Lewati ke konten

BLT Dana Desa: Kuncinya pada Komitmen, Integritas dan Pengawasan Publik

Rincian Dana Desa Menurut Kabupaten dan Kota Tahun 2020

Ilustrasi (FOTO/Dok)

Jakarta, desapedia.id – Dana Desa tahun 2020 ini sebagian akan dikonversi dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diperuntukan bagi 12,49 juta keluarga miskin penerima bantuan selama tiga bulan dengan total sebesar Rp. 22,48 triliun.

Sosiolog Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga pendiri IRE Yogyakarta, Dr. Arie Sudjito menyebutkan komitmen pemerintah untuk membantu dan mengatasi kerentanan desa dengan memanfaatkan Dana Desa menjadi bantuan langsung tunai (BLT) tentu dipahami sebagai situasi darurat, relevan dengan kondisi masyarakat desa yang terdampak pandemi virus corona.

“BLT Dana Desa ini kuncinya pada komitmen, integritas dan pengawasan publik”, tegas Arie saat menjadi narasumber pada RDPU dengan Komite I DPD RI pertengahan minggu ini (20/4).

Djito, panggilan akrab Arie, kemudian memberikan masukan tentang apa dan bagaimana BLT Dana Desa ini dilakukan.

Menurutnya, desa yang lebih tahu siapa saja yang rentan, miskin, beresiko, dan beban berat sosial ekonomi, serta kelompok–kelompok yang layak mendapatkan BLT. Maka, data–data makro, perlu diverifikasi cepat, dengan pemaduan normatif aturan dan kenyataan empirik di desa.

“Kebutuhannya saat ini adalah kecepatan dan ketepatan sehingga legitimasi terbangun dari aturan dan partisipasi warga. Himpun sumberdaya, tidak semata kerja pemerintah desa namun topangan relewan desa sangat penting untuk memastikan kerja teknokrasi, partisipasi dan pengawasan”, ungkap Arie.

Akuntabel Sosial dan Administratif

Bicara soal BLT seringkali publik dihadapkan pada persoalan klasik, yaitu ketersediaan data dan lemahnya akuntabilitas. Mensikapi BLT Dana Desa agar tidak terulang permasalahan dimasa lalu, Arie Sudjito menekankan perlunya ada akuntablitas sosial dan administratif. Artinya, kelompok miskin yang rentan, terdampak covid–19, serta belum mendapatkan bantuan lain untuk memastikan agar tepat sasaran, tidak tumpang tindih, maka data lapangan (empirik) menjadi faktor yang sangat determinan.

Karenanya, Arie menambahkan, pengawasan diperlukan, baik oleh supradesa maupun relawan yang tujuannya agar BLT tepat sasaran, sebuah skema yang akuntabel secara sosial dan administratif.

“Akuntabilitas sosial bermakna tepat sasaran pada kelompok miskin dan rentan yang belum mendapatkan bantuan. Sedangkan akuntabilitas administratif adalah tata kelola baik, sekalipun darurat, juga terukur dan tidak dimanipulasi”, jelas mantan Tim Ahli Penyusunan UU Desa ini.

Sejatinya, Arie menjelaskan, BLT Dana Desa ini haruslah ada sinkronisasi antara aturan, skema perencanaan, pelaksanaan lapangan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Jangan sampai pengalaman masa lalu terulang, antara eksekutif dan BPK memiliki tafsir beda dan indikator beda, sehingga masalah hukum muncul di belakang.

“Karena itu komitmen hukum dan kebijakan politik hendaknya harus senafas, dalam situasi darurat agar kebijakan bermakna dan akuntabel”, lanjut Arie.

Potensi Masalah BLT Dana Desa

BLT Dana Desa sesungguhnya menyimpan potensi masalah yang dapat berakibat munculnya masalah hukum dikemudian hari. Board of Director Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Rohidin Sudarno membeberkan berbagai potensi masalah BLT Dana Desa baik ditingkat pemerintah desa maupun pemerintah daerah.

Pertama, soal SILPA. Rohidin mengungkapkan sangat dimungkinkan terjadinya SILPA yang menumpuk di Desa dari prosentase alokasi Dana Desa untuk BLT sekitar 25%-30% dan 35% yang tidak terserap khususnya  pada tahap I karena menunggu data warga miskin yang belum fix.

Kedua, ditingkat Pemerintah Daerah. Rohidin menjelaskan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota akan terus berupaya melakukan sinkronisasi data menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan menambahkan “kriteria lokal” guna menutupi “kuota” BLT.

“Sehingga kemungkinan akan terjadi variasi data atas kriteria lokal antar daerah/propinsi dan pulau, dampaknya angka kemiskinan bisa “membengkak”, ujar Roi, sapaan akrabnya.

