Lewati ke konten

Wawancara Eksklusif dengan Ade Chandra, Wakil Ketua III STPMD “APMD”: Dana Desa Bukan Anggaran Untuk Dibagi-bagikan Dalam Skema Bantuan Sosial

Wawancara Eksklusif dengan Ade Chandra, Wakil Ketua III STPMD "APMD": Dana Desa Bukan Anggaran Untuk Dibagi-bagikan Dalam Skema Bantuan Sosial - Desapedia

Ade Chandra, Wakil Ketua III STPMD “APMD” (Ist)

Jakarta, desapedia.id – Pelaksanaan kebijakan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) terus menjadi buah bibir publik ditengah penanggulangan pandemi Covid–19.

Melalui sambungan aplikasi WhatsApp, desapedia.id berbincang panjang lebar dengan Ade Chandra, S.Sos., M.Si yang saat ini tengah menjabat sebagai Wakil Ketua III Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, Selasa (9/6).

Berikut penuturan Ade Chandra:

Bagaimana tanggapan Anda tentang kebijakan BLT DD yang sudah berjalan sejak April lalu?

BLT Dana Desa, seperti perkiraan saya sebelumnya, menimbulkan persoalan baru. Saya kurang mengerti bagaimana suasana batin kenapa sampai muncul kebijakan BLT Dana Desa yang dimasukkan dalam paket penanganan covid–19.

Alumni kami APMD yaitu Kepala Desa di Bantul dan aktif dalam asosiasi kepala desa, menuturkan bahwa BLT Dana Desa telah mengakibatkan batalnya sejumlah agenda strategis pemerintah desa. Kita tahu bahwa program pemerintah desa merupakan kristalisasi proses panjang aspirasi dan kebutuhan warga desa. Ia melalui forum gelaran musyawarah maraton mulai dari tingkat RT, Pedukuhan, hingga bermuara pada musyawarah tingkat desa.

Apa yang bisa Anda jelaskan tentang kebijakan BLT DD ini?

Rekan saya sesama dosen APMD juga sempat tanya, Kebijakan BLT Dana Desa itu ilmu dari mana? 50 ribuan desa yang diklaim telah salurkan BLT Dana Desa itu jelas akan kesulitan dalam melaksanakan visi pembangunannya ke depan. Itu belum lagi kita melihat sengkarut di lapangan yang tidak kuat dalam pendataan warga yang berhak menerima. Lagu lama di Indonesia bahwa pasca BLT apapun selalu meninggalkan luka konflik di desa. Ini menjadi virus yang lebih mematikan bagi warga desa.

Seperti apa fakta dilapangan?

Namun saya melihat justru banyak desa ternyata mampu meredam dan mengkonsolidasikan berbagai potensi negatif itu, meski dengan ilmu dan sumberdaya terbatas. Lembaga Masyarakat Desa dan potensi relawan anak muda kampung hadir bahu-membahu. Di desa Baturetno, Bantul misalnya, justru anak muda yang tampil memimpin dan membentuk gugus tugas penanganan penularan covid-19, dengan didampingi segelintir opinion leader. Ini merupakan bukti konkrit gerakan kolaboratif yang sangat dahsyat tanpa struktur hirarkis yang kaku namun lentur dan progresif.

Bagaimana Anda menilai Kebijakan BLT DD?

BLT Dana Desa tidak tepat karena mengingkari pengakuan dan keberpihakan negara terhadap desa dalam menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan di desa. Dana Desa bukan anggaran untuk dibagi–bagikan dalam skema bantuan sosial.

Sebagai pemangku kepentingan desa yang paling utama, apa masukan Anda untuk Kemendes PDTT?

Kemendes perlu memahami desa sejati. Board kemendes dalam postur kementerian RI sejak periode pertama Kabinet Indonesia Kerja perlu ditenagai dengan mendorong desa-desa makin beradab dalam mengelola potensinya tanpa dibebani segunung titipan aspek lain, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain–lain.

Kemendes PDTT kini tengah fokus menyiapkan New Normal di desa. Apa tanggapan Anda?

The New Normal pembangunan desa harus diletakkan pada pemahaman prinsip dan filosofi berdesa sejati. Memang tidak salah jika ada desa membangun sekolah atau rumah ibadah, namun pendidikan dan kerohanian harusnya bukan menjadi beban pembangunan pemerintah desa. Justru spirit the New Normal, saya pikir, Kemendes men–drill desa-desa menjadi episentrum pembangunan yang memberi harapan hidup baru warga desa. Sehingga dengan begitu, manusia desa tidak perlu lagi setelah sekolah tinggi lalu hijrah di kota. dengan kata lain, Kemendes perlu memiliki visi pendampingan yang panjang memutus rantai urbanisasi diganti dengan skema ruralisasi. (Red)

Scroll To Top