Berita utama Kompas, 1 Desember 2021 memuat praktik pemilihan kuwu (kepala desa) di Cirebon. Pemilihan kepala desa di sana pemenangnya menghabiskan uang 7 milyaran dan mempraktikkan perdukunan.
Sesudah selesai, terjadi tawur antarpendukung. Pendukung pecundang siap menyerang pendukung pemenang. Pemenangnya pun dengan pasukan bentukannya siap menyambut. Untuk menghindari konflik horizontal antarkubu, polisi dan TNI dikerahkan untuk mencegah dan mengendalikan.
Pemilihann kepala desa langsung sudah berumur 207 tahun karena pertama kali dilaksanakan pada masa Raffles di bawah Revenue Instruction 1814.
Kebijakan ini bukan dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan desa yang demokratis tapi untuk mencari orang paling berpengaruh (kuat) di desa yang selanjutnya diberi tugas menarik pajak.
Hal ini terkait dengan kebijakan land rent (pajak tanah). Kebijakan land rent ini ternyata tidak dapat dilaksanakan karena kepala desa yang sudah ada hanya bisa menarik upeti.
Untuk itu, Raffles menganti mereka lalu mengganti dengan pejabat baru. Caranya, kepala desa penggantinya ini dipilih langsung oleh penggarap tanah (wajib pajak).
Pemilihan ini dilakukan setiap tahun menjelang takwim pajak pada November–Desember. Cara pemilihannya sangat sederhana.
Komisi Pilihan (tiga orang) datang ke desa lalu mengundang semua penggarap tanah yang terkena pajak di tanah lapang.
Komisi Pilihan mengumumkan beban pajak tahun depan lalu bertanya kepada yang hadir siapa di antara mereka yang sanggup menjadi penarik pajak dengan beban pajak sebesar yang ditetapkan pemerintah.
Jika yang menyatakan sanggup hanya seorang maka Komisi Pilihan menetapkan dia sebagai penarik pajak sekaligus sebagai kepala desa untuk masa waktu satu tahun.
Jika yang menyatakan sanggup lebih dari satu, misalnya tiga orang maka Komisi Pilihan memanggil tiga orang tersebut maju berdiri di depan Komisi secara berbanjar.
Komisi lalu memberi perintah kepada para penggarap tanah yang tidak menjadi kandidat untuk memilih orang pilihannya dengan cara berdiri di belakang kandidat.
Komisi lalu menghitung jumlah orang yang memilih masing-masing kandidat.
Kandidat dengan urutan pemilih terpanjang ke belakang ditetapkan sebagai kepala desa dengan tugas utama menarik penarik pajak untuk masa jabatan satu tahun.
PP No. 212 tahun 1907 tentang Pemilihan Kepala Desa mengganti model pengisian kepala desa ala Raffles 1814.
Di sini terdapat perbedaan cara memilih dan masa jabatan. Caranya, pemilih dberi lidi khusus.
Pemilih lalu masuk bilik kemudian memasukkan lidi pada bumbung (kotak dari bambu) yang sudah ditandai sebagai bumbung kandidat A, kandidat B, dan kandidat C.
Komisi Pilihan lalu menghitung jumlah lidi yang masuk pada bumbung bertanda kandidat A, B, dan C.
Bumbung dengan jumlah lidi terbanyak, pemiliknya ditetapkan sebagai kepala desa. Adapun masa jabatannya tidak satu tahun tapi seumur hidup.
Adapun yang berhak memilih adalah penduduk yang terkena kewajiban rodi (penggarap tanah desa), mantan kepala desa, guru agama, penjaga masjid, dan penjaga makam keramat.
Perempuan, anak-anak, kepala desa yang dipecat tidak dengan hormat, dan orang yang dilepas haknya oleh hakim tidak mempunyai hak pilih (Pasal 1 ayat (2)).
Dalam buku Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur (1907) Tjokro Adi Koesoemo menulis bahwa pemilihan kepala desa pada tahun 1880-an diselenggarakan dengan cara kotor dan tidak menghasilkan kepala desa yang kompeten.
