Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Mengapa UU Desa Membuat Definisi Desa Sama dengan Daerah Otonom?

Hanif Nurcholis

Professor Universitas Terbuka dan Ketua Dewan Pakar Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara

Mengapa UU Desa Membuat Definisi Desa Sama dengan Daerah Otonom? - Desapedia

ilustrasi

Malam Minggu, 10 September 2022, kemarin kami ngobrol bebas dengan perangkat desa, pemerhati desa, dan aktivis desa yang sangat prihatin dengan kemiskinan warga desa yang tidak ada perubahan. Ada pertanyaan mendasar yang disampaikan kepada saya. Mengapa UU Desa mendefinisikan Desa sama dengan daerah otonom? Saya lalu memberi penjelasan begini.

Dalam UU No. 6/2014 Desa diberi pengertian dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut.

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Berdasarkan definisi tersebut Desa terdiri atas dua obyek material:

  • desa dan
  • desa adat

Kedua obyek material tersebut didefinisikan secara sama yaitu “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Frasa “kesatuan masyarakat hukum” adalah terjemahan bebas bahasa Belanda “rechtsgemeenschap”. Ahli hukum tata negara menerjemahkan rechtsgemeenschap sama dengan persekutuan hukum. Ahli sejarah menerjemahkan rechtsgemeenschap sama dengan ikatan hukum. Penyusun UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah menerjemahkan rechtsgemeenschap sama dengan kesatuan masyarakat hukum.

Dalam hukum tata negara Hindia Belanda rechtsgemeenschap adalah badan hukum berbasis komunitas/masyarakat (rechtspersoon van gemeenschap van messen).

Badan hukum berbasis komunitas/masyarakat ini asal-usulnya adalah komunitas mandiri. Melalui teori erkenning (pengakuan), komunitas mandiri ini diakui sebagai badan hukum berbasis komunitas/masyarakat (rechtsgemeenschap) lalu diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan lokal (locale bestuur) berdasarkan UU Desentralisasi tahun 1903 dan peraturan pelaksanannya.

Setelah menjadi badan hukum berbasis komunitas/masyarakat, urusan-urusan komunitas/masyarakat yang sudah diselenggarakan diakui (erkened).

Kemudian sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan komunitas/masyarakat yang makin banyak, urusan-urusan yang diselenggarakan tersebut ditambah melalui instrumen desentralisasi dan tugas pembantuan dari pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan badan hukum masyarakat tersebut.

Pemerintah Hindia Belanda pertama kali melakukan erkenning terhadap komunitas-komunitas (gemeenschappen) keturunan Belanda yang pada akhir abad ke-19 terbentuk di Batavia (Jakarta), Bantam, Boitenzorg (Bogor), Semarang, Surabaya, Onderafdeeling Komering, Sukabumi, Amboina, dan lain-lain. Di bawah UU Desentralisasi tahun 1903 melalui kebijakan erkenning komunitas-komunitas perkotaan yang terbentuk tersebut disahkan menjadi badan hukum komunitas (rechtsgemeenschap) perkotaan.

Rechtsgemeenschap ukuran besar menjadi daerah otonom gewestelijke resort, ukuran sedang menjadi daerah otonom plaatselijke resort, ukuran kecil menjadi daerah otonom gemeente (kotamadya) sedangkan ukuran kecil di luar Jawa menjadi daerah otonom groupsgemeenschap (kota kecil).

Jadi, rechtsgemeenschap atau persekutuan hukum atau ikatan hukum atau kesatuan masyarakat hukum hakekatnya adalah badan hukum berbasis komunitas/masyarakat yang dalam disipilin ilmu pemerintahan dan administrasi negara sekarang sudah menjadi istilah teknis “daerah otonom” sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

UU Desa hakekatnya bukan mengatur daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) sebagaimana kami jelaskan di atas melainkan melanjutkan beleid pemerintah kolonial menegarakan komunitas asli (inheems gemeenschap) di bawah kebijakan poilitik adatstaatsrecht yaitu mengatur pemerintaha pribumi berdasarkan hukum Eropa dengan menyerap adat istiadat setempat.

