Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Meneropong Masa Depan NU dalam Pusaran Kekuasaan

Nahdlatul Ulama NU

Dalam hitungan hari, tepatnya 20 Oktober 2019, bangsa Indonesia akan memiliki Presiden dan Wakil Presiden baru, pasangan Ir. Joko Widodo dan Prof. KH Ma’ruf Amin periode 2019-2024. Salah satu tulang punggung dukungan politik naiknya pasangan tersebut berasal dari Nahdlatul Ulama (NU), meskipun tidak resmi, melalui tokoh-tokoh NU, organ otonom di bawahnya maupun partai politik yang berafiliasi NU (PKB dan PPP).

Dipilihnya Ma’ruf Amin (mantan Rais A’am PBNU) sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi tentu sudah dikalkulasi secara politik dari awal mula. Selain itu, dukungan ulama-ulama besar NU, sebut saja misalnya Habib Luthfi bin Yahya dan alm. Mbah Moen (K.H. Maimoen Zubair), serta tokoh-tokoh besar NU lainnya, semakin menegaskan kecenderungan ekspresi politik mayoritas warga Nahdliyin pada Pilpres 2019 lalu.

Memang sejak kembali ke khittah 1926 pada 1984, NU tidak pernah secara resmi dan formal berpolitik praktis. Namun, kecenderungan pilihan pada salah satu kontestan politik selalu terlihat dari pelbagai manuver sejumlah tokohnya. NU dan pesantren sudah lekat dengan politik, di dalam keilmuan Islam, dikenal kitab-kitab fiqih siyasah, yang mempelajari politik, kepedulian NU terhadap politik dimanifestasikan dalam politik luhur yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Hal ini terbukti dari peran Kyai dalam sejarah politik Indonesia tidak dapat dipisahkan, sejak dari zaman pergerakan, awal kemerdekaan melalui penentuan dasar negara dan ideologi negara, hingga mengisi pemerintahan sejak Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reformasi.

Tidak ada yang meragukan bahwa NU dalam kancah politik sekarang ini merupakan organisasi massa (ormas) Islam moderat terbesar di Indonesia yang paling berpengaruh dan mempengaruhi jalannya pemerintahan, terutama 5 tahun terakhir, dan bakal semakin menguat seiring salah satu tokohnya didapuk menjadi orang nomor dua dalam pemerintahan Indonesia 5 tahun ke depan.

Menjadi perihal menarik mengamati sepak terjang NU dalam perpolitikan Indonesia, selain pengaruhnya yang kuat, ormas ini juga memiliki adab dan kesantunan serta tradisi yang khas dimana pengaruh Kyai sangat kuat, sehingga arah gerakan organisasi cenderung didominasi suara politik para Kyai serta peran sentral pesantren sebagai basis pendidikan dan gerakan NU.

Posisi dan Kontribusi Politik NU

NU mengalami momentum puncak berkontribusi besar mengantarkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi Presiden-wakil presiden. Dari hasil beberapa lembaga survei, kontribusi suara warga Nahdliyin pada kisaran 55,6% ditujukan pada pasangan tersebut. Hubungan kausalitas antara kepentingan politik dan moderasi keagamaan menjadi tali penyimpul mempertemukan antara NU dan Jokowi dalam kacamata politik.

Menguatnya konservatisme agama dan radikalisme politik keagamaan pada periode pemerintahan Jokowi-JK, membuat rezim ini mengalami kepayahan dalam menghadapi kelompok-kelompok yang secara aliran berseberangan dengan NU, baik dari sisi kultur maupun gerakan politik. Upaya-upaya politik dan programatik pemerintahan Jokowi-JK melalui pembangunan infrastruktur yang masif tidak serta merta membuat publik kemudian mengapresiasi kinerja Jokowi, justru malah menjadi blunder politik karena dianggap meningkatkan utang negara secara signifikan. Apalagi, isu mengenai Islam sekuler dan ketidakberpihakan pemerintah atas kelompok mayoritas (muslim) menjadi amunisi efektif untuk menyerang sendi pertahanan pemerintahan Jokowi.

