Lewati ke konten

Manifesto Politik DPD RI: Urusan Desa di Dua Kementerian Harus Dikocok Ulang

Akhmad Muqowam

Wakil Ketua DPD RI Periode 2014-2019, Akhmad Muqowam (dok)

Magelang-desapedia.id – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Akhmad Muqowam yang hadir sebagai pembicara kunci pada Forum Simposium Nasional dengan tema “Menggagas Pemerintahan Desa sebagai Penyelenggara Langsung Pelayanan Publik” di Universitas Tidar Magelang, Jumat (1/3/2019) lalu, berkesempatan menyampaikan manifesto politik DPD RI terkait perkembangan UU Desa selama 5 tahun terakhir ini.

Menurutnya, selama 5 tahun pelaksanaan UU Desa telah membawa perubahan besar dalam lanskap politik dan pembangunan di Indonesia. Perkembangan positif pasca UU Desa diantaranya adalah desa tidak lagi dianggap sebagai isu pinggiran dan kini banyak pihak yang memperhatikan pembangunan desa. Sehingga kini banyak generasi dan tokoh-tokoh muda yang tertarik menjadi kepala desa.

Muqowam menambahkan, manifesto politik tersebut diantaranya.

Pertama, Pemerintah lebih baik mengganti dua peraturan pemerintah, yaitu PP No. 43/2014 jo PP No. 47/2015 serta PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015 menjadi satu peraturan pemerintah yang baru, bukan sebagai PP yang tambal sulam, tetapi PP yang komprehensif dan sesuai mandat UU Desa.

Salah satu substansi penting dalam PP baru tersebut adalah pengelolaan keuangan desa, yang harus dikemas secara berbeda dengan model pengelolaan keuangan pemerintah, harus lebih simpel tetapi tetap mengutamakan akuntabilitas.

Kedua, urusan desa di dua Kementerian itu harus dikocok ulang, menghasilkan kepengurusan hal ihwal tentang desa dengan format baru dan utuh. Antara Kemendagri dengan kementerian format baru harus ada koherensi kelembagaan dan politik, agar konsolidasi bisa dibangun sempurna.

Ketiga, hentikan kepungan pengawasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun Satgas Dana Desa Kementerian Desa. Mereka bukan saja tidak mempunyai kewenangan di bidang pengawasan, tetapi pengawasan yang mereka lakukan sungguh kontradiktif dengan hakekat pengawasan dalam UU Desa.

Kembalikan mekanisme pengawasan melalui musyawarah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), partisipasi masyarakat dan pengawasan oleh inspektorat daerah.

Keempat, hentikan diskursus sempit “Program Dana Desa”, dan silakan hadirkan diskursus baru yang mengarah pada perubahan desa sesuai mandat UU Desa.

Kelima, khusus dalam hal desa adat, pemerintah lebih menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat, yang terpisah dari satu PP atau gabungan dan peleburan 2 PP yang ada sekarang.

Keenam, pemerintah segera memberikan solusi terhadap Badan Hukum BUM Desa, dengan spirit UU Desa dengan bidang/ruang usaha yang sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, SDA dan SDM desa sendiri.

Ketujuh, pemerintah lebih baik menelorkan kebijakan dan regulasi yang terkait dengan hak desa mengakses atau memanfaatkan sumberdaya milik bersama seperti air, pantai, gunung, sungai, hutan, kebun, dan lain-lain untuk kemakmuran desa. (Red)

Scroll To Top