Ketiga, pada tingkat desa, khususnya BLT. Desa dengan Penduduk Besar–penduduk yang belum tercover PKH, BPNT yang masih besar akan menimbulkan beban bagi Pemdes karena kuota Dana Desa juga terbatas, sehingga potensi rawan “gesekan” apalagi paska Pilkades dibeberapa desa. “Meski ada alternatif diajukan ke Pemda,proses agak lama”, ujarnya.

Sedangkan Desa dengan Penduduk lebih kecil, lanjut Roi, tetap akan kesulitan memenuhi 14 Kriteria / 9 kriteria dan diluar penerima bantuan. “Potensi masalahnya adalah bagi rata semua warga desa”, ungkap Roi.

Keempat, selain potensi “gesekan” di tingkat desa, korupsi dan penyalahgunaan penggunaan adalah potensi terbesar dalam penyaluran BLT apabila perangkat pendukung, mekanisme dan pengawasan belum memadahi.

Pengawasan Publik

Bila melihat berbagai potensi masalah pelaksanaan BLT Dana Desa, maka yang mutlak dibutuhkan adalah pengawasan, baik oleh publik, aparat penegak hukum maupun pengawasan berjenjang oleh inspektorat dari pemerintah pusat, provinsi sampai kabupaten/kota dan kecamatan sebagaimana telah diamanatkan dalam UU Desa.

Arie Sudjito sepakat dengan perlunya pengawasan publik. Menurutnya, Forum Warga adalah bentuk pengawasan oleh publik dengan mengedepankan partisipasi warga desa.

Arie menggambarkan pentingnya manfaatkan forum warga mulai dari RT, dusun sampai desa. dengan begitu, gelombang partisipasi akan tumbuh dengan memadukan pendekatan informal dan formal, dengan konteks desa di mana keragaman terjadi

“Relawan, pendamping desa serta komponen masyarakat perlu dibangun “persenyawaan” (engagement) untuk kerja sosial dalam kelola BLT ini dengan tujuan mengatasi ancaman risiko bencana covid–19. Perlu memastikan membangun kesepahaman antara pelaksanaan, pengawasan dan akuntabilitas”, jelas Arie.

Tak ingin ketersediaan data dan tuduhan tumpang tindih data akan menghambat jalannya BLT Dana Desa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cepat merespon hal ini. Tentu saja respon KPK ini merupakan bagian dari upaya pengawasan KPK untuk mencegah terjadinya korupsi dalam BLT Dana Desa sebagaimana yang selalu didengungkan oleh pimpinan KPK saat ini, yakni pencegahan.

Pencegahan KPK itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) nomor 11 tahun 2020 yang ditujukan kepada Ketua Pelaksana Gugus Tugas Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota Percepatan Penanganan Covid–19, dan para pimpinan Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah tentang Penggunaan DTKS dan Data Non DTKS Pemberian Bantuan Sosial ke Masyarakat.

SE KPK ini memuat beberapa rekomendasi. Diantaranya, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pendataan dilapangan untuk keperluan pemberian bantuan sosial dengan menggunakan data rujukan, yaitu DTKS. Bila ditemukan ketidaksesuaian di lapangan, dimana penduduk yang seharusnya berhak menerima namun datanya tidak ada dalam DTKS, maka bantuan dapat tetap diberikan. Data penerima bantuan baru tersebut harus segera dilaporkan ke Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesehjateraan Sosial (Pusdatin Kesos) Kementerian Sosial untuk diusulkan masuka kedalam DTKS sesuai peraturan yang berlaku.

KPK juga meminta ketersediaan data penerima bantuan yang terdaftar dalam DTKS untuk dipadankan dengan data NIK dan data kependudukan di Dinas Dukcapil. Hal ini untuk memastikan bahwa penduduk tersebut memang ada, tidak fiktif, belum meninggal dan menghindari nama ganda.

Soal pengawasan, tentu saja KPK meminta semua pemangku kepentingan BLT ini harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas serta menyediakan fasilitas pengaduan masyarakat sebagai bagian dari mendorong partisipasi warga dalam melakukan pengawasan publik terhadap BLT termasuk BLT Dana Desa.

SE KPK ini senafas dengan surat yang dirilis oleh Kemendes PDTT tentang Penegasan Petunjuk Teknis Pendataan Keluarga Calon Penerima BLT Dana Desa. Surat yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kemendes PDTT, Taufik Madjid juga menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas dan efektifitas dalam penyaluran BLT Dana Desa.

Kalau KPK saja cepat merespon agar pelaksanaan kebijakan BLT ini nantinya tidak menjadi masalah hukum, maka publik menanti respon Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan pengawasan BLT Dana Desa. Sebab, mereka inilah sesungguhnya yang diamanatkan dalam UU Desa untuk menjadi pembina dan pengawas desa. (ISS)

Scroll To Top