Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Awas! Miskalkulasi Untung Rugi Atas Nama Kemudahan Investasi

Yulia Indrianingtyas

Peneliti di Pusat Kajian dan Anggaran (Puskadaran) Sekretariat Jenderal DPD RI

404 Desapedia

Inisiatif DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang merupakan carry over periode sebelumnya, menuai hasil dengan disahkannya RUU tersebut menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 melalui Sidang Paripurna 12 Mei 2020.

Namun demikian, catatan penting perlu disematkan atas kehadiran UU Minerba ini.

Tidak saja terhadap aspek formil menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangannya yang terkesan dipaksakan, aspek materiil yang termuat dalam undang-undang perubahan dimaksud tak kalah penting untuk dicermati karena berpotensi melanggar cita-cita konstitusi.

Belajar dari UU Minerba

Secara umum, substansi yang mendapat sorotan tajam dari UU Minerba adalah keberpihakan undang-undang ini terhadap investor. Keberpihakannya dinilai sudah tidak lagi sejalan dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945.

Pandangan ini setidaknya didasarkan pada beberapa indikasi antara lain, pertama, menyangkut wilayah eksplorasi dan operasi produksi. UU Minerba mengintrodusir wilayah hukum pertambangan, yang berdasarkan definisinya memungkinkan eksploitasi tidak saja dilakukan di wilayah daratan termasuk ruang dalam bumi, melainkan juga perairan, laut, dan landas kontinen sebagai satu kesatuan wilayah kepulauan Indonesia.

Terminologi wilayah hukum pertambangan ini dikhawatirkan menjadi alat legitimasi penguasaan wilayah yang secara existing bukan wilayah pertambangan, misalnya kawasan permukiman penduduk, demi kegiatan penyelidikan, penelitian, dan pertambangan di seluruh wilayah Indonesia.

Kedua, perizinan. Dasar hukum eksplorasi pertambangan yang semula dalam bentuk Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) diubah menjadi perizinan dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Ada jaminan kemudahan untuk mendapatkan izin bagi perusahaan pemegang KK dan PKP2B, tidak saja terkait lelang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melainkan  juga terkait perpanjangan jangka waktu kegiatan operasi produksi.

UU Minerba secara eksplisit menjamin 2 (dua) kali perpanjangan terhadap kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dalam waktu maksimal 10 (sepuluh) tahun.

Ketentuan ini memungkinkan pemegang KK dan PKP2B dapat melanjutkan izin sampai 20 (dua puluh) tahun secara mudah.

Terlebih bagi pemegang KK dan PKP2B yang telah terintegrasi dengan smelter dan PLTU, selain mendapatkan IUPK dengan waktu 20 (dua puluh) tahun juga mendapat hak perpanjangan 2×10 tahun tanpa mengurangi luas wilayah pertambangan.

Mereka juga mendapatkan insentif fiskal, bahkan bagi IUP baru mendapatkan tambahan luas wilayah pertambangan. Penting untuk ditambahkan, UU Minerba ini memungkinkan terjadi pemindahtanganan IUP dan IUPK melalui persetujuan menteri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang merupakan ketentuan baru dalam UU Minerba otomatis merupakan konsep yang absurd.

Sebab berdasarkan definisi wilayah pertambangan yang ditetapkan sebagai WPN, wilayah ini adalah hasil pengurangan, penciutan, dan/atau penghitungan kembali wilayah KK dan PKP2B serta rekonsiliasi IUP yang dinyatakan bermasalah.

Bagaimana akan ditetapkan menjadi WPN ketika perizinannya diberi jaminan?

Ketiga, relasi pusat-daerah. UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 menegaskan bahwa wewenang pengusahaan minerba hanya dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah kabupaten/kota tidak lagi mempunyai kewenangan perizinan.

Ketentuan ini menyesuaikan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diketahui, UU Pemerintahan Daerah ini telah menggerakkan pendulum otonomi ke arah sentralistik.

UU ini menjadikan ruang gerak daerah relatif terbatas untuk mengelola sumber daya strategis karena kewenangannya ditarik ke pusat, termasuk pengusahaan minerba.

Kendati pemerintah provinsi mendapatkan kenaikan bagian atas kegiatan operasi produksi oleh pemegang IUPK dari semula 1% menjadi 1,5%, penarikan kewenangan pengusahaan minerba ke pusat menambah tudingan skeptis atas komitmen pemerintah memperkuat otonomi daerah sebagai amanat reformasi. Daerah akan semakin terkendala dalam upaya meningatkan PAD-nya melalui sektor-sektor strategis di wilayahnya.

