Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Kontradiksi Dana Desa

Dr. Sutoro Eko

Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa - APMD

Kontradiksi Dana Desa

Ilustrasi (Dok)

Anda jangan pongah karena telah memberi Dana Desa (DD) sebesar 60 T, dan jangan merasa gagah perkasa karena membatalkan kenaikan DD. Besaran DD tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi desa (beserta seluruh isinya), ibarat menggarami air laut.

Bahkan besaran DD setiap tahun lebih kecil ketimbang duit yang dibelanjakan petani untuk bertani, berladang dan berkebun.

Hakekat DD adalah dana transfer yang menjadi hak, kewenangan dan kewajiban desa. DD menjadi sumberdaya dan energi bagi berdesa yang di dalamnya mengandung spirit kemandirian, kerakyatan dan kemakmuran.

Tetapi hakekat itu diubah menjadi instrumen/perangkat proyek yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat serta mengatasi ketimpangan layanan publik antardesa.

Sebagai proyek maka DD harus diatur, diarahkan, ditarget, didata, dikendalikan, diawasi. Pengawasan dan antikorupsi sangat penting untuk antisipasi risiko kebocoran dan penyemalatan uang negara.

Tetapi uang yang selamat bukanlah perubahan fundamental desa. Kepala desa yang bersih tanpa korupsi tetapi karena takut dan tidak berani ambil prakarsa, maka desa hanya terjebak dalam konservatisme dan involusi.

Kalau di zaman tanam paksa kepala desa dibuat jadi “mandor tebu”, sekarang kepala desa dibikin jadi “mandor proyek”.

Sebagai mandor, maka kades tidak pernah tumbuh jadi pemimpin, yang miskin kepekaan dan keberanian, bahkan menciptakan jarak politik antara kades dan rakyat.

Kontradiksi antara hakekat dengan perangkat proyek atau antara kepentingan lokal dengan kepentingan pusat itu cepat atau lambat hanya akan berbuah kegagalan.

Kesejatian desa tidak tumbuh karena dirusak oleh proyek. Proyek juga hanya mengubah wajah desa tetapi gagal mencapai tujuannya, sebab proyek itu tidak relevan dengan kesejatian desa.

Kalau Anda tidak percaya, silakan belajar pada sejarah yang otentik, bukan sejarah yang terus berulang sebagai lelucon dan kedunguan.

*) Opini ini adalah pandangan dan tanggung jawab penulis, bukan merupakan pandangan redaksi

Scroll To Top