Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Jungkir Balik Regulasi Pelaksanaan UU Desa

Redaksi Desapedia

DESAPEDIA.ID merupakan portal berita yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap berita, informasi dan pengetahuan terkini tentang desa di seluruh Indonesia

Jungkir Balik Regulasi Pelaksanaan UU Desa - Desapedia

Pertanian padi di sebuah desa (Ist)

Regulasi merupakan sebuah produk politik kelembagaan, yang di dalamnya mengandung kehendak politik, insentif politik, hasrat kekuasaan, nilai, pengetahuan, dan pengalaman.

Secara historis pengaturan (regulasi) desa bernaung di bawah bangunan pemerintahan dalam negeri (binnenlands bestuur — BB) warisan kolonial yang berwatak formalis, birokratik, hirarkhis dan konsentris.

Salah satu wujud BB adalah pengaturan desa dengan pola pemerintahan tidak langsung (indirect rule), yakni negara melalui pemerintah pusat menyerahkan otoritas mengatur dan mengurus desa pada bupati/walikota, dan bupati/walikota dikontrol oleh pusat.

Pusat pada dasarnya berpikir efisien, tidak mau repot mengatur dan mengurus desa, dan belakangan diabsahkan dengan keyakinan bahwa keragaman desa tidak mungkin diatur secara terpusat.

UU Desa belajar dari pengalaman panjang pada bangunan BB yang merugikan desa itu. Kehendak politik, aspirasi dari bawah dan pengetahuan alternatif menjadi energi bagi UU Desa, yang menyingkirkan hasrat kekuasaan politisi dan birokrasi serta pengetahuan konservatif. UU ini bermakna politik dalam pengertian politik representasi desa dan rakyat.

Hasrat kekuasaan politisi ditaruh di belakang UU, berbeda dengan UU pilkada yang menghadirkan hasrat kekuasaan di depan UU, dan berbeda pula dengan UU pemerintahan daerah yang menampilkan hasrat kekuasaan BB ketimbang politik representasi daerah dan rakyat.

UU berupaya memotong pola pemerintahan tidak langsung menjadi pola pemerintahan langsung, tentu termasuk mengurangi hasrat kekuasaan daerah, meskipun pola baru tidak terbangun sempurna.

Salah satu pengaturan penting dalam UU Desa adalah mengubah pola desentralisasi-residualitas menjadi rekognisi-subsidiaritas.

Kewenangan, pembangunan dan keuangan desa bukan lagi diatur dengan pola residu (sisanya-sisa) dari kabupaten/kota, melainkan dimandatkan dan ditetapkan langsung oleh UU, seraya memastikan kewajiban (obligatory) pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dengan demikian UU Desa memberikan “cek kosong” kepada desa, tetapi cek itu tidak boleh diisi sendiri oleh kepala desa, melainkan harus bersama BPD, masyarakat dan musyawarah desa.

Sedangkan aspek-aspek penataan desa, kelembagaan desa dan perangkat desa diserahkan kepada daerah untuk diatur lebih lanjut, tetapi prinsip-prinsip dasarnya telah ditetapkan oleh UU.

Tentu aspek-aspek ini harus mengikuti sejumlah 13 asas baru, yaitu rekognisi; subsidiaritas; keberagaman; kebersamaan; kegotongroyongan; kekeluargaan; musyawarah; demokrasi; kemandirian; partisipasi; kesetaraan; pemberdayaan; dan keberlanjutan

Tiga Belas asas ini yang melandasi ciri khas desa dan kewenangan desa, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 3.

Dengan demikian UU Desa dapat dikatakan sebagai kemenangan politik atas birokrasi yang berwatak BB.

Tetapi setelah pelaksanaan, birokrasi membalas kekalahannya itu dengan menyusun seperangkat regulasi dengan nalar dan pendekatan BB warisan kolonial. Asas rekognisi-subsidiaritas mengalami distorsi menjadi desentralisasi-residualitas.

Maka terjadilah jungkir balik: UU diatur oleh PP, PP diatur oleh Permen, dan Permen diatur oleh Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Hakekat desa direduksi menjadi pemerintahan desa.

Meskipun “cek kosong” diberikan kepada desa, tetapi ada masalah serius dalam pengantaran (delivery) cek sampai ke desa dan cara pengisian “cek kosong” itu.

Dua Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri turunannya mendelegasikan terlalu banyak peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota untuk mengatur dan mengurus desa, termasuk mengatur cara mengantar cek dan mengisi cek kosong itu.

Desa Menjadi Pemerintahan Desa

Regulasi – PP, Permen dan turunannya – secara normatif merupakan bentuk penjabaran dan operasionalisasi terhadap prinsip-prinsip dasar dalam UU.

Tetapi regulasi ternyata tidak hanya melaksanakan UU, melainkan mempunyai nalar dan kepentingan sendiri, baik dalam pengertian membatasi dan melarang, maupun menciptakan serangkaian prosedur operasional yang rigid.

Prosedur, yang bermaksud sebagai delivery hakekat dan prinsip dasar, malah bisa menghambat, mempersulit, menciptakan ranjau, atau bahkan mengubah jalan lapang menjadi jalan sempit yang bekelok dan berliku.

Dengan begitu regulasi malah mengatur lebih terhadap UU, sehingga memperlemah hakekat yang diamanatkan UU.

Jebakan itu betul terjadi. Pemerintah, dengan host utama Kemendagri, mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 43/2014 begitu cepat, dalam tempo lima bulan setelah keluar UU Desa.

Cukup dengan satu PP ini Pemerintah hendak “menuntaskan” pengaturan pelaksanaan UU Desa, tentu dengan cara mendelegasikan banyak pengaturan dan pedoman lebih lanjut melalui Peraturan Menteri dan serangkaian Peraturan Daerah maupun Peraturan Bupati/Walikota.

Meskipun UU No. 12/2011 menegaskan bahwa Peraturan Menteri tidak masuk ke dalam rezim dan hirarkhi peraturan perundang-undangan, tetapi karena memperoleh mandat oleh PP, maka Peraturan Menteri bukan hanya pedoman tetapi perintah.

Inilah tradisi “negara peraturan” sebagai penjelmaan dari fomasi BB warisan kolonial.

PP No. 43/2014 tidak memperoleh apresiasi yang hangat dari para pelaku dan pegiat desa. Para pegiat desa umumnya menilai bahwa PP itu menyimpang dan menelikung UU Desa.

Para kepala desa dan perangkat desa, khususnya di Jawa, bahkan melawan PP tersebut. Pasal 100 yang berbicara tentang komposisi belanja desa (70% untuk belanja publik dan 30% untuk belanja aparat dan operasional) dengan serta merta memotong hak asal-usul dan istimewa pemerintah desa terhadap tanah bengkok.

Mereka berjuang untuk mengubah Pasal 100 itu ke hadapan Presiden, Menteri, DPD maupun DPR. Tuntutan ini dikabulkan, sehingga dalam PP No. 47/2015, tanah bengkok dikeluarkan dari komposisi di atas, dan digunakan sebagai tambahan tunjangan bagi kepala desa maupun perangkat desa. PP 47 bukan hanya merevisi Pasal 100.

Karena pada awal 2015 sudah diawali dengan kemunculan Perpres No. 11 dan 12 tahun 2015, yang membelah urusan desa ke dalam dua kementerian (Kemendagri dan Kemendesa), maka PP 47 semakin memperjelas pembelahan dan mengikuti nalar dan perintah Perpres.

Dengan nalar dan kepentingan birokratik yang mereduksi “desa menjadi pemerintahan desa”, PP 43/2014 maupun PP 47/2015 menyajikan sejumlah distorsi terhadap UU Desa.