Di lain hal, pemerintah pusat memberikan kewenangan fungsi pengawasan kepada pemerintah provinsi. Dapat dipastikan pemerintah provinsi akan menghadapi kendala struktural dalam mengawasi perusahaan yang notabene memegang izin dari pusat.

Tantangan lebih beratnya adalah perluasan wilayah pertambangan, yang semula difokuskan di daratan menjadi termasuk wilayah perairan, laut, dan landas kontinen.

Mengingat kembali bahwa semangat dilakukannya perubahan terhadap UU Minerba adalah untuk menjaga agar investor tidak lari, yang distimulasi pula dengan keringanan dan fasilitas pajak, lalu sebetulnya untuk siapa investasi itu jika daerah pun tidak diberi kewenangan?

Keempat, material tambang. Permasalahan utama dunia pertambangan Indonesia yang belum terpecahkan adalah bahwa perusahaan selama ini diberikan keleluasaan untuk menguasai tidak saja mineral tambang atau batubara melainkan juga material ikutannya.

Indonesia memiliki logam-logam yang sangat dibutuhkan industri strategis secara melimpah, salah satunya logam tanah jarang (LTJ/Rare Earths). Mineral-mineral dari LTJ ini merupakan mineral ikutan (tailing) dari kegiatan penambangan timah, artinya produk sampingan dari pengolahan timah.

Potensi LTJ, di Bangka Belitung saja misalnya, diperkirakan mencapai 7 (tujuh) juta ton, tetapi karena Indonesia tidak menguasai teknologi pengolahannya maka mineral ikutan tersebut menjadi hak kepemilikan pemegang IUP dan IUPK.

Secara ekonomi, nilai jual raw material tentunya jauh lebih murah dibandingkan jika telah diolah.

Pasir monasit misalnya, harga jualnya bisa meningkat 32 kali lipat jika sudah diolah dalam bentuk oksida atau bahkan 60 kali lipat jika sudah diolah dalam bentuk logam.

UU Minerba masih membuka penguasaan mineral ikutan ini oleh pemegang izin, artinya dalam dekade ke depan masih akan ada opportunity lost bagi negara atas penguasaan mineral-mineral strategis dan melimpah tersebut oleh investor dengan harga sangat murah.

Kelima, kelestarian lingkungan hidup. Salah satu pertimbangan perlunya dilakukan perubahan terhadap UU Minerba adalah bahwa mineral dan batubara merupakan sumber daya dan kekayaan alam yang tidak terbarukan untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Konsep pembangunan nasional yang berkelanjutan (sustainable development) adalah menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kestabilan sosial, dan kelestarian lingkungan untuk kebutuhan saat ini dan generasi mendatang.

Namun pertimbangan tersebut tampak sebagai sebuah paradoks jika dihadapkan dengan materi yang termuat dalam UU Minerba. Salah satunya adalah kemungkinan bagi pemegang IUP atau IUPK untuk tidak melakukan reklamasi dan pascatambang.

Padahal eksplorasi mengkondisikan terjadinya perubahan morfologi dan fungsi lahan, serta penimbunan tanah kupasan maupun jaringan infrastruktur. Teknik penambangan open pit misalnya, mengakibatkan hilangnya vegetasi penutup tanah dan lapisan atas tanah yang subur.

Adanya perluasan wilayah pertambangan, sebagaimana definisi wilayah hukum pertambangan, dikhawatirkan akan semakin memperluas dampak buruk terhadap lingkungan.

Kegiatan eksplorasi juga membawa masalah limbah pengolahan. Penurunan kualitas lingkungan karena pencemaran tanah, air, dan polusi udara adalah hal yang sulit dihindari.

Freeport misalnya, telah membuang limbah tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) ke Sungai Ajkwa dan mencapai pesisir laut Arafura.

Pengelolaan lingkungan semacam ini tampaknya tidak akan menjadi permasalahan secara yuridis ketika pengelolaan lingkungan ditempatkan sebagai salah satu persyaratan dalam lelang, dan ada penegasan jaminan dalam UU Minerba untuk kemudahannya.

Keenam, keberpihakan terhadap rakyat. UU Minerba dipandang tidak memberikan ruang hak veto bagi rakyat ketika ada kegiatan pertambangan di lingkungan mereka.