Pemilihan kepala desa diwarnai judi, open house tiga bulan penuh, main dukun, kandidat saling serang secara magic, intimidasi tim pemenang kepada calon pemilih, jor-joran pembelian suara oleh para kandidat, adanya pemodal dari etnis Cina untuk mendukung salah satu kandidat, dan menyuap pejabat.
Pemenang umumnya orang bodoh tapi ditakuti warga desa karena reputasi kejahatan dan/atau kekayaan. Kepala desa terpilih bukan menjadi pemimpin rakyatnya tapi hanya menjadi kaki tangan penguasa.
Soetardjo K. (1953, 1984) penulis buku babon “Desa” mengritik keras pemilihan kepala desa tersebut.
Pemilihan buatan penjajah Inggris dan Belanda tersebut dinilai liberal dan individualistik. Angelino (1931) memperkuat tesis Soetardjo. Angelino menjelaskan bahwa IGO/1906 tentang Desa dan PP No. 212/1907 tentang Pemilihan Kepala Desa adalah pengaturan lembaga pribumi ala municipal Eropa.
Soetardjo menjelaskan bahwa sejatinya warga desa sangat asing dengan pemilihan kepala desa model Barat tersebut.
Pengisian kepala desa model Barat sangat dipaksakan kepada warga desa karena tidak sesuai dengan budaya desa yang guyub rukun.
Pemilihan langsung yang penuh persaingan keras antarkandidat membuat warga desa terpecah belah dan saling bermusuhan.
Sebelum kebijakan Raffles warga desa tidak mengenal pemilihan langsung. Lucian Adam (1924) dan Jan Breman (1982, 1983, 2014) menulis bahwa sebelum kebijakan Raffles pengisian kepala desa dilakukan dengan berbagai cara.
Tiap-tiap daerah berbeda-beda. Di Jawa-Madura diisi dengan cara “primus inter pares” (yang kuat/sekti yang memimpin), dipilih oleh sesepuh/morokaki desa, atau ditunjuk raja/sultan.
Di luar Jawa-Madura diisi dengan cara “primus inter pares”, dipilih oleh kepala suku paling kuat, dipilih oleh tokoh-tokoh masyarakat, atau dipilih oleh perwakilan komunitas dan/atau sub suku.
Saat ini deskripsi pemilihan kepala desa langsung yang sudah berlangsung selama 207 tahun masih sama dengan pemilihan kepala desa abad ke-19 sebagaimana ditulis Tjokro Adi Koesoemo di atas.
Protetnya rata-rata diwarnai dengan membeli suara, judi, back up pemodal, pelibatan dukun, “perang” tim sukses/pendukung, dan menyuap pejabat. Hasilnya pun sama.
Kepala desa terpilih bukan pemimpin rakyat yang kompeten yang dapat memakmurkan pemilihnya tapi hanya kaki tangan penguasa yang mamanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan berbagai cara: penyalahgunaan wewenang, intimidasi kepada warganya sendiri, dan korupsi.
Dampak sosial, politik, dan ekonominya sama. Sesudah pemilihan, permusuhan antarpendukung kandidat berlangsung lama, penggantian perangkat desa non pendukung dengan anggota tim sukses pemenang, dan nihilnya peningkatan ekonomi rakyat desa.
Mengingat mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya sebaiknya pemilihan kepala desa langsung buatan penjajah tersebut perlu ditinjau ulang.
Model rekognisi (erkenning) atas lembaga asli desa tiap daerah bisa menjadi pilihan. Di Jawa-Madura bisa merekognisi lembaga dewan sesepuh (morokaki) sebagaimana dijelaskan Soetardjo K.
Rakyat desa memilih sesepuh desa: mantan kepala desa, kyai desa, tokoh adat, dan enam orang yang mewakili kepala-kepala rumah tangga.
Dewan Morokaki inilah yang memilih kepala desa. Model ini mirip dengan model pengisian walikota (maire) pada commune di Prancis.
Bedanya maire diambil dari anggota conceil (dewan kota). Sumatera Barat bisa merekognisi lembaga asli nagari sebagaimana ditulis oleh Hadjerat (1947).
Warga Nagari memilih dua puluh penghulu (penghulu nan dua puluah).
Salah satu darinya disepakati oleh anggota untuk diangkat sebagai penghulu kepala. Model ini sama persis dengan model Commission pada Town di Amerika Serikat