Lewati ke konten

Jalan Ganjil Revisi UU Desa

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan

Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014, Pj. Gubernur Riau 2013-2014

TAHTA ITU MENGGODA. Sama halnya dengan wanita dan harta. Maka, ada kearifan lokal di negeri ini yang mewanti-wanti hati-hati dengan perkara tiga “ta” (tahta, harta, dan wanita). Bila kepeleset anda bisa kena skandal yang bikin hina. Ada pula dalil politik, “power breeds power”. Tahta  berkembang biak dan beranak pinak. Tahta yang bak candu itu juga kerap kali ingin diperbesar, diperluas, dan diperlama. Kalau bisa kita terus selama-lamanya yang berkuasa, menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota, dan kepala desa.

Tak usah ada pembatasan masa jabatan. Tak usah pula ada periodesasi. Segudang argumen bisa dikarang untuk menjustifikasinya. Mulai dari konflik pasca pemilihan yang berlarut-larut, efektivitas pembangunan, wabah pandemi covid, hingga perang di Ukraina.

Pola yang digandrungi banyak penguasa itu, “government by the one” alias monarkhi. Pola ini telah berurat berakar di dalam kehidupan bangsa kita sebelum Indonesia merdeka. Berbagai cara dilakukan oleh penikmat tahta itu untuk mengegolkan keinginannya. Tak peduli negeri ini telah menjadi negara modern dan sejak reformasi tahun 1998 bertransformasi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi. Daulat rakyat bukan daulat tuanku, di mana kekuasaan itu prinsipnya dibatasi. Bukan lagi tak terbatas seperti zaman rezim Orde Baru dulu. Bisa berkali-kali Soeharto menjabat jabatan presiden. Bisa berlama-lama si fulan menjadi kepala desa.

Jabatan kepala pemerintahan kini dibatasi lama dan periodesasinya sesuai spirit reformasi dan amanah konstitusi. Politik hukum masa jabatan kepala pemerintahan kita mulai dari tingkat nasional, lokal, hingga desa pada prinsipnya adalah lima tahunan dan berlaku hanya untuk dua periode (2×5=10 tahun) saja.

Satu-satunya daerah yang mendapat pengecualian adalah Provinsi DIY. Gubernur DIY yang berasal dari seorang Sultan Hamengku Buwono yang bertahta tidak dibatasi periodesasinya, tetapi tetap terikat pada batas masa jabatan lima tahunan. Tanggal 10 Oktober 2022 lalu, Presiden Joko  Widodo telah melantik Sultan Hamengkubuwono ke X menjadi Gubernur DIY untuk masa jabatan 2022-2027.

Tuntutan Kepala Desa

Hari Minggu 19 Februari kemaren APDESI merencanakan mengadakan simposium desa dengan tema “Membangun Indonesia Dari Desa” guna mendorong revisi UU Desa No 6 Tahun 2014, khususnya terkait penambahan lama jabatan kepala desa. Presiden Joko Widodo disebut akan menghadirinya dengan peserta 2.500 kepala desa. Mendadak acara itu ditunda jadi 19 Maret.

Mencermati tema, jelas jargon itu kosong melompong bila membangun Indonesia dari desa mengandalkan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun. Karena, akselerasi pembangunan desa lebih ditentukan oleh seberapa besar wewenang yang dimiliki, kelembagaan yang dapat dibentuk, dan kapasitas aparat pemerintahan desa, bukan oleh bertambahnya masa jabatan kepala desa.

Sebagai ilustrasi, pemerintahan Orde Reformasi membangun Indonesia dari daerah dengan cara melimpahkan kewenangan yang banyak dan besar dari pusat kepada daerah (sekitar 32 urusan pemerintahan), bukan dengan memperpanjang masa jabatan kepala daerah.

