Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Harakiri, Isu BUMDesa Menjadi Koperasi

Anom Surya Putra

Ketua Umum Perkumpulan Jaringan Komunikasi (Jarkom) Desa

Bumdesa

Hampir satu tahun terakhir saya bergelimang dengan pencarian atas diskursus filsafat yang merefleksikan eksistensi BUM Desa.

Meski BUM Desa eksis dan nyata memberikan manfaat bagi warganya, penulis masih menjumpai ketidakpastian kedudukan badan hukum BUM Desa yang dikeluhkan oleh Pemerintah Desa, BPD, dan BUM Desa dalam diskusi dengan BUM Desa di Nganjuk, Jawa Timur (Putra, 2017).

Fenomena badan hukum fiksi masih dijumpai pula oleh penulis pada BUM Desa di Desa Jahanjang, Katingan, Kalimantan Tengah, yang dibentuk pada awal tahun 2018 untuk mengelola pasar Desa dan pelabuhan kecil.

Musyawarah Desa sudah menetapkan Peraturan Desa yang mengatur dan menetapkan BUM Desa, tetapi pemerintah daerah kabupaten/kota mendorong legalitas BUM Desa pada akta pendirian yang disahkan oleh Notaris supaya memperoleh kedudukannya sebagai badan hukum.

Praktik diskursif BUM Desa semakin bergeser kepada hukum privat daripada hukum publik. BUM Desa dan Peraturan Desa ditetapkan ulang atas dasar otoritas Notaris.

Hal ini bertentangan dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa penetapan BUM Desa hanya melalui Peraturan Desa dan AD/ART ditetapkan oleh Kepala Desa melalui Keputusan Kepala Desa sesuai ketentuan Pasal 136 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015.

Penelitian hukum-empiris dibutuhkan untuk melakukan teoritisasi badan hukum BUM Desa yang lebih memadai ditengah kondisi BUM Desa yang sedang berbenah diri menuju kemandirian Desa.

Konsep hukum yang melandasi BUM Desa adalah teori personalitas-kolektif (Gesammtpersönlichkeit, Jerman).

Personalitas-kolektif BUM Desa adalah kesadaran personal dan inter-personal BUM Desa yang berpikir dan bertindak sebagai satu kesatuan organik dari Desa.

Personalitas-kolektif BUM Desa eksis dan nyata di Desa berdasar konsensus bahwa BUM Desa merupakan satu kesatuan dari Desa.

Sebab itu, kaidah hukum dalam Pasal 87 ayat (1) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan BUM Desa sebagai Badan Usaha Bercirikan Desa.

Badan Usaha Bercirikan Desa tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi.

BUM Desa sebagai Badan Usaha Bercirikan Desa dilandasi asas hukum kekeluargaan dan kegotongroyongan berdasar Pasal 87 ayat (2) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Oleh karena itu kedudukan badan hukum dari BUM Desa secara konsisten harus dipisahkan dari seluruh badan hukum yang ada seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi.

Kedudukan badan hukum dari BUM Desa membutuhkan kerangka teoritis yang relevan dengan BUM Desa sebagai bagian dari satu kesatuan Desa dan bukan entitas hukum yang terpisah seperti halnya KUD, badan kredit Desa, dan badan-badan korporatif sebelumnya.

Kerangka teoritis badan hukum yang relevan untuk mengkonstruksi badan hukum dari BUM Desa adalah teori organik dari Gierke untuk meletakkan asas hukum dan prinsip hukum yang fundamental bagi BUM Desa, diuraikan ringkas sebagai berikut.

Teori personalitas yang melandasi BUM Desa adalah personalitas-kolektif (Gesammtpersönlichkeit).

BUM Desa mempunyai kesadaran personal dan inter-personal untuk berpikir dan bertindak sebagai satu kesatuan dari Desa.

Masing-masing individu dan kelompok masyarakat di Desa yang mengelola usaha melalui BUM Desa diakui sebagai subjek hukum dalam realitas sosial atas dasar personalitas-kolektif, dan bukan atas dasar personalitas-individual atau kelompok (Gesammtperson).

Kekuasaan negara memberikan personalitas-hukum kepada BUM Desa atas dasar personalitas kolektifnya sebagai bagian organik dari Desa (kesatuan masyarakat hukum – Körperschaftsbegriff).

Untuk itu, BUM Desa dikonstruksi secara normatif dilandasi asas kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Asas kekeluargaan yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa, sedangkan asas kegotongroyongan yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa (Penjelasan tentang Asas Pengaturan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa).

Asas kekeluargaan identik dengan teori Genossenshcaft dari Gierke bahwa asas kekeluargaan (Genossenschaftsgedanke) atau semangat kekeluargaan (Genossenschaftsprinzip) memposisikan BUM Desa bagian dari satu kesatuan kolektif Desa (Bdk. Gueci, 1999).

Idealnya, BUM Desa merupakan badan hukum publik yang tunduk dibawah pengertian asas kekeluargaan dan semangat kekeluargaan.

Segala bentuk kerjasama (co-operative) yang dilakukan oleh unit-unit usaha BUM Desa yang berbadan hukum privat, didirikan oleh BUM Desa (badan hukum publik) berdasar asas (Genossenschaftsgedanke) atau semangat kekeluargaan (Genossenschaftsprinzip).

Asas kegotongroyongan selain merupakan kebiasaan tolong-menolong skala lokal Desa juga melegitimasikan BUM Desa dari komunitas senasib (Schicksals-gemeinschaften) menjadi satu komunitas karakter bangsa (Charakter­gemeinschaften) yang terikat dengan tanah-air (Soekarno dalam Yamin, 1971: 69-71; Bdk. Bauer, 1907; Bauer, 2000).

Dengan cara demikian BUM Desa yang eksis di realitas sosial disaring dengan menggunakan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan untuk diakui oleh kekuasaan negara sebagai badan hukum organik (Korporation).

Kekuasaan negara tidak lagi mengakui BUM Desa sebagai badan hukum privat yang dibentuk atas dasar personalitas-individual dan kelompok atau BUM Desa berbadan hukum lembaga bisnis secara total sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Pengaturan tentang BUM Desa lebih kompleks daripada mengatur badan-badan hukum lainnya karena terdapat ikatan BUM Desa sebagai bagian organik dari Desa itu sendiri.

***

Scroll To Top