Distorsi Kewenangan Desa

Ketika Rancangan PP 43 tengah dibahas, sejumlah sarjana pemerintahan dan sarjana hukum pejabat pemerintah – yang tidak terlibat dalam pembahasan RUU Desa – menilai bahwa konstruksi kewenangan desa menurut UU Desa sangat keliru besar.

Menurut teori kewenangan yang mereka yakini, apa yang disebut kewenangan lokal sebenarnya sudah terbagi habis dengan desentralisasi sampai di tangan Pemerintah Daerah.

Dengan begitu, kata mereka, sebenarnya tidak ada lagi kewenangan lokal desa, kecuali kalau memperoleh pelimpahan atau penugasan dari Pemerintah Daerah seperti pola UU No. 32/2004.

Tetapi para sarjana lain telah mengritik bahwa pola pelimpahan atau penyerahan sebagian urusan dari kabupaten/kota kepada desa tidak dibenarkan oleh teori desentralisasi dan hukum tata negara.

Debat semacam ini sudah lama terjadi, dan secara keilmuan, UU Desa memang menciptakan teori tersendiri dalam merumuskan kewenangan desa, yakni meninggalkan pola desentralisasi-residualitas menjadi rekognisi-subsidiaritas.

Basis kewenangan desa bukanlah urusan melainkan kepentingan masyarakat ditambah urusan yang muncul dari asal-usul desa maupun prakarsa masyarakat, sehingga kewenangan desa itu bersifat induktif, kontekstual dan dinamis.

UU Desa merupakan lex spesialis di sisi kewenangan desa, yang sengaja mengambil sebagian urusan pemerintah kabupaten/kota yang terkait dengan kepentingan masyarakat setempat, lalu ditetapkan sebagai kewenangan desa.

Melalui UU, negara bukan menyerahkan atau melimpahkan, melainkan mengakui dan menetapkan sejumlah kewenangan desa yang tidak dibatasi secara tetap (termasuk atau meliputi tetapi tidak terbatas pada).

Para sarjana konservatif “terpaksa” menerima konstruksi kewenangan desa karena sudah menjadi keputusan UU. Namun nalar konservatifnya tetap mereka pakai untuk menghantarkan penetapan UU menjadi pelembagaan kewenangan desa pada level desa melalui jalur hirarkhi.

Sebenarnya PP, yang dapat menampilkan daftar positif dan negatif, sudah cukup bisa mengantarkan desa membuat peraturan desa tentang kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.

Menteri, Gubernur, maupun Bupati/Walikota tidak perlu mengatur kembali melainkan cukup melakukan tindakan fasilitasi terhadap desa untuk memilah, memilih dan memutuskan kewenangan desa. Masing-masing desa akan memiliki jenis dan jumlah kewenangan desa secara berbeda tergantung pada konteks lokal dan kepentingan masyarakat setempat.

Namun PP membuat keputusan sejalan dengan pandangan teori konservatif, yakni mendelegasikan Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan asal-usul dan lokal desa dengan berpedoman pada Petaruran Menteri.

Pertama, Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan identifikasi dan inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa dengan melibatkan Desa.

Kedua, berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi itu, bupati/walikota menetapkan peraturan bupati/walikota tentang daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Ketiga, Peraturan bupati/walikota ditindaklanjuti oleh Pemerintah Desa dengan menetapkan peraturan Desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal.

Delegasi pada Peraturan Bupati/Walikota itu sejak awal menghadirkan sejumlah pandangan kritis.

Pertama, karena teori konservatif sudah lama mapan, maka makna penetepan bisa dikonstruksi sebagai penyerahan atau pelimpahan

Kedua, delegasi pada Peraturan Bupati/Walikota tidak bermakna memudahkan penetapan kewenangan desa agar relevan dengan konteks lokal, tetapi menambah daftar panjang prosedur penghantaran kewenangan sampai di tangan desa.

Ketiga, bukan hanya pada prosedur, Peraturan Bupati/Walikota ini akan menyajikan kesulitan kehendak, sebab kewenangan mengandung dimensi ekonomi politik.

Entah karena tidak mampu atau malah karena enggan, maka Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan daftar kewenangan desa itu sulit atau lambat hadir. Dalam praktik ternyata betul.

Karena sudah menjadi keputusan PP maka mau tidak mau harus diikuti. Sampai akhir 2014, Kemendagri belum mengeluarkan Permendagri tentang Kewenangan Desa, meski Permendagri No. 114/2014 (Pembangunan Desa) secara eksplisit memuat daftar kewenangan desa.

Karena kevakuman ini, pada awal 2015, Kemendesa menelorkan Permendesa No. 1/2015 tentang kewenangan asal-usu dan kewenangan lokal berskala desa.

Kemendagri sangat keberatan dengan kehadiran Permen ini karena beberapa sebab.

Pertama, kewenangan desa seharusnya menjadi domain Kemendagri, bukan Kemendesa.

Kedua, sustansi Permen dinilai mengandung banyak kesalahan, antara lain membatasi pungutan desa, meskipun dalam tempo lama Kemendagri tidak pernah mengeluarkan Permendagri tentang pungutan desa.

Permendesa 1/2015 itu membuat daftar positif kewenangan asal-usul dan lokal desa, dan memberi ruang kepada kabupaten/kota maupun desa untuk menambah atau mengurangi agar sesuai dengan konteks lokal

Ada banyak kritik, tetapi ada banyak juga yang menjadikan sebagai referensi. Kabupaten Kebumen hadir paling pertama dalam menyiapkan Perbub Kewenangan Desa dengan menggunakan Permendesa 1/2015 sebagai referensi, meskipun Kebumen juga memandang bahwa daftar kewenangan dalam Permen tidak sempurna.

Banyak desa yang memperoleh gambaran tentang batas-batas pungutan desa, tetapi banyak juga desa yang keberatan karena banyak pungutan desa yang sudah lama dilakukan terpaksa harus dihentikan.

Tentu tidak ada rekam jejak yang memadai berapa jumlah kabupaten/kota yang membuat Perbub/Perwal dan berapa jumlah desa yang sudah memiliki Peraturan Desa tentang kewenangan desa, yang mengacu pada Permendesa 1/2015.

Toh Permen ini akhirnya mati suri setelah keluar PP No. 47/2015, yang memastikan pengaturan tentang kewenangan desa menjadi domain Kemendagri, bukan Kemendesa.

Setahun sesudahnya, Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 44/2016 tentang kewenangan desa. Permendagri ini menyajikan distorsi terhadap PP (yang sudah salah kaprah) dan UU Desa.

Pertama, ada reduksi dalam maksud dan tujuan pengaturan. Maksud dan tujuan permen menjadi sangat teknokratik. Kewenangan tentu merupakan landasan kemandirian desa.

Tetapi Permen hanya menegaskan tentang efektivitas dan akuntabilitas desa dalam menata kewenangan desa. Efektivitas dan efektivitas, dua konsep teknokratik yang lebih dekat dengan kewajiban dan kinerja, menggantikan konsep kemandirian desa dalam memilih, menetapkan dan menyelenggarakan kewenangan desa.

Menurut permen lagi, efektivitas dan akuntabilitas itu, harus proporsional antara bidang pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan.

Kedua, ada reduksi atas konsep penetapan. Konsep penetapan dalam UU sudah dilanjutkan PP degan ketentuan tentang penetapan daftar kewenangan desa oleh Perbub/Perwal serta penetapan dengan peraturan desa.

Sekali lagi, perlu penegasaan bahwa penetapan berbeda dengan penyerahan, pelimpahan maupun penugasan. Daftar kewenangan desa pada dasarnya merupakan positive list yang menjadi panduan (referensi) bagi desa untuk memilih dan memutuskan kewenangan desa yang sesuai dengan konteks lokal.

Jika dalam daftar termuat 200 jenis kewenangan, maka tidak semuanya menjadi perintah yang harus dilaksanakan, tetapi desa bisa memilih sekian di antara 200 itu dan dapat menambahkan yang ke 205 atau 2010, sesuai dengan kepentingan dan konteks lokal desa.