Berdasarkan data Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), sebanyak 44% daratan kepulauan Indonesia merupakan wilayah konsesi pertambangan dan migas. Data tersebut adalah luasan sebelum disahkannya UU Minerba.

Adanya terminologi wilayah hukum pertambangan dalam UU Minerba memungkinkan luasan tersebut kian bertambah, sementara di lain sisi ketiadaan hak veto rakyat akan meningkatkan potensi konflik pemanfaatan ruang di masa mendatang.

Terlebih, UU Minerba mendelegasikan penyelesaian hak atas tanah dengan Peraturan Pemerintah. Artinya konflik antara rakyat dan pemegang IUP atau IUPK akan semakin berlarut-larut.

Adalah suatu paradoks ketika eksploitasi sumber daya alam, yang tidak dapat diperbarui, diberi berbagai kemudahan namun di sisi lain tidak membawa kemanfaatan signifikan terhadap kesejahteraan rakyat.

Dapat dicermati bahwa provinsi-provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi justru bukan provinsi yang mengandalkan eksploitasi kekayaan alam. DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat adalah provinsi dengan PDRB tertinggi yang tidak mengandalkan sumber daya alam tak terbarukan (2018).

Sementara provinsi-provinsi yang mengandalkan eksploitasi sektor tambang tidak menunjukkan angka yang menggembirakan. Papua misalnya, berada di urutan ke-15, Kalimantan Selatan ke-18, dan Bangka Belitung yang kaya timah berada di urutan ke-29.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah masih dipegang Papua dengan angka 60,84 di tahun 2019, jauh dibanding DKI Jakarta di angka 80,75.

Persentase kemiskinan juga disematkan kepada Papua, kenyataan ironis dimana Freeport mendapatkan keuntungan tidak sedikit atas eksploitasi sumber daya alamnya.

Masihkah sumber daya alam yang harus dilestarikan untuk keberlanjutan pembangunan di masa datang ini diprimadonakan, sementara tidak memberikan kemanfaatan yang signifikan bagi rakyatnya?

Quo Vadis RUU Cipta Kerja terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup

Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja hadir untuk melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha agar terjadi peningkatan investasi yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Intinya adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Implementasinya melalui perizinan yang kewenangannya ditarik menjadi kewenangan pusat. Disahkannya UU Minerba ibarat salah satu instrumen dari orkestrasi penyelenggaraan pemerintahan pusat-daerah yang mendendangkan lagu sentralistik.

Tak kalah seru, pembahasan RUU Cipta Kerja khususnya yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup juga menuai kritik sebagaimana UU Minerba: kemudahan investasi yang mengesampingkan faktor lingkungan dan sosial.

Sinyalemen ini ditengarai dari setidaknya 3 hal yang mengemuka, yakni simplifikasi perizinan berusaha, pengaburan kewajiban perusahaan dalam pelestarian lingkungan hidup, dan pelemahan ruang publik.

Pertama, simplifikasi perizinan berusaha. Sebagai jaminan kemudahan, izin lingkungan dipangkas. Analisis terhadap dampak lingkungan (Amdal) sebagai salah satu syarat, dalam RUU Cipta Kerja maknanya telah direduksi.

Padahal fungsinya sangat penting sebagai titik tolak pengawasan, yang di dalamnya  termasuk sekumpulan izin strategis seperti izin pembuangan limbah dan izin pengelolaan limbah B3.

Bagaimana mungkin upaya penegakan hukum dapat dilakukan jika unsur yang menjadi tolok ukurnya dihilangkan?

Bentuk lain simplifikasi perizinan adalah pemangkasan syarat esensial alih fungi lahan pertanian berkelanjutan dan lahan budi daya pertanian yang hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum.

Termasuk dalam persyaratan ini adalah kajian kelayakan strategis dan sejumlah syarat lainnya.

Jika hal ini dipangkas, maka tidak ada jaminan perlindungan bagi petani dan masyarakat dari upaya alih fungsi lahan. Terlebih pedoman untuk menetapkan batas luasan penggunaan lahan perkebunan juga dihapus. Kondisi ini paradoks dengan jaminan kemudahan berinvestasi.

Kedua, pengaburan kewajiban perusahaan dalam pelestarian lingkungan hidup. RUU Cipta Kerja membuka peluang kepada pemegang hak atau perizinan untuk lari dari tanggung jawab kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan.

Mereka hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Di lain sisi, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan pengecualian larangan pembakaran hutan bagi kearifan lokal dengan luas lahan maksimal 2 ha per kepala keluarga.