Akhir Januari lalu mencuat tuntutan para kepala desa lewat unjuk rasa di depan gedung DPR  yang meminta wakil rakyat untuk menambah masa jabatan mereka dari enam tahun menjadi sembilan tahun tanpa periodesasi. Pengaturan lama masa jabatan enam tahun dan tiga periode (18 tahun) yang berlaku saat ini termaktub di dalam UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang dibuat pada masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebelumnya di dalam UU Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979 yang dibuat pada era pemerintahan Soeharto, masa jabatan kepala desa delapan tahun dan bisa menjabat sampai dua periode (16 tahun). Kemudian, pada UU Pemda Nomor 32 Tahun 2004 masa jabatan kepala desa juga enam tahun tetapi hanya dua periode (12 tahun). Malahan diawal reformasi UU Pemda Nomor 22 Tahun 1999 mengatur masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua periode (2×5=10 tahun).

Jadi, jika dilihat dari sisi regulasi, makin lama waktu berkuasa kepala desa makin melencenglah kita dari spirit reformasi tahun 1999. Bahkan, melampaui era orde baru yang maksimal masa jabatan kepala desa 16 tahun (2x 8 tahun). Namun yang mencengangkan, ibarat gayung bersambut, beberapa fraksi partai politik di DPR bereaksi cepat. Pada hari itu juga mereka menyatakan persetujuannya atas aspirasi kepala desa itu.

Malahan, Presiden Joko Widodo menurut Budiman Sujatmiko (PDI-P) pada malam harinya pun bilang setuju. Belakangan dikoreksi, menjadi silahkan disampaikan ke DPR. Sekalipun tidak masuk agenda prolegnas prioritas 2023, konon DPR memaksakan akan menjadwalkan revisi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 pada tahun politik 2023 ini juga, jelang pileg dan pilpres 14 Februari 2024.

Prakarsa DPR?

Hal menarik lainnya, RUU Perubahan UU Desa itu akan diajukan sebagai prakarsa DPR. Padahal selama ini pembuatan RUU Desa selalu merupakan prakarsa pemerintah, baik ketika menyusun UU Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979 maupun UU Desa terakhir Nomor 6 Tahun 2014. Mengapa? Karena data desa, fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa, dan pengalaman pembinaan desa dipegang oleh pemerintah.

Malahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo penanganan desa dibelah tiga, urusan pemerintahan desa di tangan Kementerian Dalam Negeri, urusan pemberdayaan dan pembangunan desa di bawah Kementerian Desa, dan urusan dana desa dikelola oleh Kementerian Keuangan.

Jadi, seyogianya pemrakarsa RUU perubahan UU Desa secara holistik lebih tepat bila tetap dari pihak pemerintah, bukan dilepaskan kepada DPR yang pekat dengan kepentingan politik.

Publik agaknya bertanya-tanya mengapa respons DPR dan pemerintah bisa secepat kilat untuk merevisi UU Desa hanya gara-gara demo kepala desa menuntut tambahan waktu berkuasa. Lagi pula bukankah tindakan kepala desa yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan untuk dirinya sendiri itu tidak etis? Ada apa gerangan? Apa betul DPR tulus untuk membenahi pemerintahan desa yang diatur secara seragam padahal 74. 961 desa di Indonesia sangat beragam?

Apa benar DPR serius memperbaiki penyelenggaraan pembangunan desa yang terlalu teknokratis dan rumit di bawah payung tiga kementerian (Kemendes, Kemendagri, dan Kemenkeu) sehingga  membingungkan aparat desa, ataukah ada “udang di balik batu”?

Kalau dilihat dari tak masuknya RUU perubahan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 ke dalam prolegnas prioritas tahun 2023, dan ditambah pula waktu pembahasan RUU perubahan Desa yang bakal sangat pragmatis, dan kejar tayang sebelum pileg dan pilpres digelar, atau disusun dalam tempo bilangan bulan, kuat dugaan perubahan UU Desa ini akan syarat dengan konflik kepentingan, bahkan berpotensi transaksional.