Selain itu konsep penetapan, berikut penetapan daftar kewenangan desa, hilang dalam Permen. Penetapan berubah menjadi penataan. Ini sudah melenceng jauh.

Secara implisit tetapi kontradiktif sempat muncul klausul yang terkait dengan penetapan daftar kewenangan, yakni frasa “daftar kewenangan” tetapi tanpa penetapan dan frasa “menetapkan kewenangan”

Konstruksi yang kontradiktif ini bisa memunculkan tafsir menyimpang bahwa daftar kewenangan yang dibuat oleh perbub/perwal merupakan perintah yang tetap sebagai penyerahan atau pelimpahan yang harus dijalankan oleh desa.

Ketiga, permen tidak menjabarkan makna tentang penetapan kewenangan desa sesuai dengan “situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal Desa yang bersangkutan”.

Kalimat yang mengandung “niat baik” ini sebenarnya bermaksud agar penetapan kewenangan desa sesuai dengan konteks lokal, kepentingan masyarakat dan prakarsa desa, termasuk desa berhak memilih sekian dari total jumlah dan dapat menambah jenis baru yang relevan.

Sebagai contoh, sejauh ini sudah ada desa-desa yang memiliki peraturan desa terkait dengan perlindungan TKI, jaminan sosial, konservasi alam, dan lain-lain, padahal mereka belum memiliki peraturan desa tentang kewenangan desa.

Beberapa peraturan desa itu muncul dari dinamika lokal dan prakarsa desa, tanpa perintah peraturan bupati, Jika beberapa jenis itu tidak muncul dalam daftar kewenangan perbub, dan perbub dianggap sebagai perintah, maka prakarsa lokal desa itu bisa dianggap cacat hukum.

Keempat, ada distorsi soal pelibatan dalam identifikasi dan inventarisasi kewenangan desa. PP memandatkan agar pemerintah kabupaten/kota melibatkan desa dalam kegiatan identifikasi dan inventarisasi kewenangan.

Pelibatan desa itu oleh permen direduksi menjadi keikutsertaan pemerintah desa. Jika desa yang terlibat maka tidak hanya komponen pemerintah desa tetapi juga komponen yang lain seperti BPD maupun warga masyarakat, atau bisa juga melalui proses diskusi dengan musyawarah desa.

Sedangkan kalau mengikuti permen, maka pelibatan khusus hanya dengan kepala desa, tidak perlu melibatkan BPD, masyarakat maupun musyawarah desa.

Kelima, prosedur penetapan perbub/perwal kewenangan desa menjadi tambah panjang dan birokratis. Rancangan perbub harus dikonsultasikan kepada gubernur, dan gubernur harus kooordinasi dengan Mendagri.

Bagi daerah, prosedur ini dinilai terlalu panjang, birokratis dan tidak efisien. Banyak daerah sudah mengajukan rancangan Perbub/Perwal tentang kewenangan desa ini, tetapi masih tetap mangkrak di kantor Provinsi, sebab jajaran Provinsi mengalami kebingungan bagaimana memberikan nasehat, selain juga karena terbatasan sumberdaya untuk mengurus hal ini, baik proses konsultasi maupun koordinasi dengan Kemendagri.

Ini adalah nalar BB yang birokratis, bukan semata menambah inefisiensi, tetapi menyajikan hasrat kontrol kekuasaan secara hirarkhis, sekaligus juga menghambat penghantaran penetapan kewenangan desa.

Inilah yang barangkali oleh permen disebut dengan efektivitas dan akuntabilitas, yang bertentangan dengan prinsip kemandirian dan prakarsa desa sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.

Karena perbub/perwal terhambat, maka peraturan desa tentang kewenangan desa yang relevan dengan konteks desa, juga terhambat. Kebanyakan desa tidak mempunyai kepedulian terhadap kewenangan desa.

Mereka hanya bicara dan bekerja dengan dana desa. Hanya kepala desa progresif yang peduli terhadap kewenangan desa, sebab hal ini menjadi dasar bagi kemandirian dan harkat-martabat desa.

Padahal UU Desa sudah menegaskan bahwa perencanaan desa (berikut dengan penganggaran desa) harus berdasarkan pada kewenangan desa. Jika desa tidak memiliki peraturan desa tentang kewenangan desa, maka secara ekstrem bisa dikatakan, bahwa dokumen perencanaan (RPJM Desa dan RKP Desa) maupun penganggaran (APBDesa) merupakan produk yang catat hukum alias ilegal.

Kontradiksi dan distorsi dalam pemilihan kepala desa.

UU Desa memerintahkan dua hal penting terkait pemilihan kepala desa.

Pertama, pemilihan kepala desa secara serentak dalam lingkup kabupaten/kota. Kedua, peyelenggaraan pilkades dibiayai dengan APBD.

Pada dasarnya pemilihan kepala desa merupakan hak dan kewenangan yang melekat pada desa. Namun Permendagri No. 112/2014 jo Permendagri No. 65/2017 memerintahkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemilihan kepala desa.

Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang untuk membentuk panitia pelaksanaan hingga pembelanjaan/pengadaan barang jasa atas pembiayaan pemilihan kepala desa yang bersumber dari APBD.

Bahwa biaya APBD tersebut tidak diserahkan menjadi block grant kepada desa, melainkan dibelanjakan sendiri oleh Pemda. Pemda melakukan pengadaan barang seperti kartu suara dan kotak suara untuk diberikan kepada desa.

Ini merupakan sebuah kemunduran. Sebab selama ini, bantuan dari APBD merupakan block grant yang diserahkan sepenuhnya kepada desa.

PP 43/2014 (Pasal 41 ayat 3) menegaskan bahwa calon kepala desa dibatasi minimal 2 orang dan maksimal 5 orang. Pembatasan minimal tidak menjadi masalah serius secara hukum, tetapi secara empirik calon utama selalu merekayasa politik untuk menghadirkan calon abal-abal demi memenuhi prosedur formal.

Masalah lebih serius muncul dalam pembatasan maksimal. Peraturan Daerah yang terkait dengan pemilihan kepala desa, sebagai turunan dari Permendagri No. 112/2014, mengatur seleksi administratif terhadap para calon kepala desa yang lebih dari 5 orang, untuk menentukan 5 calon tetap.

Seleksi tertulis secara teknokratis ini mendistorsi hakekat proses politik yang demokratis dalam pemilihan kepala desa. Ketentuan ini membuka celah politik bagi penguasa daerah untuk mendepak calon kepala desa — yang progresif tetapi tidak mereka sukai — melalui seleksi tertulis.

Distorsi dalam penentuan penghasilan tetap pemerintah desa. Ketentuan Pasal 81 PP 43/2014 (1) Penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa dianggarkan dalam APB Desa yang bersumber dari ADD.

Pasal itu dibuat tanpa dasar dan perhitungan yang matang, bahkan tidak sinkron dengan Pasal 100 tentang komposisi APBDesa. Siltap tidak menggunakan standar penggajian yang pasti.

Sementara UU Desa sudah menghapus standar UMK yang pernah ada dalam PP No. 72/2005.

Penghilangan ini didasarkan pada komitmen pemerintah dan DPR (2009-2014) untuk meningkatkan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, sebagai kompensasi penolakan atas tuntutan perangkat desa menjadi PNS.

Ketentuan Siltap yang berasal dari ADD itu menyimpang dari ketentuan UU Desa Pasal 66: Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Maksud Pasal 66 UU Desa bukan mengambil dari ADD, melainkan APBN menambahkan komponen dan besaran SILTAP ke dalam dana perimbangan (DAU). Jika Siltap hanya berasal dari ADD, maka Pasal 66 tidak perlu ditulis panjang dengan kata APBN.

