Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana Desa adalah bagian dari transfer ke daerah yang diperuntukkan bagi desa agar mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Alokasi Dana Desa pada tahun 2024 adalah sebesar Rp71 triliun yang terdiri atas Rp69 triliun untuk Dana Desa Reguler dan Rp2 triliun untuk insentif/tambahan Dana Desa atas kinerja pada tahun berjalan. Dana Desa yang telah disalurkan dikelola oleh Kepala Desa bersama aparatur desa sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang telah disepakati bersama.
Desa merupakan miniatur dari pemerintahan otonomi di Indonesia. Kepala Desa bersama aparaturnya memiliki tugas untuk membina dan meningkatkan perekonomian desa dalam meningkatkan kualitas kehidupan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Desa tidak hanya melaksanakan belanja, tetapi juga menghimpun pendapatan dan semua siklus pengelolaan keuangan yang ada di desa. Mulai proses penyusunan anggaran yang memerlukan persetujuan dewan perwakilan desa, pelaksanaan, sampai dengan pelaporan dan pertanggungjawaban terdapat di desa.
Kepala Desa juga memiliki tugas mengembangkan sumber pendapatan desa yang berasal dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bagian dari hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota, pemanfaatan aset, dan lain-lain pendapatan desa yang sah untuk mendukung kesejahteraan dan kemandirian desa.
Kepala Desa diwajibkan memanfaatkan sumber daya tersebut untuk menetapkan kebijakan melalui program kegiatan prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kompleksitas pengelolaan keuangan desa ini perlu dikaji lebih mendalam agar prinsip good governance berjalan dengan baik dan membawa kemakmuran masyarakat.
Tantangan dan Pengelolaan Dana Desa: Akuntabilitas, Transparansi, dan Korupsi
Alokasi Dana Desa terhadap APBN dapat dikatakan cukup besar. Meskipun besarannya fluktuatif setiap tahunnya, tetapi tetap berada pada angka 2% sampai dengan 3% dari total belanja negara, bahkan berada di atas 3% pada tahun 2019. Peningkatan nilai dana desa yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2016 (naik Rp25,91 miliar dari tahun sebelumnya), tahun 2017 (naik Rp13,09 miliar dari tahun sebelumnya), dan tahun 2019 (naik Rp9,96 miliar dari tahun sebelumnya).
Tujuan utama pemerintah terhadap dana desa sebesar kurang lebih Rp70 triliun setiap tahunnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat ini dapat dilihat dari tingkat kemiskinan yang rendah. Namun kenyataannya, angka kemiskinan Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester 1 tahun 2023 angka kemiskinan nasional berada di angka 9,36%; masih di atas target kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 6,5% sampai 7,5%.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), tingkat tindak pidana korupsi di level desa menunjukkan tren meningkat dan konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum dari tahun 2015 sampai tahun 2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar.
Hal ini berlanjut di tahun 2022, dengan jumlah 155 kasus korupsi pada sektor desa (26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum), 133 kasus berhubungan dengan Dana Desa, dan 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa.
Besarnya dukungan alokasi anggaran dari pemerintah pusat dan kewenangan kepala desa dalam pengelolaan Dana Desa menyisakan persoalan terkait pengawasan tata kelola keuangan desa yang akuntabel dan bebas korupsi.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis membahas pengelolaan dana desa, khususnya dalam sisi akuntabilitas dan transparansi serta implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan Dana Desa.
Tantangan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu penentu terbesar keberhasilan suatu sistem. Meskipun sistem sudah terstruktur dengan baik dan sistematis, tetapi apabila tidak didukung dengan sumber daya manusia yang kompeten, maka output yang dihasilkan tidak akan optimal. Sumber daya manusia yang dimaksud disini adalah pemerintah desa, mulai dari kepala desa dan perangkat desa sebagai pelaksana Dana Desa secara langsung; dan juga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku pengawas kinerja kepala desa dan pengawas anggaran di desa. Selain itu juga pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) dan Inspektorat yang memiliki tugas pembimbingan dan pengawasan (binwas) desa.
