Lewati ke konten

The SMERU Research Institute Ungkap Faktor Pendukung dan Penghambat BLT Dana Desa

Dana Desa Untuk Bangun Pos Jaga di Desa

FOTO/Dok

Jakarta, desapedia.id – Pada akhir minggu lalu (17/), Peneliti The SMERU Research Institute, Asep Kurniawan memaparkan hasil penelitiannya yang bertajuk “BLT Dana Desa Sebagai Penanganan Dampak Pandemi Covid-19: Cerita Dari Desa”. Penelitian tersebut mengungkap berbagai faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kebijakan Bantuan Langsung TunaiDana Desa  (BLT–DD) yang bersumber dari APBN.

Faktor Pendukung

Dikutip dari hasil penelitian tersebut, keberhasilan desa dalam menunaikan kebijakan BLT-DD berkat besarnya dukungan yang mereka terima. Paling tidak ada tiga faktor kunci yang mendukung.

Pertama, kesiapan kelembagaan dan komitmen para pelaku yang terlibat langsung dalam prosesnya, baik di dalam desa maupun dari para pendamping. Kedua, sederhananya kriteria yang menjadi acuan dalam penentuan calon penerima. Ketiga, mekanisme yang membuka partisipasi banyak warga desa, sehingga membuat prosesnya berjalan transparan dan akuntabel.

Tulang punggung pelaksanaan BLT-DD adalah Tim Relawan Desa Lawan Covid-19 (tim relawan). Beruntung bagi desa bahwa tim relawan ini sudah terbentuk berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Desa No. 8/2020, sebelum keluar kebijakan BLT-DD. Seiring dengan keluarnya Permendesa No. 6/2020, tugas tim relawan ditambah sebagai pelaku pendataan dan verifikasi calon penerima BLT-DD.

Di banyak desa, motor penggerak tim relawan adalah pemuda desa. Mereka yang kemudian, bersama perangkat desa dan ketua RT/dusun, berjibaku melakukan pendataan dalam tenggat yang singkat. Apresiasi pun disampaikan, baik oleh kades maupun masyarakat penerima.

“Relawan ini saya kira yang paling berperan. Betul-betul mereka sudah berdedikasi dan berkomitmen untuk menyelesaikan semua tahapan pelaksanaan. Saya berterima kasih kepada Tim Relawan ini”, ujar Kades D18 Maros, pada 11 Mei 2020.

“Mereka [tim relawan] sangat membantu. Mereka datang pada saya dan bertanya, meminta KTP dan KK, dan mencatat-catat. Bukan saya yang datang ke mereka mengajukan diri untuk dapat bantuan”, ungkap seorang kuli bangunan yang menganggur, Desa D28 Badung, 12 Mei 2020).

Faktor berikutnya adalah digunakannya kriteria yang sederhana sehingga memudahkan desa dalam menyeleksi calon penerima BLT-DD. Kesederhanaan kriteria itu memberi ruang bagi desa untuk menambah atau mempertajam sesuai ukuran mereka. Dengan kata lain, desa mendapat kewenangan untuk mengatur siapa yang layak mendapat bantuan.

Contohnya, menilai kelayakan dengan membandingkan kondisi antarcalon penerima, termasuk melakukan pemeringkatan.

Ketiga, ini yang tampaknya faktor paling penting adalah pelibatan masyarakat desa untuk turut menentukan hasil pendataan. Dalam hal ini, kelembagaan yang secara efektif digunakan adalah musyawarah. Melalui musyawarah, transparansi dan akuntabilitas terjaga. Transparansi terjaga dengan terbukanya proses penilaian atas layak tidaknya keluarga yang didaftar untuk menjadi penerima BLT-DD.

Bahkan di beberapa desa, partisipasi itu dibuka mulai dari musyawarah tingkat RT atau dusun. Akuntabilitas pun turut terjaga karena ditetapkan bersama sehingga hasilnya bisa diterima semua pihak. Salah seorang PD mengatakan,

“Luar biasa sekali mas. Ada musyawarah dari tingkat RT. Ini bagus sekali karena masyarakat dilibatkan untuk memutuskan siapa yang berhak menerima sesuai kriteria yang ditetapkan pemerintah. Dengan musyawarah ini ada transparansi sehingga meminimalisir kecemburuan sosial di tengah masyarakat”, ujar seorang PD D25 di Kendal, 12 Mei 2020.

Walaupun begitu, ketidakpuasan masyarakat tetap muncul. Pemdes sendiri menyadari bahwa dalam proses pendataan tetap terbuka kemungkinan ketidaktepatan sasaran. Namun karena prosesnya dilakukan secara partisipatif, desa bersedia mengambil tanggung jawab. Bahkan lebih jauh, desa bersedia melakukan koreksi.

“[Dalam musdessus] kalau nama tertentu mau didrop, klian dinas banjar tempat nama itu jadi warganya akan bertanya apakah pemdes bersedia menjelaskan jika yang bersangkutan protes karena tidak jadi menerima bantuan. Peserta rapat menyanggupi permintaan tersebut atas nama pemdes”, jelas seorang PLD D27 di Badung, 13 Mei 2020.

”Kami memang terbuka kalau ada usulan dari masyarakat mengenai penerima yang dipandang tidak sesuai dengan kriteria. Jadi, mau tidak mau kalau terjadi seperti itu, kami harus melakukan musdes lagi untuk penetapannya”, ungkap Kasi Pemerintahan Desa D19 di Bekasi, 9 Mei 2020.

Faktor Penghambat

Pelaksanaan kebijakan BLT-DD menuntut desa untuk bergerak cepat. Permendesa No. 6/2020 yang menjadi pijakan operasional ditetapkan pada tanggal 13 April 2020. Namun, desa sudah ditarget menyalurkan BLT-DD pada periode April – Juni 2020.