Kontradiksi dan distorsi musyawarah desa. PP 43 menyebut musyawarah desa hanya sebagai prosedur yang harus dilewati oleh desa dalam penataan desa, perencanaan desa, pemilihan kepala desa antarwaktu, maupun pembentukan BUMDesa.

Musdes untuk menyepakati rencana investasi yang masuk desa, sebagai isu krusial, sama sekali tidak disinggung PP.

UU Desa mengamanatkan bahwa prioritas belanja desa disepakati dalam musyawarah desa (Pasal 74) dan pemerintah desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali (Pasal 82).

Tetapi dua amanat UU ini raib dalam PP. Apalagi Permendagri No. 113/2014 tentang pengelolaan keuangan desa yang sama sekali tidak menyebut musyawarah desa dalam perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa.

Menteri Desa PDT dan Transmigrasi sudah menerbitkan Permendesa No. 2/2015 tentang Musyawarah Desa, dengan tujuan untuk menambal lubang-lubang yang telah terdistorsi oleh Peraturan Pemerintah.

Namun, sayang, Permendesa ini tidak pernah dibicarakan, disosialisasikan, dan tidak menjadi referensi penting bagi penyelenggaraan desa. Kementerian Desa lebih banyak bicara tentang Permendesa Prioritas Dana Desa ketimbang Musyawarah Desa.

Kontradiksi dan distorsi Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa.

LKD dan LAD sebagai mitra pemerintah desa serta wadah partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan institusi lokal yang melekat pada desa, diakui atau dibentuk sendiri oleh desa. Karena itu mobilisasi LKD dan LAD pada tingkat kecamatan sampai pusat sebenarnya kontradiktif dengan prinsip lokalitas desa itu.

Sesuai prinsip desa hibrid (desa sebagai pemerintahan lokal dan masyarakat berpemerintahan), maka penyelenggaraan desa, termasuk pembentukan lembaga kemasyarakatan desa (LKD) dan Lembaga Adat Desa (LAD), dilakukukan bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat.

Peraturan pelaksanaan UU Desa yakni Pasal 150 ayat (1) PP No. 43/2014 menyatakan, “Lembaga kemasyarakatan Desa dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat”. Tetapi PP No. 47/2015 menyatakan bahwa “lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.”

Ini merupakan kontradiksi internal secaya yuridis. UU Desa maupun PP No. 43/2014 memberikan pengakuan dan kewenangan lokal Desa untuk memutuskan pembentukan lembaga kemasyarakatan Desa melalui prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat. Sedangkan PP No. 47/2015 menunjukkan distorsi dan bias pemerintah Desa sebagai otoritas tunggal dalam pembentukan lembaga kemasyarakatan dan lembaga Adat Desa.

UU Desa Menjadi Dana Desa

UU Desa memastikan ruang dan uang untuk desa. Ruang bisa disebut political space, yang mencakup ruang otonomi/kemandirian (kuasa desa) dan ruang demokrasi (kuasa rakyat).

Ruang otonomi (kemandirian) atau kuasa desa mencakup kewenangan, keputusan, prakarsa, kemampuan dan swakelola. Ruang demokrasi menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah monopoli kepala desa tetapi menjadi ruang rakyat yang menjelma dalam keterbukaan, akuntabilitas, responsivitas, representasi dan deliberasi.

Uang adalah sumberdaya untuk mendanai kewenangan desa (pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan), yang berproses dalam ruang kemandirian dan ruang demokrasi. Dengan demikian, keuangan desa mempunyai makna hak, kewenangan dan kewajiban desa yang dinilai dengan uang.

Ketiganya berkaitan dengan hak-kewenangan desa untuk menerima, memperoleh, mengambil uang atau yang lazim disebut dengan pendapatan; dilanjutkan dengan hak-kewenangan desa dalam politik anggaran (mengatur, memutuskan, mengalokasikan) dalam skema belanja dan pembiayaan (misalnya penyertaan modal); dan yang terakhir adalah kewajiban desa mengelola dan mempertanggungjawabkan uang yang menjadi hak-kewenangannya.

Pendapatan berkaitan dengan sumber penerimaan desa.

UU Desa menegaskan tujuh sumber pendapatan desa: pendapatan asli desa (PAD), alokasi dana desa dari APBD, dana desa dari APBN, bagi hasil pajak dan retribusi daerah, bantuan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota maupun sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat.

PAD merupakan manifestasi dari hak-kewenangan desa untuk mengambil uang dalam lingkup yuridiksinya. Dalam teori hal ini disebut taxing power, atau kuasa mengambil pajak dan retribusi. Tetapi teori ini tidak berlaku untuk desa, yang akan kami uraikan lebih lanjut di bawah.

Sumber pendapatan yang berasal dari pemerintah disebut sebagai alokasi atau distribusi. Jika teori desentralisasi mengenal alokasi untuk mengatasi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dan antardaerah, maka teori rekognisi yang dipakai oleh UU Desa mengenal distribusi untuk mewujudkan keadilan.

Rekognisi-subsidiaritas tanpa distribusi adalah omong kosong. Dana Desa (DD) dari APBN mempunyai makna dan konsekuensi dari rekognisi-subdiaritas dan distribusi tersebut, yang digunakan untuk membiayai kewenangan desa.

Uang bukan sekadar uang, bukan sekadar alat pembayaran untuk transaksi barang dan jasa Dalam ranah kenegaraan, uang adalah politik/kekuasaan, berkaitan dengan pencarian (ekstraksi), alokasi dan distribusi.

Makna uang sebagai kekuasan sangat tergantung pada siapa pemegangnya. Kehadiran konsepsi-wacana “uang negara” versus “uang rakyat” merupakan ekspresi dari kekuasaan atas uang.

Kami mengatakan bahwa “uang rakyat” dan “uang negara” merupakan wacana (discourse) yang berbeda, jika tidak disebut berlawanan, baik dari sisi pengguna wacana maupun dari disi sumber, kepemilikan, dan peruntukan.

“Uang negara”, sebagai wacana teknokratik, ditetapkan secara resmi dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang digunakan para teknokrat untuk menggelar wacana “uang negara”, sekaligus untuk melakukan teknokratisasi terhadap penganggaran dan keuangan negara.

Para teknokrat maupun aparatus negara tidak bisa bicara uang rakyat atau pajak rakyat, melainkan bicara tentang uang negara yang harus dikelola dengan prinsip efisiensi, efektivitas, ekonomis dan bertanggungjawab (akuntabel).

Mereka membangun citra dirinya sebagai pencari uang negara, dan tidak rela kalau uang dialokasikan untuk memenuhi ambisi politik para politisi dan diberikan kepada desa.

“Kami setiap hari ditarget mengumpulkan uang, tetapi UU Desa enak saja memberi uang kepada desa, padahal efektivitasnya masih diragukan karena kemampuan desa yang rendah”, demikian ungkap pejabat penarik pajak.

Uang harus dikelola dengan prinsip “penganggaran berbasis kinerja”, yang dilengkapi dengan program, target dan kerangka logis yang jelas, misalnya untuk penanggulangan kemiskinan.

Nalar kepentingan rakyat sama sekali tidak masuk dalam teori dan cara pandang teknokrat itu, sehingga dana desa yang mereka anggap “terjun bebas” ke desa itu salah besar karena tidak disertai dengan nalar teknokratik.

Namun mereka tidak pernah belajar pada sejarah secara kritis dan mendalam. Nalar teknokratik itu sudah berlangsung lama dalam pembangunan desa maupun penanggulangan kemiskinan.

Tetapi sejarah membuktikan bahwa pembangunan desa yang dirancang dan dijalankan secara teknokratik hanya membuahkan istana pasir, yang hanya membuahkan perubahan wajah desa secara artifisial, tetapi harkat martabat desa tidak pernah berubah secara fundamental.