Kebijakan ini dimulai pada zaman Daendels melalui kebijakan sebagai berikut.

  1. Staat De Nederlands of Indische Bezittingen Tahun 1809
  2. Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 juncto Revenue Instruction 1814 zaman Raffles
  3. Herzien Inlandsch Reglement 1848 (HIR 1848)
  4. Regeringsreglement 1854 (RR 1854) Pasal 71
  5. Indische Staatsregeling 1922 (IS 1922) Pasal 128
  6. IGO 1906 untuk Jawa-Madura juncto Stbl No. 83/1906 juncto Stbl No. 212/1907
  7. De ordonnantie van 27 September 1918 (Staatsblad No. 677), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Sumatra’s Westkust
  8. De ordonnantie van 26 Juli 1919 (Staatsblad No. 453), tot vaststelling van regelen omtrent het beheer en andere huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Banka en Onderhoorigheden
  9. De ordonnantie van 12 December 1919 (Staatsblad No. 814), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Palembang
  10. De ordonnantie van 26 Augustus 1922 (Staatsblad No. 564), tot vaststelling van de bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Lampongsche Districten
  11. De ordonnantie van 21 September 1923 (Staatsblad No. 469), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Tapanoeli
  12. De ordonnantie van 21 September 1923 (Staatsblad No. 471), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Amboina
  13. De ordonnantie van 21 Februari 1924 (Staatsblad No. 75), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Belitoeng
  14. De ordonnantie van 11 Juni 1924 (Staatsblad No. 275), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Zuideren Oosterafdeeling van Borneo
  15. De ordonnantie van 12 Januari 1931 (Staatsblad No. 6), tot vaststelling van nieuwe bepalingen betreffende de regeling en het bestuur van de huishouding der Inlandsche gemeenten in het gewest Benkoelen
  16. De ordonnantie van 30 Maart 1931 (Staatsblad No. 138), tot vaststelling van bepalingen betreffende de regeling en het bestuur van de huishouding der Inlandsche gemeenten in de Minahasa (gewest Manado)
  17. IGOB Tahun 1938
  18. Desa Ordonnantie 1941
  19. Osamu Seirrei No. 27 tahun 1942 juncto Osamu Seirei No. 7 tahun 1944.

Semua beleid penjajah (Belanda, Inggris, dan Jepang) tersebut tidak menjadikan inheems gemeenschap (desa, nagari, gampong, dan lain-lain) sebagai badan hukum atau persekutuan hukum berbasis komunitas/masyarakat (daerah otonom) tapi hanya penegaraan komunitas asli oleh negara melalui kebijakan adatstaatrecht tersebut (Logemann,1947).

Inheems gemeenschap tetap dibiarkan sebagaimana aslinya tapi diatur dalam hukum Eropa di bawah kontrol Negara. Desa dan nama lain dijadikan instrumen negara untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi negara.

Dalam kebijakan adatstaatsrecht, inheems gemeenschap tidak diintegrasikan dalam sistem pemerintahan formal menjadi bagian binnenlands bestuur (pemerintahan pangreh praja) sebagaimana diatur dalam UUD Hindia Belanda tahun 1854 (RR 1854).

Inheems gemeenschap juga tidak diintegrasikan ke dalam locale bestuur sebagai daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum Eropa:

  • gewest resort,
  • plaatselijke resort,
  • stadsgemeente (kotapraja),
  • regentschap (kabupaten), dan groepsgemeenschap (kota kecil di luar Jawa)

sebagaimana diatur dalam Decentralisatiewet 1903 dan peraturan pelaksanaannya.

Inheems gemeenschap dibiarkan sebagai lembaga masyarakat desa di luar stelsel pemerintahan formal. Penempatan lembaga komunitas/masyarakat asli di luar sistem pemerintahan formal disebut pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied).

