Fenomena kemiskinan, ketimpangan sosial, dan volatilitas pembangunan kerap mendera Indonesia, problematika tersebut semakin hari semakin melonjak, dibuktikan dengan data terakhir, pada Maret 2022, yakni jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 26,16 juta orang.
Berdasarkan daerahnya, persentase penduduk miskin Indonesia di pedesaan sebesar 12,29%. Sedangkan, persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 7,50%. Walaupun laporan angka kemiskinan ini kerap mengalami penurunan namun belum juga layak dimaknai sebagai suatu pencapaian.
Sebenarnya, apa yang melatar belakangi terjadinya ketiga problematika tersebut? Tentu, tidak lagi tabu menjalar, bahwasannya perihal tersebut disebabkan oleh kondisi pembangunan dalam segala bidang khususnya bidang pendidikan yang tidak merata, belum menjangkau hingga ke hilir.
Sehingga, seringkali pergantian strata pemerintahan, kerap menguarakan penanggulangan problematika yang tidak kunjung usai tersebut melalui program-program kredibel, yang dianggap mampu meminimalisir, memecahkan, dan meluluhlantakkan masalah kemiskinan, ketimpangan sosial, dan volatilitas pembangunan di Indonesia.
Upaya tersebut dipelopori melalui tekad pemerataan pembangunan di Indonesia, yang dimulai dengan menjangkau insan sebagai sumber daya manusia secara komprehensif, langkah awal dapat ditempuh melalui desa-desa di Indonesia.
Bukan tanpa rintangan, menyoal pembangunan di desa melalui pengembangan kualitas sumber daya manusia yang ditunjang dengan perbaikan tingkat literasi guna menyejahterakan rakyat kerap mendapat afeksi masyarakat maupun pemerintah dalam memanifestasikan pemerataan pembangunan yang merupakan jawaban dari problematika ketimpangan yang kian mendera Negara Indonesia.
Sampai-sampai, upaya pemerintah tersebut tercantum dalam sebuah regulasi yang mengikat. Seperti, berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 (TAP MPR No. IV/MPR/1999) mengamanatkan, antara lain: a) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. Diperkuat dengam Pasal 31 UUD 1945 pada ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Regulasi ataupun perundang-undangan tersebut menjadi acuan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerataan pendidikan melalui eskalasi tingkat literasi guna menunjang kualitas sumber daya manusia dari hulu hingga hilir, dari yang terpelosok hingga terdepan, dari pedesaan hingga perkotaan. Namun, lagi dan lagi salah satu tujuan yang hendak diwujudkan dan termuat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea-4, yakni “Mencerdaskan kehidupan bangsa,” musti terhambat sebab pengaruh akses buku, negara sendiri belum maksimal berupaya memberi pendekatan antara buku sebagai sumber referensi atau media literasi kepada rakyat khususnya di pedesaan.
Pemerintah belum mengaktifkan pembangunan perpustakaan desa. Perpustakaan Nasional RI mencatat masih ada 24 ribu perpustakaan desa pada 2017. Yang mana jumlah perpustakaan tersebut belum setara dengan jumlah desa yakni 74.957 desa.
Padahal, buku sendiri memberi pengaruh besar untuk mengembangkan kualitas pendidikan dan menunjang sumber daya manusia sebagai aset pembangunan desa yang mampu menyejahterakan segala aspek di bidang kehidupan masyarakatnya.
Bagaimana suatu masyarakat yang celik akan literasi mampu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas wawasan sehingga masyarakat desa mampu mengindahkan pendidikan sebagai acuan atau bekal utama dalam mengelola potensi desa baik melalui BUMDes sehingga berdaya ekonomis dan ergonomis, hal ini yang kemudian mampu menyejahterakan masyarakat desa itu sendiri.
Lalu, kemudian daripada itu, penulis mengajukan sebuah gagasan guna menggugah akan urgensi literasi yang tentu berpengaruh akan pembangunan desa, seperti keterbukaan akses yang memadai dalam menyediakan pasok buku-buku yang kemudian diedarkan ke seluruh kalangan masyarakat di desa. Bukan hanya sekadar distribusi buku, dana desa yang bersumber dari APBN mustinya dialokasikan untuk membangun sebuah wadah seperti taman baca masyarakat, perpustakaan, dan sebagainya yang mampu menunjang tingkat literasi di desa melalui berbagai program dan aktivitas literasi yang mampu menarik perhatian masyarakat.
Upaya tersebut juga musti disinergikan dengan keluarga sebagai sekolah pertama bagi cikal bakal insan yang berkualitas, dengan mengadakan program yang menunjang inovasi dalam membangun budaya literasi di keluarga. Contohnya, dengan memanifestasikan berbagai cara yang mampu dilakukan orang tua dalam membangun budaya literasi di rumah, seperti budaya membaca buku sebelum tidur selama lima belas menit, hal-hal sederhana seperti ini mampu membentuk budaya literasi guna menunjang pendidikan dan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin.
*) Penulis merupakan Pegiat Literasi