Oleh karenanya, menjadi pilihan strategis kemudian menggandeng NU dalam pemerintahan dan memang realisasi perolehan suara dalam Pemilu Serentak 2019 kemarin menjadi bukti setidaknya soliditas dukungan NU terjaga.

Rekam Jejak Kader NU di Pemerintahan Jokowi-JK 2014-2019

Peran politik melalui tokoh-tokoh politik NU yang berkiprah di pemerintahan Jokowi 5 tahun terakhir sudah cukup signifikan dalam sisi kuantitas. Setidaknya ada enam orang Menteri dari kalangan NU dalam kabinet Jokowi-JK, baik melalui jalur parpol maupun profesional yang berafiliasi dengan NU, meskipun ini masih debatable karena mereka dianggap mewakili tim sukses dan partai politik tertentu, bukan NU secara organisasional.

Namun demikian, setidaknya para tokoh yang berkiprah di pemerintahan Jokowi tersebut dapat mendeskripsikan peran NU mendapat proporsi signifikan, belum yang menduduki sebagai Duta Besar, jabatan komisaris di sejumlah BUMN. Namun demikian, patut diakui juga bahwa kinerja para tokoh NU, di pusaran pemerintahan ini masih rerata air, belum ada gebrakan signifikan yang mewarnai roda pemerintahan lima tahun ke belakang.

Bahkan ironisnya justru kader NU, kalau tidak dapat dikatakan tokoh PKB, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) terpaksa turun jabatan karena terkena reshuffle kabinet. Masih di Kementerian yang sama, teranyar BPK menemukan adanya biaya perjalanan dinas ganda atau tidak sesuai ketentuan di sejumlah kementerian dan lembaga (K/L). Temuan ini terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I)-2019, dua tahun sebelumnya (2016) juga mencuat kasus dugaan suap pada pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun 2016.

Hantaman terhadap kader NU di Kabinet Jokowi ternyata tidak berhenti. KPK terakhir menetapkan Menpora, yang juga politisi PKB, sebagai tersangka kasus dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia melalui Kemenpora tahun anggaran 2018.

Menjelang pelantikan presiden, berbagai survei dilakukan untuk menjaring aspirasi para bakal Menteri di Kabinet Jokowi-Ma’ruf ke depan. Ada beberapa clue yang duduk dalam formasi Kabinet ke depan, pertama dari komposisi profesi akan menggabungkan kader parpol dan kalangan profesional, kedua, membuka kemungkinan anak muda milenial mengisi jabatan Menteri Kabinet mendatang.

Bila merujuk dari beberpa survei yang diadakan media online, justru tokoh-tokoh yang terjaring melalui aspirasi publik tersebut muncul dari kalangan profesional namun mencerminkan basis kulturalnya entah NU atau ormas keagamaan lainnya. Hal ini sangat disayangkan karena pesantren yang menjadi andalan institusi pendidikan NU mestinya tidak kekurangan kader mumpuni untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan. Tentu ini menjadi tandatanya besar, apakah keran tersebut tertutup karena tradisi ke-NU-an, yang harus memenuhi nasab (keturunan), ataukah disebabkan hal lain.

Kader-kader muda NU yang memenuhi kriteria yang dimaksud presiden tentu sangat banyak, dan sirkulasi elit di kalangan NU masih didominasi para sesepuh NU dan transformasi politik dibutuhkan untuk mencairkan tersumbatnya keran kaderisasi di internal NU. Panggung politik sekarang di tangan NU dan menjadi kesempatan untuk memanfaatkan untuk kepentingan umat dan bangsa ke depan, namun semua hal ini dapat dimaksimalkan bilamana transformasi internal di sirkulasi elit NU dapat diakses oleh generasi muda NU dan menjadikannya NU sebagai ormas keagamaan yang inklusif.

Scroll To Top