Data TNP2K juga berbicara bahwa anggaran kemiskinan selama lima tahun (2005-2010) meningkat sebesar 250% tetapi angka kemiskinan hanya turun 2%.

Uang rakyat adalah wacana politik dan uang negara adalah wacana teknokratik. Uang rakyat biasa diwacanakan oleh para pemimpin politik dan aktivis, yang mengatakan bahwa APBN maupun APBD bersumber dari rakyat, merupakan milik rakyat, dan digunakan untuk kepentingan rakyat.

Presiden Joko Widodo, misalnya, berulang kali berujar politik uang rakyat ini. “Penggunaan setiap uang rakyat harus dipastikan, harus dipastikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan benar-benar dirasakan langsung oleh rakyat”, demikian tutur Presiden.

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2017, Presiden juga berujar kembali: “”APBN Indonesia akan semakin kokoh karena sumber kekuatannya berasal langsung dari rakyat, dan setiap rupiahnya digunakan untuk kepentingan rakyat”.

Jika wacana uang rakyat yang mengemuka, maka kuasa uang harus tunduk pada kuasa ruang (otonomi dan demokrasi), sehingga yang mengalir ke desa bisa menjawab kepentingan rakyat

Tetapi di sepanjang sejarah, antara uang dan ruang itu tidak berjalan bersama. Sebelum UU Desa hadir, desa malah justru memiliki banyak ruang tetapi sedikit/tanpa uang.

Di bawah payung “perencanaan partisipatif” sesuai amanat UU No. 25/2004, partisipasi masyarakat dibuka dan dimobilisasi secara massif, sebagai masukan atas perencanaan daerah dan nasional.

Musrenbang, misalnya, merupakan sebuah ruang partisipasi masyarakat dan desa. Melalui musrenbang, Desa bolak balik mengusulkan perencanaan dan kepentingan mereka ke atas tetapi uang yang diharapkan tidak turun. Karena itu ruang tanpa uang hanya omong kosong.

Berkat UU Desa, sekarang desa memperoleh banyak uang, tetapi ruang desa dan ruang rakyat malah dibatasi oleh regulasi dan kelembagaan.

Ruang desa dikepung oleh banyak pihak, yang masing-masing membawa cara pandang, tindakan, taktik, kepentingan dan perangkat. Bahkan uang telah menguasai ruang desa.

Ternyata uang itu bukanlah uang semata, melainkan uang adalah kekuasaan. Meski membawa “niat baik”, kuasa uang tentu tidak hadir dengan politik perubahan lewat semangat “uang rakyat” melainkan diteknikalisasi dengan teknokrasi penyelamatan atas “uang negara”.

Kuasa uang secara otonom menentukan pilihan dan jalannya sendiri, mencari keselamatan atas dirinya, seraya mengatur-mengendalikan kuasa ruang, kuasa rakyat dan kuasa desa.

Pertengkaran antara kuasa uang dan kuasa ruang itu hari-hari ini terjadi dalam implementasi UU Desa yang direduksi menjadi proyek dan industri dana desa.

Dana desa tentu sangat penting, tetapi bukanlah yang paling utama, melainkan menjadi bagian kecil dari bangunan besar UU Desa.

UU Desa tidak memberikan mandat khusus pengaturan tentang dana desa dengan Peraturan Pemerintah, melainkan memberikan mandat pengaturan keuangan desa dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 75 ayat (3) menegaskan: Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sementara dana desa hanya menjadi salah satu sumber dari tujuh sumber pendapatan desa, tetapi dana desa diatur secara khusus dengan Peraturan Pemerintah No. 60/2014 jo PP No. 22/2015.

Dari PP ini muncul serangkaian kontradiksi dan distorsi baik secara yuridis maupun empiris.

Kontradiksi dan distorsi formula pembagian dana. UU Desa menegaskan bahwa pembagian DD harus merata dan adil dengan memperhatikan variabel luas wilayah, jumlah penduduk, angka kemiskinan dan kesulitan geografis.

Dipandang secara awam, pembagian DD mengandung kebijakan afirmatif, yakni desa yang memiliki angka kemiskinan tinggi dan secara geografis sulit (misalnya terisolasi, infrastruktur dan transportasi sangat terbatas), tentu akan memperoleh porsi pembagian yang lebih besar. Dengan afirmasi ini maka desa-desa yang mempunyai predikat tertinggal dan miskin bisa diakselerasi.

Namun muncul gagal paham & tafsir keliru formula DD. Kementerian Keuangan melalui PP No. 22/2015 sebagai pengganti PP No. 60/2014 membuat formula 90% rata dan 10% proporsional.

Alasannya: agar DD merata ke seluruh desa, tidak ada disparitas yang jauh antardesa, dan agar janji politik Jokowi 1 M per desa segera terpenuhi. Tafsir atas janji politik itu gagal paham dan ahistoris.

Jokowi tidak pernah janji 1 desa 1 M. Itu adalah janji PS. Janji Jokowi adalah 1.4 M per desa dengan basis perhitungan APBN 2014 (800 juta DD dan 600 juta ADD).

Waktu debat capres, Jokowi sampaikan kritik atas janji 1 M dari PS. Jokowi bilang bahwa bukan 1 M merata per desa, tetapi per desa diberikan secara proporsional dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, angka kemiskinan.

Formula DD 90% dibagi rata dan 10% dibagi adil memperlihatkan distribusi kepada provinsi dan kabupaten/kota. Formula secara jelas menciptakan kesenjangan antarpulau dalam penerimaan dana desa.

Dari Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribusikan tahun ini, 61,49% atau lebih dari separuh berada di Pulau Jawa dan Sumatra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44%), Bali dan Nusa Tenggara (6,26%), serta Maluku dan Papua (12,08%).

Ini terjadi karena dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1) PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak berbanding lurus dengan luas pulau.

Di Jawa ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa. Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di Jawa dan Sumatera. Padahal, sesungguhnya desa tertinggal lebih banyak berada di luar kedua pulau ini sehingga dana desa seharusnya lebih banyak terdistribusi di luar keduanya.

Kesenjangan bukan hanya terjadi antarpulau. Formula 90% rata dan 10% proporsional merupakan distorsi serius atas penggunaan empat variabel pembagi dana desa. Perbedaan ukuran desa (misalnya secara nominal dari sisi luas wilayah dan jumlah penduduk) menjadi tidak relevan untuk digunakan.

Desa-desa di Sumatera Barat dan DIY, misalnya, yang mempunyai ukuran besar tetap memperoleh dana desa yang relatif sama dibandingkan dengan desa-desa di provinsi lain yang berukuran kecil. Oleh karena itu wajar jika Provinsi Sumatera Barat menyampaikan protes terhadap ketidakdilan itu.

Akibat lebih lanjut dari politik “bagi rata’ tu adalah dibagi rata berdasarkan jumlah desa telah mendorong hasrat pemekaran desa di tingkat kabupaten.

Dengan munculnya kecenderungan itu maka keinginan untuk menjadikan pengelolaan dana desa sebagai insentif bagi terwujudnya penggabungan desa untuk mencapai skala ekonomi dana desa yang lebih memadai pun sirna.

Di Sumatera Barat, misalnya, hasrat untuk mendirikan desa adat terkendala oleh kekuatiran akan mengecilnya jumlah dana desa yang dapat diterima.

Lebih dari itu, formulasi yang digunakan Kementerian Keuangan dalam membagikan dana desa saat ini telah memperlebar ketimpangan fiskal (dan berakibat pada ketimpangan antar daerah); dan dana desa tidak berkontribusi terhadap penanggulangan kemiskinan.

Kontradiksi prioritas dana desa. Berdasarkan UU No. 6/2014, Desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus bidang penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa dan pembinaan kemasyarakatan Desa.