Ketentuan ini secara jelas dapat mempidanakan pelaku kegiatan peladang berpindah yang lazim dilakukan masyarakat tradisional dalam skala kecil.

Ketiga, pelemahan ruang publik. Di samping nilai strategis Amdal yang telah direduksi, peran masyarakat dalam perumusannya juga diperkecil.

Yang dapat terlibat dalam penyusunan Amdal hanyalah masyarakat yang terkena dampak langsung. Sedangkan masyarakat yang terdampak secara tidak langsung ataupun pemerhati lingkungan hidup tidak mendapat ruang untuk berpartisipasi dalam penyusunan Amdal.

Dalam konstruksi RUU Cipta Kerja, masyarakat juga tidak berhak mendapatkan informasi mengenai status kelayakan lingkungan mulai tahap permohonan, melainkan hanya setelah tahap keputusan diterbitkan.

Artinya publik nyaris tidak mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dalam hal keberatan atau menyampaikan pendapat lain. Kondisi demikian dikhawatirkan rentan terjadi konflik sosial baik secara horizontal maupun vertikal.

Kalkulasi Investasi : Untung atau Rugi

Paradigma pembangunan nasional berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kestabilan sosial, dan kelestarian lingkungan untuk kebutuhan saat ini dan generasi mendatang.

Pencapaian keseimbangan tiga faktor tersebut sangat ditentukan dari sikap Pemerintah atas hasil pergumulan dinamis beberapa aspek, yakni kemampuan menahan pengarusutamaan hegemoni, self positioning terhadap arus dinamika global, kemampuan manajerial dan enterpreneurship, serta kemampuan mengelola modal sosial.

Ujian besar bagi pemegang kekuasaan pemerintahan adalah ketika dihadapkan pada tagihan janji kampanye oleh kelompok elit pendukungnya.

Kemampuan mengelola konflik kepentingan ini akan menentukan posisinya atas  jebakan arus pusaran transaksional. Sekali terjebak dalam arus, akan terjadi tarikan arus pusaran yang lebih luas yang mampu menggerus sistem.

Intervensi tersebut tidak terlepas dari arus dinamika global dimana kelompok elit adalah ‘down-line’nya.

Kapitalisme global menjadi isu utama yang menjadikan negara-negara berkembang sulit berkembang melalui debt trap dan middle income trap. Negara berpacu dengan jebakan tersebut dan cenderung melupakan aspek lingkungan serta aspek sosial.

Padahal jika sedikit berpaling kepada isu internasional lain, barangkali ini dapat menjadi celah harapan untuk keluar dari jebakan.

Isu tersebut adalah perubahan iklim dan pemanasan global. Salah satu konsesus atas isu global itu adalah memasukkan komponen lingkungan dalam indikator pertumbuhan ekonomi dan memasukkan komponen perlindungan lingkungan hidup dalam standardisasi kesepakatan dan perjanjian internasional. Perlu goodwill dan komitmen untuk mengimplementasikan konsensus internasional ini dalam setiap kebijakan pembangunan.

Terbatasnya sumber daya alam yang dapat divaluasikan secara ekonomis sebagai konsekuensi dari komitmen menjaga kelestarian lingkungan hidup membutuhkan kemampuan manajerial dan enterpreneurship Pemerintah.

Kemampuan ini diperlukan dalam kerangka mendorong kreasi dan inovasi daerah untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi alternatif dengan tetap memperhatikan konservasi lingkungan.

Mencermati pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah (2019), kontribusi Pulau Jawa masih mendominasi sebesar 58,49% terhadap perekonomian nasional.

Disusul Sumatera sebesar 21,66%, Kalimantan 8,20%, Sulawesi 6,11%, dan sisanya sebesar 5,54% bersumber dari pulau lainnya.

Prestasi pertumbuhan PDRB di atas 6% diperoleh Maluku Utara (7,67%), Sulawesi Selatan (7,23%), Sulawesi Tengah (7,14%), serta Gorontalo dan Kalimantan Tengah (masing-masing 6,74%).

Daerah-daerah tersebut hampir tidak ada yang mengandalkan sektor pertambangan dan eksplorasi sumber daya alam untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya.

Artinya, meninggalkan paradigma eksploitasi kekayaan alam tak terbarukan untuk mengejar pertumbuhan adalah hal yang tak perlu dikhawatirkan karena kemanfaatan lain justru akan diperoleh.

Keseimbangan pengelolaan ekonomi dan lingkungan akan secara signifikan mendorong kestabilan sosial.

