Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

BUMDES Mainan Proyek Kemendes Atau Upaya Menyejahterakan Rakyat Desa?

Hanif Nurcholis

Professor Universitas Terbuka dan Ketua Dewan Pakar Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara

BUMDES Mainan Proyek Kemendes Atau Upaya Menyejahterakan Rakyat Desa

Teman perangkat desa kirim posting begini: Pada awal pembentukan BUMDES kami kesulitan mencari orang yang berjiwa usaha tapi tanpa beroreintasi kepada upah dulu untuk dijadikan pengurus, karena usaha yang dijalankan belum tentu mendapat laba sesuai analisa usaha yang disodorkan ke desa. Perangkat Desa masih terlibat dalam urusan administrasi BUMDes yang padahal seharusnya perangkat desa tdk boleh turut campur.

Kedua, pembentukan BUMDes adalah pemaksaan kehendak, Pemdes diwajibkan mengeluarkan penyertaan modal juga pemaksaan kehendak.

Tanpa pembekalan ilmu manajerial pengelolaan BUMDes serta ilmu-ilmu marketing BUMDes saat ini jadi mangkrak. UMKM yang ada di desa menolak menjadi anak usaha karena kaitannya dengan ijin usaha dan hal-hal lainnya menjadi di bawah BUMDes.

Kebijakan pembentukan, pengelolaan dan pengembangan BUMDes bagaikan penanaman pohon di hutan, tidak ada yg menyiram, tidak ada yg menyiangi, tidak ada yg memupuk, dsb. itulah fakta.

Kami ogah terus2an dijejali pekerjaan, masih banyak hal yg harus kami pegang, selain urusan BUMDes. Bagaimana menurut Prof?

Menanggapi pertanyaan tersebut, saya jawab begini. Saya sampai sekarang belum paham nalar logisnya tentang pembentukan BUMDES dilihat dari ilmu ekonomi dan ilmu administrasi negara. BUMDES adalah bentuk mini dari BUMN dan BUMD. Jadi BUMDES itu korporasi milik negara dengan tujuan profit atau cari untung.

Nah, di sinilah saya belum paham nalar ilmiahnya. Negara tujuannya bukan mencari untung dengan cara dagang atau berindustri tapi mendeliver barang dan jasa publik kepada rakyatnya. Dengan cara ini rakyat menjadi sejahtera.

Kalau negara kerjaannya dagang atau berindustri itu bukan negara yang benar tetapi negara model VOC. Yaitu perusahaan dagang atau oligarky yang menjalankan fungsi negara zaman penjajahan VOC Belanda tahun 1619-1799. Atau model negara Hindia Belanda  zaman tanam paksa tahun 1830-1879.

Dalam negara yang mengikuti ekonomi liberal, negara tdk boleh dagang atau berindustri. Negara cukup menjadi regulator dengan rule of law yang tegas. Yang dagang atau berindustri adalah rakyat sipil atau swasta. Beda dengan negara yang mengikuti ekonomi komunis. Kalau model komunis negara dagang dan berindustri. Rakyat tidak boleh dagang dan berindustri.

Apa kita mau mengikuti negara komunis? Dalam sistem komunis, negara berdagang dan berindustri. Rakyat sebagai buruh negara. Hasil keuntungannya dibagikan kepada rakyat sama rata. Inilah yg dilakukan negara komunis.

Negara RI tahun 1960 -1966 ikut-ikutan negara komunis karena menganut ekonomi terpimpin dengan slogan sosialisme khas Indonesia. Tapi yang terjadi semua perusahaan negara bangkrut karena salah urus dan jadi sarang korupsi. Akibatnya bukan menyejahterakan rakyat melainkan memiskinkan rakyat semiskin – miskinnya. Nasib negara– negara komunis dan RI sama: rakyatnya miskin bersama, bukan makmur bersama.

Tahun 1968 haluan ekonomi balik arah dari ekonomi komunis ke ekonomi liberal. Semua perusahaan negara yang tidak untung dibubarkan. Perusahaan negara yang untung saja yang dipertahankan. Ditambah perusahaan negara yang punya fungsi public service seperti PLN, PELNI, POS, TELKOM, BRI.

Model ini diadopsi oleh Pemda. Pemda membentuk korporasi yaitu BUMD yang punya fungsi public service: perusahaan air minum dan angkutan publik.

Apakah model ini negara untung dan rakyat sejahtera? Tidak juga. Ratusan BUMN rugi dan bangkrut. Hanya 16 BUMN yang untung. Ujung – ujungnya negara harus nomboki kerugiannya melalui APBN. Misal, PT Garuda rugi. Negara nomboki puluhan milyar. Lah uang rakyat dipakai nomboki salah urus dan korupsi BUMN. Semua BUMD rugi. Juga ditomboki uang rakyat dari APBD.

Lalu tanpa nalar yang lurus atau logis pembuat UU Desa bikin BUMDES. Orang BUMN dan BUMD yang diurus oleh orang – orang profesional saja rugi dan mengambil uang rakyat untuk menutup kerugiannya, apalagi BUMDES yang dikelola ala kadarnya.

Lagi pula yang menikmati hasil BUMDES Itu siapa? Karena ketika pasar diambil alih negara (BUMDES) maka justru kegiatan ekonomi rakyat desa mati. Inilah yang disebut etatisme. Malah bikin mati usaha – usaha super kecil orang – orang desa. Akhirnya malah bikin miskin orang desa, bukan menyejahterakannya.

Saya punya prediksi BUMDES 90 persen gagal. Hanya menghabiskan uang negara. Keberadaannya di desa tidak punya nilai manfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

BUMDes hanya pencitraan abal – abal Kemendes PDTT saja. Beberapa BUMDES yang sukses  diblow up habis – habisan. Ribuan BUMDES yang bangkrut disembunyikan. (*)

Scroll To Top