Hal itu berarti seluruh sumber pendapatan Desa, termasuk Dana Desa yang bersumber dari APBN, digunakan untuk mendanai keseluruhan kewenangan Desa.

Namun, Peraturan Pemerintah No. 60/2014 berargumen bahwa mengingat Dana Desa bersumber dari Belanja Pusat, untuk mengoptimalkan penggunaan Dana Desa, Pemerintah diberikan kewenangan untuk menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa untuk mendukung pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Penetapan prioritas penggunaan dana tersebut, menurut PP itu, tetap sejalan dengan kewenangan yang menjadi tanggung jawab Desa.

Ketentuan prioritas itu kontradiktif dalam beberapa hal.

Pertama, DD hanya untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan, sehingga mengabaikan pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan.

Dalam penjelasan publik, aspek pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan, sebaiknya didanai dengan Alokasi Dana Desa dari APBD. Anomali terjadi dalam hal pembangunan kantor desa dan balai desa sebagai aspek penting dalam pemerintahan desa.

Sumber ADD tidak cukup, sementara DD “dilarang” untuk membangun dua kepentingan desa itu.

Padahal kantor desa dan balai desa adalah ruang dimana penyelenggaraan desa dimulai, bahkan balai desa menjadi ruang musyawarah desa, yang memungkinkan pembicaraan tentang kebaikan dan perubahan desa bisa dilakukan.

Kedua, ketentuan prioritas PP 60/2014 itu bertabrakan dan kontradiktif dengan pengaturan pengelolaan keuangan desa dalam PP No. 43/2014. PP No. 43/2014 menegaskan bahwa semua sumber penerimaan desa dimasukkan dalam APBDesa, dan kemudian APBDesa dibagi menjadi 30% untuk belanja operasional (termasuk penghasilan tetap pemerintah desa, tunjangan, insentif, operasional pemerintah desa, BPD, dan sebagainya), sedangkan 70% untuk belanja publik baik pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan maupun kemasyarakatan.

Sementara PP No. 60/2014 mengarahkan dana desa hanya masuk ke pos pembangunan dan pemberdayaan dalam komposisi 70%. Dalam praktik di banyak daerah dan desa, dimana Alokasi Dana Desa (ADD) relatif kecil, maka kontradiksi antara dua PP itu menimbulkan kesulitan dan penyimpangan.

Dana Desa dari APBN, sebagaimana diatur oleh PP No. 60/2014, tidak hanya untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan, melainkan juga untuk membiayai pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan.

Bahkan ketika ADD kurang dari 30% dalam total APBDesa, maka Dana Desa juga dipakai untuk membiayai dan menutup komponen 30%, artinya DD juga untuk membiayai belanja operasional pemerintahan desa.

Ketiga, kontradiksi lebih jauh diciptakan oleh Peraturan Menteri Keuangan dan Permendesa yang terkait dengan penggunaan dana desa. Pada Permendesa No. 5/2015, prioritas masih terbuka sebagai arah dan rambu, dimana desa masih bisa menentukan prioritas lokal sendiri yang penting sesuai dengan kebutuhan lokal dan diputuskan dengan musyawarah desa.

Namun Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 247/PMK.07/2015 menambah satu klausul, bahwa prioritas yang ditentukan sendiri oleh desa harus memperoleh persetujuan Bupati/Walikota.

Distorsi lebih jauh muncul ketika hadir Permendesa No. 4/2017 yang memusatkan prioritas dana desa untuk embung, sarana olah raga desa, BUMDesa, dan Prukades.

Lubang distorsi ini bisa ditambal kembali setelah keluar Permendesa No. 19/2017, dimana empat prioritas tidak lagi utama, melainkan menggunakan frasa “antara lain” yang berarti dana desa bisa digunakan secara terbuka sesuai dengan konteks lokal.

Tetapi kontradiksi dan distorsi yang lebih jauh terjadi di Kabupaten/Kota. Permendesa sama sekali tidak mengatur secara rigid persentase penggunaan desa untuk pembangunan dan pemberdayaan, tetapi Peraturan Bupati/Walikota mengatur lebih.

Sebagai contoh ada Perbub/Perwal di banyak daerah yang mengatur secara ketat penggunaan dana desa sebesar 70% untuk pembangunan infrastruktur dan 30% untuk pemberdayaan.

Keempat, prioritas penggunaan dana desa secara top down oleh pemerintah bertentangan dengan ketentuan UU Desa tentang keputusan prioritas belanja desa oleh musyawarah desa.

Sesuai prinsip rekognisi, subsidiaritas dan demokrasi, sekaligus prinsip desa hibrid, hal-hal penting dalam penyelenggaraan desa diputuskan bersama melalui musyawarah desa.

Tetapi prinsip ini hilang dalam PP 43 jo PP 47 maupun PP 60 jo PP 22 serta Permendagri 113/2014. PP 60 jo PP 22 melakukan reduksi dengan cara membatasi prioritas pada pembangunan dan pemberdayaan.

PP itu memerintahkan pada Peraturan Menteri Desa tentang prioritas penggunaan dana desa. Permendesa No. 5/2015 dan Permendesa No. 21/2015 membuat prioritas di bidang pembangunan dan pemberdayaan sesuai perintah PP, dengan daftar prioritas, tetapi juga membuka peluang bagi munculnya prioritas lokal sesuai dengan konteks dan prakarsa local, yang penting diputuskan melalui musyawarah desa.

Tetapi PMK No. 247/PMK.07/2015 mengatur prioritas lokal harus memperoleh persetujuan bupati/walikota.

Teknokratisasi dan birokratisasi dana desa. UU Desa memerintahkan bahwa Dana desa disalurkan dari APBN kepada Desa melalui APBD.

Konsep “melalui” sebenarnya merupakan transito yang cukup tercatat dalam APBD, tetapi oleh PP konsep transito ini dirumuskan secara tidak sempurna, kecuali singgah hanya 7 hari yang selanjutkan ditransfer dari RUKD ke RKD.

Transito ini tidak sempurna, sebab dana desa terjebak dalam rezim desentralisasi: dikonstruksi sebagai penerimaan daerah, terikat dengan rezim keuangan daerah, yang harus memiliki nomenklatur dalam APBD, dan ditetapkan dulu dalam Perda APBD.

Di daerah terjadi perdebatan tarik ulur antara SKPD pengurus desa yang menggunakan perspektif rezim desa dengan SPKD pengurus keuangan yang memegang rezim keuangan daerah.

Pada tahun 2015 pencarian DD begitu sulit, rumit dan panjang.

Pertama, penyaluran dari RKUN ke RKUD harus disertai syarat Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Bupati/Walikota tentang DD.

Kedua, penyaluran dari RKUD ke RKD membutuhkan syarat Peraturan Desa tentang RPJMDesa dan APBDesa maupun penyiapan rekening desa. Ketiga, penyaluran DD kepada desa berlangsung tiga tahap yang bersyarat dengan laporan khusus tentang penggunaan DD.

Keempat, penggunaan DD oleh desa harus disertai dengan Peraturan Bupati/Walikota tentang pengelolaan keuangan desa (turunan dari Permendagri No. 113/2014), Peraturan Bupati/Walikota tentang pengadaan barang jasa desa yang mengacu pada Perka LKPP No. 13/2013, Peraturan Bupati/Walikota tentang pedoman teknis belanja dana desa yang mengacu pada Permendesa tentang prioritas penggunaan dana desa.

Setelah keluar SKB Tiga Menteri dan kesepakatan baru antara Menteri Keuangan dan Menteri Desa, pencarian DD bisa dipotong dan disederhanakan.

DD semula 3 kali cair, lalu berubah menjadi dua kali, yakni 60% pada bulan April dan 40% pada bulan Agustus. Syarat pencairan DD untuk desa hanya Peraturan Desa tentang APBDesa dan laporan realisasi DD tahap sebelumnya.