Permasalahan pertama terkait permasalahan sumber daya manusia adalah kurangnya kompetensi perangkat desa. Kompetensi yang kurang dari perangkat desa dapat menghambat efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Tidak jarang perangkat desa belum memiliki pendidikan dan pelatihan yang memadai terkait dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan desa.
Perangkat desa tidak sepenuhnya memahami regulasi dan kebijakan yang berlaku terkait dengan administrasi desa, pengelolaan sumber daya, dan pelaksanaan program-program pembangunan. Ketidakpahaman tersebut dapat menyebabkan pelanggaran aturan, kesalahan dalam pelaporan, dan keputusan yang tidak tepat dalam mengelola dana desa dan sumber daya lainnya.
Pengelolaan keuangan tingkat desa saat ini sudah memanfaatkan teknologi untuk mempermudah, yaitu aplikasi Sistem Keuangan Daerah (Siskeudes). Namun, masih terdapat beberapa perangkat desa di Kabupaten Sumbawa yang masih kurang terampil dalam menggunakan aplikasi tersebut sehingga membutuhkan bantuan DPMD ataupun desa lain untuk menginput transaksi mereka dalam aplikasi Siskeudes. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan data karena data yang diinput dalam aplikasi tidak dilakukan oleh pelaksana kegiatan di desa.
Permasalahan kompetensi aparat desa juga terkait dengan kualitas kegiatan yang ada. Penggunaan Dana Desa sedikit yang melakukan inovasi atau kegiatan pengelolaannya hanya sebatas fisik lingkungan dan sangat sedikit kegiatan produktif dan inovatif.
Permasalahan kedua adalah keterbatasan jumlah pegawai DPMD serta Inspektorat Daerah dengan jumlah desa yang harus dibina. Pegawai DPMD Kabupaten Sumbawa hanya ada 34 pegawai, sedangkan desa yang ada sebanyak 157 desa. Inspektorat sendiri hanya memiliki 58 pegawai, sedangkan lingkup kerja Inspektorat tidak hanya desa, melainkan keseluruhan pemerintah daerah.
Hal ini menyebabkan DPMD dan Inspektorat tidak dapat melakukan tugas bimbingan dan pengawasan dengan optimal dan mendalam terhadap desa dan hanya melakukan sampling. Pengawasan dan pembinaan dari kecamatan juga sangat variatif tergantung dengan kualitas pejabat kecamatan.
Kendala Implementasi Check and Balance
Permasalahan pertama adalah terkait kurangnya implementasi check and balance pada tahap pelaksanaan keuangan desa. Masih ditemukan penumpukan kekuasaan pada kepala desa pada pengelolaan keuangan desa, terutama pada saat pelaksanaan belanja atau pencairan dana.
Pelaksanaan belanja harusnya diawali dengan Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala Seksi (Kasi) selaku Pelaksana Pengelola Keuangan Desa (PPKD) melaksanakan kegiatan berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), untuk selanjutnya Kaur dan Kasi mengajukan SPP beserta dokumen pendukung. Sekretaris desa melakukan verifikasi, apabila sudah sesuai maka dilanjutkan dengan persetujuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Kepala Desa. Kaur Keuangan selaku Bendahara dan Kepala Desa melakukan pencairan anggaran pada bank yang ditunjuk.
Pada praktiknya, terdapat desa yang tidak melakukan check and balance antara PPKD, sekretaris desa, bendahara, dan kepala desa seperti seharusnya. Terdapat PPKD desa yang tidak tahu ada pencairan terkait anggaran terkait kegiatan teknisnya karena proses pencairan hanya dilakukan oleh bendahara dan Kepala Desa yang terindikasi terjadi fraud. Penyimpangan juga sangat mungkin terjadi, karena syarat pencairan hanya Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) dengan bukti-bukti seperti kuitansi, Berita Acara Serah Terima (BAST) dan sebagainya disusulkan secara manual.