Jauh dari semangat untuk menguatkan otonomi asli desa. Kepala desa dapat tambahan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun, sehingga bisa mengelola dana desa lebih lama, dan partai-partai politik yang mendukung perubahan UU Desa bakal mendulang suara dari klien kepala desa pada pileg dan pilpres 2024, serta presiden yang menandatangani undang-undang tersebut naik pamornya.

Revisi UU Desa

Sebetulnya, mengingat usia UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 ini yang hampir mencapai 10 tahun, dan dalam implementasinya memang terdapat sejumlah masalah, revisi yang normal mengikuti kaidah ilmiah dapat dilakukan. Misalnya, pemerintah lebih dulu tahun 2023 ini membuat evaluasi dan kajian mendalam. Berdasarkan itu disusun naskah akademik dan draft RUU perubahan serta diajukan ke DPR. Barulah pada tahun 2024 dibahas bersama DPR dan DPD dengan melibatkan publik (meaningful participation).

Toh, masa jabatan anggota DPR baru akan berakhir 1 Oktober 2024. Bila belum selesai, DPR baru hasil pemilu 2024 dapat melanjutkan pembahasannya.

Ada banyak hal dari UU Desa itu yang memang mesti diperbaiki selain dari soal masa jabatan kepala desa yang kebablasan membolehkan enam tahun dan tiga periode. Apalagi jika nanti ditambah jadi Sembilan tahun tanpa periodesasi. Paling tidak dari kajian kami terdapat tujuh isu krusial.

Pertama, kewenangan desa. Hak asal-usul dan hak tradisional kurang berkembang. Kewenangan delegatif dari pemerintah atasan belum banyak diberikan, dan kewenangan lokal skala desa tidak jelas.

Kedua, kelembagaan desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi badan superpower di desa. Fungsi BPD mereduksi partisipasi lembaga adat lainnya. BPD menerima penghasilan setiap bulan tidak berdasarkan kegiatan, dan keterlibatannya dalam dana desa kurang efektif.

Ketiga, perangkat desa. Kasus korupsi yang menimpa banyak perangkat desa termasuk kepala desa, rendahnya penghasilan perangkat desa, serta pengangkatan perangkat desa mengabaikan kompetensi dan tradisi desa.

Keempat, keuangan desa. Alokasi anggaran dari APBN kurang jelas. Belum ada pengaturan dana alokasi khusus desa. Bantuan keuangan dari APBD provinsi dan kabupaten/kota belum lancar.

Kelima, pemilihan kepala desa. Pemilihan diselenggarakan tanpa mempertimbangkan tradisi dan adat istiadat setempat. Pilkades serentak berbiaya besar menguras APBD kabupaten/kota. Bahkan pilkades secara langsung kental dengan politik uang dan maraknya perjudian.

Keenam, kemampuan perangkat desa dalam menyusun peraturan desa sangat terbatas, dan lemahnya partisipasi masyarakat desa dalam pembuatan peraturan desa.

Ketujuh, Hakim Perdamaian Desa. UU Desa sekarang tidak mengatur soal lembaga Hakim perdamaian Desa. Padahal, dalam rangka pelaksanaan restorative justice seperti perkara tindak pidana ringan, orang mencuri kayu bakar, atau buah-buahan, atau ternak kehadiran lembaga ini suatu kebutuhan, agar tak membludak perkara di pengadilan serta hidupnya tradisi penyelesaian secara adat setempat.

Agar tak jadi skandal dan perbaikan UU Desa bisa lebih optimal, rute jalan dan tahapan yang normallah yang hendaknya ditempuh oleh pemerintah dan DPR, bukan yang ganjil gara-gara mau untung jelang pemilu 2024. (*)

*Tulisan ini sudah ditayangkan di Media Indonesia pada 20 Februari 2023. Atas persetujuan penulis, tulisan ini ditayangkan kembali di desapedia.id

Scroll To Top