Namun di daerah dua hal ini mengalami distorsi secara teknokratik dan birokratik.

Pertama, daerah mengatur lebih, yakni untuk melahirkan APBDesa, desa harus membikin dulu Rancangan Anggaran Biaya (RAB) yang ditempuh melalui prosedur teknis yang panjang.

Ini sebuah distorsi yang serius, dimana teknis (RAB) menentukan politik (APBDesa). Seharusnya dibalik, politik (APBD) menentukan teknis (RAB), dengan catatan bahwa penyusunan pos-pos belanja APBDesa dapat secara sederhana menggunakan harga unit (unit price) sesuai dengan standar biaya umum yang ditentukan daerah.

Karena teknis lebih dominan, maka di daerah, rezim pekerjaan umum dan rezim keuangan lebih utama ketimbang rezim desa. Bahkan yang menonjol bukanklah pembangunan desa melainkan pembangunan infastruktur di desa.

Kedua, karena daerah (khususnya pendukung rezim keuangan) menganggap bahwa DD merupakan penerimaan daerah, maka pencarian DD tidak cukup dengan laporan realiasi dua lembar melainkan LPJ (laporan pertanggungjawaban) setebal 40 cm.

Masalah ini terkait dengan kerumitan pengelolaan keuangan desa yang diatur secara teknokratik-birokratik oleh Permendagri No. 113/2014 serta peraturan bupati yang terkait.

Padahal sewaktu pembahasan RUU Desa, Pemerintah dan DPR sepakat merekomendasikan pengelolaan keuangan desa harus berbeda dengan pengelolaan keuangan pemerintah, yakni menggunakan model yang simpel yang penting menjamin akuntabilitas.

Karena kerumitan ini, Presiden Joko Widodo berulang kali mengatakan bahwa para kepala desa tidak sibuk bekerja mengurus rakyat melainkan sibuk mengurus laporan keuangan, dan karena itu Presiden memerintahkan agar pengelolaan keuangan desa dibuat sederhana dan mudah.

Sekadar program dana desa

Karena dana desa diatur tersendiri oleh PP No. 60/2014, yang disertai dengan prioritas pusat, maka dana desa berubah dari dana transfer menjadi program dana desa.

Dengan kalimat lain, PP itu yang mereduksi dana desa dari kerangka “rezim desa” menjadi “rezim keuangan”, yang kemudian dikonstruksi menjadi program/proyek pemerintah masuk ke desa, dengan cara mengekfektifkan (mengintegrasikan) seluruh program dan dana yang berbasis desa.

Karena sebagai program pemerintah, maka dana desa diatur, diarahkan, dikendalikan, bahkan diawasi secara ketat oleh tangan-tangan negara.

Dulu Presiden menegaskan DD untuk infrastruktur, sekarang memerintahkan untuk proyek padat karya. Belakangan muncul pengawasan yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk Polri.

Demikian juga dengan peran pendamping, yang tidak melakukan pendampingan desa secara utuh, melainkan hanya menjadi pendamping program dana desa.

Karena itu desa tidak menjadi kesatuan masyarakat hukum yang mandiri dalam mengatur dan mengurus uang yang menjadi hak mereka, melainkan hanya menjadi obyek seperti satuan kerja pelaksana proyek.

Kepala desa tidak tumbuh menjadi pemimpin rakyat desa, melainkan hanya menjadi petugas satker atau mandor proyek dana desa.

Jika UU Desa direduksi hanya menjadi program dana desa itu sebenarnya secara politik menyimpang dari Nawacita.

Dalam hal visi pemberdayaan desa, Jokowi-JK berjanji akan mengawal implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan.

Juga ditambah dengan janji: Memastikan berbagai perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa sejalan dengan substansi, jiwa dan semangat UU Desa.

Reduksi makna efektivitas dan risiko. Karena hadir sebagai proyek, maka dana desa tidak dipandang secara utuh dengan perspektif rezim desa, tetapi lebih banyak dipandang secara khusus dari sisi manfaat (efektivitas) dan risiko.

Dulu, sewaktu pembahasan RUU Desa, para teknokrat menolak dana desa karena kapasitas dan efektivitas yang rendah dan risiko korupsi yang tinggi.

Mereka lebih suka mengalirkan uang ke desa dengan program teknokratik, misalnya yang dibungkus dengan penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan infastruktur desa, atau nama-nama lainyang serupa.

Tetapi belajar dari sejarah, program-program ini hanya mengubah wajah desa, tetapi perubahan fundamental desa tidak pernah terjadi.

Hari ini diskursus tentang efektivitas dan risiko itu terus mengemuka. Kami memandang secara utuh bahwa efektivitas dana desa harus diletakkan dalam rezim desa, yakni efektivitas dibentuk oleh otoritas, kapasitas, partisipasi dan akuntabilitas.

Otoritas berkaitan dengan kemandirian desa mengambil prakarsa dan keputusan lokal sesuai dengan kepentingan masyarakat dan berproses melalui ruang deliberasi. Dalam deliberasi terdapat partisipasi dan akuntabilitas, dan hal ini juga akan mengurangi risiko korupsi.

Namun para teknokrat, pembajak dan penumpang gelap selalu mereduksi efektivitas dari sisi kapasitas teknis dan akuntabilitas hanya direduksi menjadi akuntabilitas instrumental dan pengawasan dari atas untuk mengurangi risiko korupsi.

Salah satu dimensi penting otoritas adalah swakelola. UU Desa menegaskan bahwa pembangunan desa, termasuk pengelolaan uang untuk pembangunan, dilaksanakan oleh pemerintah desa bersama masyarakat.

Kolektivitas ini merupakan konsekuensi dari bentuk desa hibrid. Dengan demikian, belanja pembangunan desa dilakukan dengan skema swakelola, tanpa harus melibatkan pihak ketiga melalui mekanisme tender.

Swakelola berarti menggunakan pengetahuan, keterampilan, sumberdaya, meterian dan tenaga lokal, yakni dalam lingkup desa sendiri, dijakankan sendiri oleh desa, yakni pemerintah desa dan masyarakat desa.

Namun Perka LKPP No. 13/2013 tentang pengadaan barang dan jasa di desa belum sesuai dengan prinsip-prinsip dalam UU Desa. Dengan judul pengadaan barang jasa di desa, rezim barjas ini tetap melihat desa dari pengadaan barjas, dengan payung Perpres 54.

Sejak tahun 2015, Perka ini sudah menghadapi banyak kritik, tetapi juga tidak berubah. Belakangan, Presiden memerintahkan agar dana desa dikerjakan dengan swakelola dan padat karya.

Artinya berarapun nilai proyek, entah 200 juta maupun 1 milyar, maka tetap dikerjakan dengan swakelola tanpa kehadiran pemborong, termasuk pemborong abal-abal yang dibuat kepala desa dan/atau perangkat desa.

Desa Adat, nomenklatur strategis yang terancam mandul.

“Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berjalan di seantero negeri, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat DITETAPKAN menjadi DESA ADAT.”

Begitu salah satu janji politik duet Jokowi – JK dalam Nawacita.

Bagaimana wujudnya kini?

UU Desa memang memperkenalkan dua jenis desa. Desa dan Desa Adat. Jika desa terbentuk lebih berdasarkan ukuran-ukuran demografis dan adminsitratif, desa adat terbentuk atas dasar sejarah dan hak asal-usulnya.

Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hadirnya nomenklatur desa adat dalam sistem pemerintahan di Indonesia adalah upaya mewujudkan mandat UUD 1945 Pasal 18B (2) yang memang mengakui hak masyarakat adat cq. desa (Jawa dan Bali), nagari (Minangkabau), gampong (Aceh), dan ratusan sebutan lain di seantero negeri.