Permasalahan kedua adalah mekanisme pembayaran yang hanya dapat dilakukan secara tunai. Setiap transaksi yang dilakukan desa hanya dapat dibayarkan secara tunai, tidak dapat dilakukan dengan transfer bank. Hal ini merupakan kendala yang sangat besar karena meningkatkan cost of cash, yaitu biaya yang timbul dari kebutuhan akan penanganan, penyimpanan, transportasi, dan keamanan uang tunai, serta biaya terkait dengan potensi kehilangan, pencurian, atau kesalahan yang terjadi dalam proses penggunaan uang tunai.
Permasalahan ketiga adalah terkait pengadaan barang dan jasa yang ada di desa, terutama untuk barang dan jasa di atas Rp200 juta dan tidak dilakukan secara swakelola. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa di atas Rp200 juta masih menggunakan sistem manual yang tidak transparan dan akuntabel. Pada umumnya dilapangan pembayaran semua pengadaan dilakukan di muka, tetapi tidak menggunakan prosedur uang muka.
Proses ini cukup sulit apabila dilakukan oleh perangkat desa yang tidak memiliki kompetensi pengadaan barang dan jasa. Selain itu nilainya yang cukup besar juga dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar pula apabila penyedia yang tersedia di desa tersebut ataupun desa terdekat tidak kompeten serta pembayaran di muka sebelum barang diterima.
Permasalahan keempat adalah mekanisme pembinaan dan pengawasan dari kecamatan yang dinilai kurang efektif. Kegiatan peningkatan kompetensi camat dan staf kecamatan sebagai pelaksana Binwas terhadap desa terkait pengelolaan keuangan desa dinilai kurang atau bahkan tidak pernah. Hal ini menyebabkan binwas terhadap desa tidak maksimal dan tidak menyeluruh sehingga sulit untuk melakukan deteksi awal penyelewengan. Selama ini penyelewengan diketahui karena ada laporan dari warga.
Permasalahan kelima adalah tidak adanya aturan tanggung jawab bendahara. Apabila dibandingkan dengan satuan kerja pemerintah pusat, ini setara dengan tidak adanya kewajiban laporan pertanggungjawaban (LPJ) setiap bulannya oleh bendahara. Hal ini disebabkan tidak adanya mekanisme Uang Persediaan (UP) dan Langsung (LS) seperti yang ada pada pelaksanaan APBN, karena LPJ bendahara hanya mengacu pada UP yang dipegang oleh bendahara.
Tidak adanya pertanggungjawaban wajib oleh bendahara menyebabkan sulit mendeteksi nilai uang yang dipegang secara tunai oleh bendahara. Tidak adanya laporan pertanggungjawaban bendahara ini menjadikan posisi bendahara lemah dan umumnya uang dipegang oleh Kepala Desa.
Tantangan dan Risiko
Fasilitas pendukung pengelolaan keuangan desa adalah aplikasi Siskeudes. Siskeudes memudahkan proses pengelolaan keuangan desa dibandingkan dilakukan dengan manual, tetapi dalam Siskeudes yang ada di desa saat ini tidak ada pembagian user ataupun pembagian kewenangan. Proses pengelolaan keuangan dapat dilakukan oleh satu orang saja. Hal ini sangat berbahaya terutama dalam proses pencairan dana ke bank, karena yang dibutuhkan untuk pencairan dana hanyalah rekapitulasi SPP yang dihasilkan pada aplikasi Siskeudes.
Kekurangan lainnya aplikasi Siskeudes adalah masih berbasis offline. Hal ini menyebabkan setiap desa hanya dapat menggunakan satu komputer untuk pencatatan seluruh transaksi. Akibat lainnya adalah tidak dapat dilakukan monitoring secara realtime oleh camat, DPMD, ataupun Inspektorat apabila terjadi indikasi penyimpangan, contohnya penarikan uang yang terlalu banyak dalam satu waktu.
