Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Menyoal Wewenang Pemberhentian Kepala Daerah oleh Pemerintah Pusat

Khusni Tamrin

Peneliti di Pusat Kajian Daerah dan Anggaran di Sekretariat Jenderal DPD RI

Menyoal Wewenang Pemberhentian Kepala Daerah oleh Pemerintah Pusat - Desapedia

Ilustrasi (Ist)

Beberapa waktu yang lalu, isu politis muncul di media sosial, menyoal ketentuan dalam draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang mengatur bahwa Mendagri dapat dan berwenang untuk memberhentikan seorang gubernur.

Meski hal tersebut sudah ditepis oleh Menteri Dalam Negeri, masyarakat tetap mempertanyakan tentang kewenangan pemberhentian kepala daerah menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan apakah kewenangan pemberhentian kepala daerah oleh Pemerintah Pusat bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi?

Berdasarkan konstitusi, kita menganut sistem kedaulatan rakyat atau lebih dikenal sebagai demokrasi.

Pelaksanaan demokrasi dibatasi oleh norma hukum untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi yang dimiliki warganya. Pembatasan kekuasaan, dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.

Secara vertikal, pembatasan kekuasaan bertujuan menciptakan keseimbangan kekuasaan (balance of power).

Adapun, secara vertikal, menurut M. Budiharjo, dilakukan dengan membagi kekuasaan negara menjadi beberapa tingkatan pemerintahan, sebagaimana dikenal dengan satuan-satuan pemerintahan yang terbagi dan tersusun atas daerah-daerah yang diberikan otonomi.

Pemberian otonomi tersebut, tentunya menyebabkan negara, dalam hal ini pemerintah pusat, menyerahkan beberapa atau sebagian urusan pemerintahan untuk diurus sendiri oleh daerah tersebut.

Konsekuensinya, pemerintah daerah, baik secara atribusi, delegasi, dan mandat, diberikan kewenangan untuk menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Jika tindakan pejabat pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan dan keputusan tidak berdasarkan wewenangnya atau melebihi kewenangannya, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk dari sebuah perbuatan yang sewenang-wenang, konsekuensinya pejabat tersebut dapat diberhentikan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pemberhentian kepala daerah diatur dalam Pasal 79 hingga pada Pasal 83, yang secara eksplisit memberikan kewenangan pemberhentian kepala daerah Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden; dan kepala daerah Bupati dan/atau Wakil Bupati dan Walikota dan/atau Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri.

Meski demikian, kewenangan pemberhentian itu dapat ditempuh setelah terlebih dahulu melalui usulan DPRD, putusan pengadilan atau Mahkamah Agung untuk kasus tertentu, dan usul Mendagri untuk pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur oleh Presiden dan usul Gubernur untuk pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota oleh Mendagri.

Dalam situasi tertentu, Presiden atau Mendagri berwenang untuk seketika memberhentikan seorang kepala daerah, tanpa melalui mekanisme prosedur yang sebagaimana diuraikan diatas, yakni apabila DPRD yang bersangkutan dan/atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak kunjung mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dan pada suatu kasus di mana kepala daerah telah didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terlihat bahwa Undang-Undang No. 23/2014 memberikan wewenang yang begitu utuh dan dominan kepada Pemerintah Pusat terkait dengan pemberhentian kepala daerah yang dipilih secara langsung; sekilas terlihat mengenyampingkan pinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi.

Akan tetapi, jika dilihat dalam perspektif negara modern dengan kompleksitas wilayah dan kependudukan yang tinggi seperti saat ini, hal tersebut dapat dipahami. Kedaulatan rakyat tidak mungkin dilaksanakan secara murni.

Kompleksitas keadaan menghendaki kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Selain itu di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat tidak hanya memiliki kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam pemerintahan negara, namun juga menyelenggarakannya baik di pusat maupun di daerah.

Wewenang yang begitu dominan pada Pemerintah Pusat—dalam konteks tulisan ini pemberhentian kepala daerah-harus dipahami dalam konteks negara kesatuan dan administrasi negara.

Kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pemberhentian terhadap kepala daerah mesti diatur secara eksplisit dalam undang-undang; ketentuan tersebut harus dipahami hanya sebagai delegasi yang diberikan presiden kepada pembantunya.

Meski begitu, hal ini tidak berarti dapat menjadi basis justifikasi terhadap kemungkinan dan peluang-peluang penyalahgunaan wewenang di kemudian hari.

Berkaca pada pelaksanaan wewenang pemberhentian kepala daerah yang sejauh ini telah dilakukan, pemberhentian terlihat banyak menimpa kepala-kepala daerah yang tersandung kasus tindak pidana korupsi.

Namun terdapat juga beberapa kasus lain yang memperlihatkan bahwa pelaksanaan wewenang pemberhentian ini seakan keluar dari pengaturan sebagaimana telah ditentukan. Contohnya terlihat dalam kasus pemberhentian Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi, akibat tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I.

Dalam kasus tersebut, Mendagri memberhentikan Mawardi secara permanen hanya dalam kurun waktu 3 hari, semenjak dirinya diberhentikan secara sementara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.16-3020 tentang Pemberhentian Sementara Bupati Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.

Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan tersebut barulah dapat ditempuh apabila sebelumnya didahului oleh usulan DPRD.

Bahkan jika DPRD yang bersangkutan tidak kunjung melakukan ketentuan tersebut, tindakan tersebut tidaklah juga dapat dibenarkan karena Undang-Undang mengharuskan pemberhentian berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sementara proses persidangan yang bersangkutan masih dalam proses berjalan.

Dengan demikian, dalam kasus ini Mendagri dapat dikatakan telah melampaui wewenang dan menyalahi ketentuan pemberhentian kepala daerah yang sebagaimana telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, kewenangan pemberhentian kepala daerah oleh Pemerintah Pusat pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah di mana Pemerintah Pusat dapat memberhentikan kepala daerah setelah melalui tahapan-tahapan sesuai dengan peraturan tersebut.

Kewenangan pemberhentian kepala daerah oleh pemerintah pusat, tidaklah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Meski demikian, pemberhentian kepala daerah oleh Pemerintah Pusat, perlu melibatkan institusi peradilan sebagai syarat yang mutlak, sebagaimana pelaksanaan impeachment bagi presiden mengharuskan adanya pembuktian terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi.

Begitu juga jika terjadi pemberhentian tanpa usul DPRD dalam kasus tertentu, maka upaya keberatannya perlu dibuka selebar-lebarnya baik dengan jalan menempuh jalur litigasi maupun non-litigasi di pengadilan. ***

Scroll To Top