Meski sejak awal kemerdekaan sudah diakui, alih-alih menterjemahkannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih operasional, yang terjadi pada masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau pelanggaran terhadapnya.

Situasi mulai berubah sejak Mahkamah Konstitusi melalui suatu keputusannya merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang harus dipenuhi.

Menurut versi UU Desa, suatu masyarakat hukum adat dapat ditetapkan menjadi desa adat jika

(a) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradsionalnya masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional

(b) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

(c) kesatuan masyarakat hukum ada beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut catatan Epistema Institute (2016) setidaknya saat ini ada 133 desa adat yang telah ditetapkan pemerintah daerah setempat. Tersebar di Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hilir, Riau, serta Kabupaten Jayapura, Papua.

Namun belum satu pun yang bisa diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Mengapa? Menurut UU Desa, desa adat ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain itu penyelenggaraan desa adat di suatu propinsi diatur pula melalui Peraturan Daerah Propinsi. Namun, menurut Peraturan Pemerintah no. 43/2015, menyimpang dari UU Desa, penetapan desa adat diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Masalah muncul karena aturan peralihan mengatakan perubahan status desa pasca penertapan UU Desa harus dilakukan dalam dua tahun setelah UU Desa diberlakukan.

Padahal, peraturan menteri yang dimaksud baru saja muncul awal tahun ini. Setelah UU Desa berjalan 3 tahun.

Selesaikah persoalan dengan terbitnya Permendagri 1/2017 tentang Penataan Desa?

Tidak!

Penyusun permendegari ini dapat dikatakan keliru dalam manafsir amanat pasal 7 (1) UU Desa, khususnya berkaitan dengan kata ‘dapat melakukan’, yang ditafsir sebagai ‘memiliki inisiatif’.

‘Dapat melakukan’ sejatinya merupakan kewenangan bagi masing-masing unit pemerintahan, mulai dari tingkat Pusat hingga Desa dalam proses penataan desa dengan peran dan fungsi yang berbeda satu sama lainnya.

Bukan peran dan fungsi yang sama seperti yang ada dalam kebijakan saat ini.

Merujuk pada pasal 3 UU Desa (azas pengaturan desa), seharusnya ‘prakarsa masyarakat desa’ itu menjadi dasar bagi proses-proses penataan desa yang akan berlangsung.

Kalaupun ada inisiatif yang datang dari kalangan di luar masyarakat desa, kekecualian itu hanya diberikan kepada Pemerintah (Pusat) sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Desa.

Pengecualian itu juga diberikan secara selektif, berkaitan dengan upaya yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional. Dengan kata lain, Permendagri 1/2017 ini melakukan ‘pengaturan yang berlebih’.

Peluang ‘penetapan desa untuk pertama kalinya’ sebagaimana diatur pada UU Desa Pasal 7 (4) butir e. secara sepihak telah ditutup oleh Pemerintah! Padahal, pada masa transisi, Pemerintah tidak mengerjakan instrumen peralihan yang dibutuhkan.

Saat ini pembentukan desa adat hanya dimungkinkan melalui proses perubahan status dari desa da/atau kelurahan (dengan menjadi desa dulu), sebagaimana diatur pada Pasal 57 ayat (2) butir b. dan c.

Meski begitu, syarat yang harus dipenuhi BERTENTANGAN dengan hak asal-usul sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 97 ayat (2) UU Desa.

Permendagri No. 1/2017 ini gagal membedakan pembentuakn desa adat dalam arti ‘penetapan desa adat untuk pertama kalinya’ (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) butir e dan Pasal 97 UU Desa dengan pembentukan (pemerintahan) desa adat sebagaimana diatur pada Pasal 98 ayat (2) UU Desa.

Menurut UU Desa, peran para pihak dalam penataan desa dapat dibeda-bedakan. Masing-masing adalah pihak yang mengambil inisiatif, pihak yang melakukan penetapan, pihak yang melakukan evaluasi, dan pihak yang melakukan pencatatan/registrasi.

Inisiatif penetapan desa (adat) tentu saja harus dari masyarakat desa itu sendiri, melalui musyawarah desa, karena penataan desa termasuk sebagai hal yang bersifat strategis.

Di lapangan karakter desa adat berbeda-beda. Oleh sebab itu, yang paling mendesak untuk diatur lebih lanjut adalah kriteria-kriteria dasar yang dijadikan ukuran untuk penetapan dan pembentukan desa adat sebagaimana diatur pada Pasal 97 dan Pasal 98 UU Desa. Hal ini belum terelaborasi dalam kebijakan yang lebih rendah/operasional ini.

Betapapun, suka atau tidak suka, logika penataan desa adat harus dimulai dengan penetapan desa adat untuk pertama kalinya. Tanpa itu logika pembentukan, perubahan status, ataupun penghapusan, menjadi tidak jalan.

Perlu dicatat, dalam Permendagri 1/2017 persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa.

Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidaklah sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil niat membayar hutang konstitusional pada masyarakat adat yang tertunda 70 tahun itu tidak akan segera terlaksana.

Ringkasnya ada 3 kelompok penghalang mengapa desa adat belum juga ada yang diregistrasi.

Selain soal adanya kendala kelengkapan kebijakan, masalah lain adalah soal political will baik Pusat maupun Pemerintah Daerah, dan persoalan yang terkait dengan ada-tidaknya kapasitas Pemerintah, terutama di tingkat Daerah dan komunitas yang bersangkutan.

Kekosongan kebijakan turunan tentang desa adat lebih dari 3 tahun boleh jadi bukti ketidaktulusan Negara dalam implementasi pengakuan hak-hak konstitusional ‘susunan asli’ itu. Ketidaktulusan ini memang sudah dicurigai sejak lama.

Dalam konteks penerapan UU Desa sebagai salah satu jalan untuk melakukan pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat ini, ketidaktulusan ini semakin nyata dengan hadirnya tafsir sepihak dari Pemerintah yang beranggapan masa transisi untuk menetapkan keberadaan desa adat itu telah berakhir pada tanggal 15 Januari 2015 lalu.

Tafsir itu telah memakan korban. Di Bali, misalnya, karena kurangnya waktu untuk bermusyawarah untuk menerapkan amanat Pasal 6 dan Penjelasannya, telah timbul ketegangan antara pihak yang pro desa adat dan yang menolaknya.

Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat. Di beberapa kabupaten di Riau proses legislasi untuk penetapan desa adat yang sudah sampai pada tahap paripurna akhirnya dihentikan karena tengat penetapan desa adat telah terlampaui.

Belum termanfaatkannya peluang perubahan melalui penerapan nomenklatur desa adat di daerah yang relevan juga tidak dapat dilepaskan dari relatif rendahnya kapasitas Pemerintah Daerah terkait.

Sampai pada batas tertentu juga rendahnya kapasitas komunitas dan organisasi masyarakat sipil. Padahal, Peraturan Pemerintah 47/2015 jelas-jelas memerintahkan Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan inventarisasi Desa yang ada di wilayahnya yang dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Pengalaman tidak termanfaatkannya peluang pengakuan hak masyarakat (hukum) adat setempat atas penetapan hutan adat; kebijakan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat; dan juga kebijakan tentang ‘pemerintahan desa’ yang ramah tradisi lokal yang sejatinya telah dimulai sejak UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lalu, sepertinya akan berulang.

Maka, ketiga masalah ini harus segera diatasi Permerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, jika tidak ingin dikatakan sebagai presiden yang tidak serius dengan janji kampanyenya.

(Artikel ini dikutip dari buku “Kembali ke Mandat: Hasil Pengawasan Komite I DPD RI Atas Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Opini)

Dalam rangka lima tahun terbitnya UU Desa pada 15 Januari 2014, kami menayangkan 8 artikel opini mengenai UU Desa. Diantaranya:

Scroll To Top