Perlu diketahui bahwa menurut Prof. Dr. Cornelis van Vollenhoven dan Prof. Dr. J. H. A. Logemann hukum tata negara Hindia Belanda mengatur dua model pemerintahan

  • pemerintahan langsung (rechtstreeks bestuurd gebied atau direct bestuurd gebied) dan
  • pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied)

Model pemerintahan langsung adalah pemerintahan yang langsung diselenggarakan oleh pejabat pemerintah dalam negeri (binnenlands bestuur ambtenaar) dengan menggunakan hukum Eropa sedangkan model pemerintahan tidak langsung adalah model pemerintahan dimana pemerintah hanya mengontrol kepala-kepala rakyat (volkshoofd) yaitu sultan/raja yang berkuasa pada zelfbesturende landschap (daerah swapraja) dan kepala desa yang berkuasa pada inlandsche gemeente (desa, nagari, gampong, marga, dan lain-lain) dengan menggunakan hukum Eropa yang menyerap adat kebiasaan setempat.

Sultan/raja diberi kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum kesultanan/kerajaan masing-masing dan kepala desa juga diberi kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam desanya masing-masing.

Politik hukum adatstaatrech terhadap desa ditinggalkan penjajah Jepang saat menjajah Indonesia. Jepang mengatur desa dengan mengimpor lembaga mirip desa yang berasal dari negaranya yaitu buraku (Aiko Kurasawa, 1988) .

Kebijakan ini membuat lembaga desa asli bentukan komunitas perdesaan tercerabut dari akarnya dan akhirnya tinggal nama.

Sejak desa diatur dengan Osamu Seirei No. 27/1942 jo. Osamu Seirei No. 7/1944 lembaga desa asli yang sudah menjadi adat kebiasaan komunitas desa hilang berganti dengan lembaga desa yang berasal dari Jepang.

Akan tetapi, desa tetap ditempatkan di luar sistem pemerintahan formal sebagaimana poisisinya pada zaman penjajah Belanda sebelumnya.

Berdasarkan fakta di atas politik hukum Desa di bawah UU No. 6 tahun 2014 menganut dua model:

  • mengikuti kebijakan penjajah Belanda yaitu menempatkan lembaga desa di luar sistem pemerintahan resmi sebagai pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied) di bawah kontrol pejabat pemerintah
  • mengikuti kebijakan penjajah Jepang yaitu lembaga yang dibentuk meniru lembaga desa yang diimpor dari negara Jepang yaitu buraku

Status pemerintah desa di bawah UU No. 6/2014 bukan bagian dari sistem pemerintahan formal. Jadi, sama dengan pemerintah desa zaman penjajahan Belanda.

Pemerintah desa merupakan pemerintahan tidak langsung di bawah kontrol pejabat pemerintah: camat, bupati, gubernur, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Menteri Dalam Negeri.

Struktur organisasi, fungsi, tugas, dan mekanisme kerja pemerintah desa berbeda 100% dengan struktur organisasi, fungsi, tugas, mekanisme kerja lembaga desa asli yang dibentuk oleh komunitas perdesaan.

Struktur organisasi, fungsi, tugas, mekanisme kerja pemerintah desa di bawah UU No. 6/2014 relatif sama dengan pemerintah ku zaman penjajahan Jepang (1942-1945).

Jadi, hakekatnya UU Desa bukan mengatur obyek material desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau persekutuan hukum atau daerah otonom tapi hanya melanjutkan kebijakan politik hukum pemerintah penjajah tehadap penegaraan lembaga masyarakat desa oleh Negara melalui model pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied) di bawah kontrol pejabat pemerintah dan penggantian lembaga desa asli bentukan komunitas perdesaan dengan lembaga baru yang diimpor dari Jepang.

Wallahu a’lam bissowab.

Pondok Cabe, 11 September 2022

Scroll To Top