Lewati ke konten

Kesimpulan RDPU Komite I DPD RI Membahas Persiapan Pilkada Serentak 2020

Jakarta, desapedia – id, Komite I DPD RI menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni dan Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Prof. Dr. Valina Singka. Kesimpulan lengkap RDPU sebagai berikut:

DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
——–
KESIMPULAN RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM
KOMITE I DPD RI
DENGAN
TITI ANGGRAINI DAN PROF. DR.VALINA SINGKA SUBEKTI
TENTANG
PERSIAPAN PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SERENTAK TAHUN
2020 DAN REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 1O TAHUN 2016 TENTANG
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Senin, 21 Oktober 2019

Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I DPD RI dengan mengundang narasumber Prof. Dr. Valina Singka Subekti (Universitas Indonesia) dan Titi Anggraini (Perludem) tentang Persiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu adanya perbaikan tata kelola pemilu/pilkada yang demokratis dengan mengedepankan harmonisasi pengaturan (yang selama ini masih terpisah), yang membuat inkonsistensi dalam hal penyelenggaraan; memperbaiki manajemen administrasi; penegakan hukum dan penyelesaian masalah hukum pemilu/pilkada (keadilan pemilu), dan kelembagaan penyelenggara pemilu/pilkada yang independen, imparsial, profesional dan modern;

2. Beberapa isu krusial yang berkaitan dengan persiapan pemilu/pilkada, antara lain:
a. Kepastian kerangka hukum pilkada (UU No. 1/2015, UU No. 8/2015, UU No. 10/2016), dimana nomenklatur dan kewenangan Bawaslu, inkonsistensi dengan pengaturan Pemilu 2019, rekapitulasi suara elektronik (situng) dan pelarangan mantan napi korupsi, dll.
b. Pembuatan aturan teknis pilkada;
c. Kesiapan angaran (NHPD-Naskah Perjanjian Hibah Daerah);
d. Rekrutmen petugas penyelenggara pilkada.

3. Disamping isu krusial persiapan pemilu/pilkada, ada beberapa isu krusial secara umum, yakni:
a. Dualisme kepengurusan partai;
b. Validitas data pemilih;
c. Politik uang;
d. Calon tunggal yang diindikasikan terjadi akibat politik transaksional;
e. Politisasi ASN, penyelenggara pemilu/pilkada dan apparat keamanan;
f. Efektivitas Sentra Gakumdu;
g. Penyelesaian sengketa pilkada yang relatif lama yang mengakibatkan terganggunya tahapan pilkada;
h. Politisasi SARA, kampanye hitam, ujaran kebencian dan hoax
i. Upaya deligitimasi penyelenggara pemilu.

4. DPD berperan strategis dalam membantu memperbaiki proses demokratisasi di Daerah (pemilu/pilkada) dengan mendorong:
a. Perbaiki tatakelola pemilu/pilkada yang lebih demokratis, efisien dan efektif (menghindari politik biaya tinggi/high cost politic) namun legitimate dan menghasilkan kepala daerah yang berintegritas;
b. Perlu dilakukan harmonisasi UU Pemilu dan UU Pilkada;
c. Memperbaiki manajemen /administrasi pilkada;
d. Perlu dilakukan pengkajian syarat pencalonan dari parpol dan perseorangan;
e. Penyelesaian persoalan Daftar Pemilih;
f. Netralitas ASN dan penyelenggara pilkada/pemilu serta aparat keamanan;
e. Penegakan hukum dan penyelesaian masalah hukum pilkada;
f. Kelembagaan penyelenggara Pemilu yang independen, imparsial, profesional, dan modern.

5. Beberapa Pasal krusial dalam UU Pilkada yang dapat menjadi dasar pengkajian DPD RI untuk menyinkronkan antara UU Pemilu dan UU Pilkada, antara lain:
a. Pasal 1 angka 17 UU 1/2015 tentang Panwas Kab/Kota yang masih bersifat adhoc sementara KPU Kab/Kota bersifat permanen, tidak kompatibel;
b. Pasal 23 ayat (3) UU 1/2015, Bawaslu Provinsi, Panwas Kab/Kota dan Panwas Kecamatan yang hanya beranggotakan 3 orang. Bandingkan dengan anggota KPU Provinsi berjumlah 7 orang dan KPU Kab/Kota berjumlah 5 orang;
c. Pasal 111 ayat (1) UU 1/2015; penghitungan dan rekapitulasi suara dilakukan secara manual, sementara peraturan KPU mengatur
penghitungan dan rekapitulasi dilakukan secara elektronik;
d. Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016; pengaturan mengenai terpidana yang maju dalam Pilkada;
e. Pasal 201 UU 10/2016; tentang jabatan Gubernur 2020 dan 2022.

6. Beberapa persoalan yang dapat dijadikan sebagai dasar revisi UU Pilkada antara lain:
a. Nomenklatur Bawaslu dan kewenangannya, definisi dan metode kampanye;
b. Rekapitulasi suara elektronik;
c. Syarat pencalonan Parpol dan Perseorangan. Perseorangan 3% dari DPT dengan verifikasi faktual;
d. Batasan Usia Pemilih yaitu 17 tahun pada hari pemungutan suara;
e. Pengaturan pencalonan mantan narapidana dengan ancaman hukuman 5 tahun lebih;
f. Penataan jadwal Pilkada. Tidak serentak nasional pada tahun 2024. Diusulkan penjadwalan Pilkada Serentak pada tahun 2022 dan serentak nasional pada 2026;
g. Afirmasi 30% pencalonan Perempuan;
h. Pembatasan belanja kampanye;
i. Pembiayaan Pilkada dari APBN;
j. Sanksi administrasi politik uang oleh Bawaslu tidak harus kumulatif TSM (Terencana, Sistematis dan Masif)

Scroll To Top