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dengan memperhatikan faktor lingkungan secara otomatis akan bergerak simultan dengan peningkatan modal sosial.

Pada tataran ini permasalahan sosial kemasyarakatan akan tereduksi, sehingga pengendaliannya relatif lebih mudah sebagai akibat dari minimnya distrust, apatisme, dan rebellion.

Dapat disimpulkan bahwa sinergi dan keseimbangan antara faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial harus dijadikan titik tolak Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan.

Harmonisasi ketiganya perlu dijaga agar tidak terjadi dominasi salah satu faktor.

Ketika kalkulasi investasi secara ekonomi akan bergerak zero sum game dengan aspek lingkungan dan sosial, semestinya rancangan kebijakannya harus dikalkulasi ulang. Jika besar pasak daripada tiang, lebih baik ditinggalkan

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. bps.go.id. Diakses 4 Juli 2020.

Daftar Inventarisasi Masalah RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. https://drive.google.com/file/d/15euO0hA4uN6810CfnRYoYJHdhVO_dDe_/view. Diakses 4 Juli 2020.

Hariandja, Richaldo dan Syahni, Della.  UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi. https://www.mongabay.co.id/2020/06/04/uu-minerba-baru-makin-ancam-hutan-lindung-dan-konservasi/. Diakses 4 Juli 2020.

Hendry, Dedek. Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Batubara Terus Berlanjut, Apa Solusinya? https://www.mongabay.co.id/2017/05/17/kerusakan-lingkungan-akibat-tambang-batubara-terus-berlanjut-apa-solusinya/. Diakses 4 Juli 2020.

Indonesian Center for Environmental Law. Pelemahan Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam RUU Cipta Kerja. https://icel.or.id/wp-content/uploads/Catatan-Ringkas-RUU-Cipta-Kerja-18.04.20-FINAL.CE-YF-2cv1.pdf. Diakses 5 Juli 2020.

Jaringan Advokasi Tambang. Bahaya Revisi UU Pertambangan Minerba. https://www.jatam.org/2019/10/02/bahaya-revisi-uu-pertambangan-minerba/. Diakses 4 Juli 2020.

Katadata. Inilah PDRB 34 Provinsi di Indonesia pada 2018. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/31/inilah-pdrb-34-provinsi-di-indonesia-pada-2018. Diakses 5 Juli 2020.

LPEM FEB UI. Pertambangan di Kawasan Konservasi: Permasalahan Regulasi dan Koordinasi. https://media.neliti.com/media/publications/45160-ID-pertambangan-di-kawasan-konservasi-permasalahan-regulasi-dan-koordinasi.pdf. Diakses 4 Juli 2020.

Nasution, Arif Zulkifli. Masalah Pengelolaan Tambang atau Mines Management Issues. https://bangazul.com/masalah-pengelolaan-tambang/. Diakses 4 Juli 2020.

Pertiwi, Suryani Wandari Putri. Baru Disahkan, UU Minerba yang Baru Langsung Panen Kritik. https://mediaindonesia.com/read/detail/312675-baru-disahkan-uu-minerba-yang-baru-langsung-panen-kritik. Diakses 4 Juli 2020.

Pusat Data Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kajian Potensi Mineral Ikutan Pada Pertambangan Timah. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-kajian-potensi-mineral-ikutan-timah-2017.pdf. Diakses 4 Juli 2020.

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan. Persandingan Pokok – Pokok UU No. 04 tahun 2009 dengan perubahan RUU Pertambangan Minerba. https://pushep.or.id/persandingan-pokok-pokok-uu-no-04-tahun-2009-dengan-perubahan-ruu-pertambangan-minerba/. Diakses 4 Juli 2020.

Sumardjono, Maria SW. Jurus Pangkas RUU Cipta Kerja. Kompas, 29 Juni 2020.

Surakusumah, Wahyu. Konsensus Global Sebagai Solusi Permasalahan Lingkungan Global (Pemanasan Global). http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/197212031999031-WAHYU_SURAKUSUMAH/konsensus_global_sebagai_solusi_permasalahan_lingkungan_glob.pdf. Diakses 5 Juli 2020.

Thomas, Vincent Fabian. Indeks Pembangunan Manusia 2019 di Bawah Target, Papua Terparah. https://tirto.id/indeks-pembangunan-manusia-2019-di-bawah-target-papua-terparah-ezzq. Diakses 5 Juli 2020.

Scroll To Top