakan namun mereka bisa mengakses hak, bersuara mengartikulasi kepentingannya, serta mampu mengontrol jalannya kekuasaan yang tercermin dalam pelibatan dirinya secara aktif pada proses kebijakan dan pembangunan.

Untuk mewadahi partisipasi warga tersalurkan musyawarah desa (musdes), arena dimana kontestasi dan pertarungan kehendak dilangsungkan sampai menghasilkan konsensus.

Produknya berupa dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), diturunkan menjadi rencana kerja pemerintahan desa (RKPDes), kemudian secara konkrit dianggarkan dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja desa (RAPBDes).

Itu artinya, desa secara otonom memiliki kewenangan mengambil keputusan strategis, merencanakan, menganggarkan dan mengimplemetasi serta mengawasi pembangunan.

Masa Depan Partisipasi

Masa depan desa jika dikaitkan dengan implementasi UU Desa sangat dipengaruhi bagaimana bagaimana paradigma dan pemikiran berdialog dengan realitas empirik yang ada saat ini.

Jika pendampingan desa dimaknai sebagai salah satu faktor penting, maka konstruksi pendampingan jangan sampe terjebak dengan urusan teknis administratif semata.

Persis apa yang terjadi sejauh ini, penyiapan implementasi UU Desa masih didominasi wacana teknis, pandangan terlalu teknokratik administratif, yang dalam beberapa hal terjebak pada birokratisasi.

Desa harus didorong berinisiatif untuk memaknai regulasi itu secara emansipatorik. Substansi soal demokrasi desa, tata pemerintahan yang baik, penataan aset dan sumberdaya agraria, penguatan ekonomi desa, bahkan soal keadilan ekologi harus mendapatkan porsi pembicaraan yang berimbang.

Kerja pembaharuan desa bukan semestinya berangkat dari jebakan perselisihan teknis administratif, yang ujung-ujungnya sekadar “menakut-nakuti desa”.

Energinya habis untuk membahas hal-hal teknis instrumental yang begitu asing dengan desa. Padahal sejak awal UU Desa dirancang bukan untuk mempersulit desa, namun harus membantu dan memperkuat kebangkitan desa dari keterpurukan.

Debat dan pembicaraan harus diwarnai pertarungan perspektif yang lebih mendalam mengenai arah atau orientasi pembaharuan desa akan dibawa kearah mana. Jika hal-hal substansi ini berproses dengan lebih mendalam dan hangat, maka kerangka teknis dan administrasi serta pengaturan mengenai keuangan desa sudah semestinya berakar dari dimensi substantif yang melandasinya.

Belajar dari proses dan pengalaman kebangkitan lokal sejauh ini, salah satu tema pokok yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana strategi pemberdayaan dengan memperkuat partisipasi warga dalam proses kebijakan lokal, khususnya desa.

Partisipasi model baru yang diperkenalkan dalam semesta pembicaraan ini adalah pendekatan: partisipasi yang aktif, kritis, kreatif dan inovatif.

Adalah, bagaimana mendorong agar masyarakat sebagai warga negara memanfaatkan kesempatan demokratisasi desa dengan lebih aktif berperan mencari akses mempengaruhi kebijakan yang dijamin dalam konstitusi.

Sebagai warga desa juga harus berani kritis bersuara dan menyampaikan aspirasi demi kepentingan publik, hal-hal yang menyangkut kepentingan masyakat banyak dalam kaitan keadilan.

Demikian halnya warga desa dituntut untuk kreatif dalam merumuskan jalan keluar, mencari pendekatan yang alternatif sesuai prinsip demokrasi bagi pembaharuan kehidupan sosial ekonomi dan politik desa.

Kemudian, warga desa perlu menumbuhkan gagasan dan karya yang inovatif sebagai bagian titik tolak pembaharuan yang dapat direplikasi atau di-sclalling up ditingkat makro kebijakan.

(Artikel ini dikutip dari buku “Kembali ke Mandat: Hasil Pengawasan Komite I DPD RI Atas Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Opini)

Dalam rangka lima tahun terbitnya UU Desa pada 15 Januari 2014, kami menayangkan 8 artikel opini mengenai UU Desa. Diantaranya:

Scroll To Top