Kurangnya kompetensi perangkat desa dapat diatasi pada level kecamatan dengan pelatihan dan pembinaan secara berkala. Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan pelatihan dan pembinaan secara one-on-one maka dapat dilakukan dengan memanggil perangkat desa terkait pada satu tempat. Selain dapat menghemat waktu juga dapat menjadi media knowledge sharing dan experience sharing untuk perangkat desa yang memiliki kendala/permasalahan yang sama.
Keterbatasan jumlah pegawai DPMD dan inspektorat serta kurang efektifnya pengawasan oleh kecamatan dapat diatasi dengan pembagian kewenangan binwas pada tingkat kecamatan, tingkat DPMD, serta tingkat inspektorat; sehingga untuk substansi yang sudah dilakukan oleh camat, tidak perlu dilakukan oleh DPMD dan inspektorat, dan seterusnya. Sehingga, binwas dapat dilakukan lebih mendalam dan keseluruhan, bukan sampel. Selain itu perlu juga penguatan fungsi BPD untuk mengawasi pelaksanaan anggaran pada desa sehingga dapat meringankan beban pelaksana binwas.
Permasalahan terkait check and balance yang kurang efektif dan aplikasi Siskeudes yang belum optimal dapat diselesaikan dengan solusi yang sama, yaitu dengan mengimplementasikan Siskeudes berbasis online sehingga memungkinkan adanya pemisahan kewenangan yang dapat memperkuat proses check and balance pada pengelolaan keuangan desa. Manfaat lainnya, desa dapat mengakses Siskeudes di mana saja serta dapat dimonitor oleh camat, inspektorat, serta DPMD secara realtime.
Pengenalan sistem Cash Management System (CMS) kepada desa dapat mengatasi permasalahan pembayaran yang keseluruhan dilakukan secara tunai. CMS dapat mengurangi cost of cash yang harus dikeluarkan desa, sehingga dapat mengurangi potensi kerugian akibat kehilangan uang tunai. Sehubungan dengan penggunaan CMS, dapat mulai dikenalkan juga mekanisme UP dan LS yang selama ini digunakan satker pemerintah pusat. Selain membantu desa apabila ada kegiatan/pembelian dalam jumlah kecil, hal ini juga dapat meningkatkan kesadaran bendahara karena diwajibkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban.
Rekomendasi Pengelolaan Keuangan Desa yang Efektif dan Transparan
Rekomendasi yang pertama adalah pembuatan peraturan terkait pengimplementasian Cash Management System (CMS) dalam pengelolaan keuangan desa. Setelah payung hukum tersebut dibentuk, pemerintah desa dapat bekerja sama dengan bank untuk menerapkan CMS dalam pengelolaan keuangan desa. Rekomendasi kedua, implementasi mekanisme pembayaran Uang Persediaan (UP) dan Langsung (LS) seperti pada satuan kerja pemerintah pusat dapat dilakukan. UP dapat mendukung simplifikasi proses pengadaan barang dan jasa dengan nominal kecil seperti peralatan kantor, serta mengefektifkan kegiatan desa yang bersifat mendadak.
Rekomendasi ketiga adalah implementasi LPJ Bendahara. Dengan adanya LPJ, bendahara akan lebih berhati-hati dalam menggunakan Dana Desa. Hal ini dapat pula mengurangi potensi kerja sama dengan kepala desa dalam pencairan dana. Bendahara akan menolak pencairan dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, mengingat pencairan dana hanya dapat dilakukan oleh kepala desa dan bendahara bersama-sama.
Rekomendasi keempat adalah pengadaan barang dan jasa di atas Rp200 juta yang tidak dilakukan secara swakelola dapat dibantu oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) pemerintah daerah setempat dengan proses pemilihan yang lebih sederhana. Dengan demikian, pengadaan barang dan jasa dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyusunan dokumen pengadaan, penilaian penawaran, dan negosiasi kontrak, serta meningkatkan persaingan penyedia lokal.