Sayangnya, beberapa pengaturan oleh pemerintah supradesa sempat menjadi ganjalan. Pengaturan tersebut antara lain,

  1. Dualisme kriteria dari Kemendesa;
  2. Ketentuan yang tidak luwes, seperti pendataan yang mengharuskan calon penerima memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penyaluran yang harus berbentuk nontunai;
  3. Pemerintah kabupaten yang lambat melakukan verifikasi data hasil musdessus atau bahkan lambat merevisi peraturan bupati; dan
  4. Bantuan sosial yang datanya tumpang tindih.

Pada awal proses pendataan, sempat beredar dua jenis kriteria yang meresahkan para pelaku di desa. Kriteria pertama adalah yang hanya menyebutkan tiga kriteria sebagaimana Permendesa No. 6/2020. Kriteria kedua bersumber dari Surat Menteri Desa No. 1261/PRI/00/IV/2020 yang dalam lampiran tentang pedoman pendataan calon penerima BLT-DD memuat 14 kriteria yang mirip dengan kriteria rumah tangga miskin (RTM) dari kementerian sosial. Rata-rata informan keberatan dengan 14 kriteria tersebut. Mereka menyatakan, jangankan 14 kriteria, keluarga yang memenuhi 9 kriteria saja belum tentu ada.

Keresahan tersebut beriringan dengan persyaratan terkait NIK dan cara penyaluran nontunai. Dalam pendataan, desa menemukan keharusan mencatat NIK telah menyebabkan sebagian keluarga yang sesungguhnya layak menerima BLT terhalangi haknya karena tidak memiliki dokumen kependudukan. Sementara itu, penyaluran nontunai akan sulit dipenuhi karena tidak semua warga miskin memiliki rekening bank.

Untungnya Kemendesa cepat memberi solusi. Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dirjen PPMD) melalui Surat No. 12/PRI/00/IV/2020 memperbarui pengaturan yang meresahkan itu. Isinya, desa dapat menyalurkan bantuan secara tunai dengan memperhatikan protokol kesehatan. Calon penerima tidak wajib memiliki NIK, tetapi alamat domisilnya wajib dicatat dengan lengkap.

Hal terpenting, surat ini mengembalikan kriteria calon penerima sesuai Permendesa No. 6/2020. Surat Dirjen PPMD ini juga menggeser waktu penyaluran tahap pertama menjadi minggu pertama Mei 2020.

Walau demikian, di beberapa daerah revisi aturan tersebut belum diikuti. Masih ada pemerintah kabupaten (pemkab) yang bersikeras untuk menyalurkan BLT-DD secara nontunai, walaupun kades menyampaikan bahwa Kemendesa sudah memperbolehkan secara tunai. Syarat keharusan memiliki NIK juga menyebabkan beberapa calon penerima dicoret.

“Bank memang ada di mana-mana. Tapi  pemkab itu tidak mikir bahwa bank itu perlu surat instruksi dari pusat. Kita hubungi BRI, katanya masih berkoordinasi dengan pusat. Kita hubungi BNI, katanya masih berkoordinasi dengan pusat. Akhirnya kan terhambat penyalurannya”, ujar Kades dinas D21 di Karangasem, 8 Mei 2020.

“Hanya warga yang tidak mampu dan memiliki kartu keluarga dan NIK yang akan dilayani. Warga yang tidak memiliki kartu keluarga dan NIK dikeluarkan dari daftar penerima BLT”, ujar Kades D12 di Timor Tengah Selatan, 11 Mei 2020.

Pada sebagian daerah studi lain, Pemkab terkesan lambat memverifikasi daftar penerima yang ditetapkan desa. Bahkan hingga pengumpulan data dalam studi ini selesai pada 18 Mei 2020, masih ada pemkab yang belum menyesuaikan regulasi daerahnya dengan Permendesa No. 6/2020.

Akibatnya, ada desa yang belum memulai proses penyaluran BLT-DD karena masih menunggu aturan teknis dari bupati. Kelambatan ini tampaknya dipengaruhi oleh berbagai bantuan sosial yang datanya tumpang tindih. Akibat berbagai program yang datang beruntun, tumpang tindih dan tidak terkoordinasi, desa beberapa kali terpaksa melakukan penyesuaian data. Bahkan ada yang sampai 2-3 kali menyelenggarakan musdessus. Hal ini semata karena desa ingin mematuhi aturan bahwa penerima BLT-DD tidak sedang menerima bantuan program lain.

“Kemudian sekarang kan ada bantuan lagi, BST pak. Jadi setelah kita crosscheck BLT-DD dengan BST nya, masih ada 60 KK yang dobel. Akhirnya kita koordinasikan dengan pak RT-nya untuk mengganti penerima BLT-DD karena BST ndak bisa dikurangkan [direvisi]”, keluh Kades D3 Kubu Raya, 14 Mei 2020.

“Beberapa desa di kecamatan dampingan saya harus mengulang rapat penetapan BLT karena ada beberapa nama penerima BLT masuk di bantuan BST dari dinas sosial”, ungkap PD D29 Pangkep, 14 Mei 2020.

Faktor-faktor penghambat di atas menunjukkan belum harmonisnya koordinasi antarinstansi pemerintahan dalam mengatur kebijakan penanganan bencana yang dampaknya luas seperti pandemi Covid-19. Lemahnya koordinasi kebijakan, data dan implementasi di lapangan membuat desa berada pada posisi yang terpaksa banyak mengalah. Salah satu akibat yang terlihat, penyaluran dana kepada penerima pun terlambat. Rata-rata desa dalam studi ini baru menyalurkan dana pada minggu kedua dan ketiga Mei 2020. (Red)

Scroll To Top