Lewati ke konten

Agenda-agenda yang Terabaikan dalam UU Desa

Redaksi Desapedia

DESAPEDIA.ID merupakan portal berita yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap berita, informasi dan pengetahuan terkini tentang desa di seluruh Indonesia

Agenda-agenda yang Terabaikan dalam UU Desa - Desapedia

Desa di pegunungan (Ist)

Zakaria dalam esai “Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru”, menyerukan perlunya perlindungan desa dari intervensi negara, termasuk melalui pemulihan kedaulatan desa.

Persoalannya kemudian adalah, sebagaimana ditulis Sangkoyo (dalam kata pengantar di “Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru”) apakah dengan syarat tersebut desa sebagai cagar-politik dapat mempertahankan keutuhan diri dari agenda yang lebih besar dari dirinya, seperti ‘kepentingan bangsa’ atau ‘kepentingan kapital tanpa kebangsaan’, di samping agenda pertarungan lokal untuk memperebutkan sumber-sumber daya desa?

Bagaimana dengan lansekap politik selain desa? Apakah hubungan kuasa dan hubungan produksi pada skala kepulauan akan mengalami peralihan bentuk yang mendasar dengan terbebaskannya desa dari agenda pengerahan politik?

Menyandarkan perubahan ke arah pemenuhan syarat-syarat kemanusiaan sepenuhnya pada sebuah proses sukarela dan mandiri dari masyarakat desa menuntut syarat-syarat yang amat berat untuk dicapai.”

Karena itu, agar kelompok-kelompok yang selama ini tersisihkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dapat pula menikmati kemajuan sebagaimana yang dinikmati kelompok tertentu saja, maka Undang-Undang Desa bersengaja mengadopsi perspektif inklusi sosial.

Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat untuk menyelenggarakan pemerintahan melalui model desa adat; partisipasi perempuan; kelompok miskin dan kelompok marjinal lainnya, menjadi pengkhususan yang harus mendapatkan perhatian lebih dalam penyelenggaraan pemerintaan dan pembangunan desa ke depan.

Selain itu, ada pula beberapa agenda keberpihakan lain, jika dapat dikatakan begitu, yang diamanat oleh UU Desa yang baru ini. Sebutlah semangat reforma agraria yang terkandung pada Pasal 26 ayat (2) huruf j dan perlunya jaminan kesehatan bagi kepala desa dan aparat desa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf c misalnya.

Bahkan, pada Pasal 78 ayat (1) disebutkan secara tegas bahwa “Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Reforma Agraria dari Sisi Desa

Empat tahun lalu, ketika persidangan resmi RUU Desa tengah berlangsung, ada masukan dari para pihak tentang relevansi pengaturan reformasi agraria (RA) dan investasi yang masuk ke desa dalam kerangka desa. Bagaimanapun agraria dan investasi sangat dekat dan lekat dengan desa. Dua isu itu sempat menjadi bahan perdebatan pada tim ahli dan sidang resmi. Namun ada penegasan bahwa UU Desa bukan mengatur tanah dan investasi. Keduanya ada regulasi tersendiri. Karena itu, banyak aktivis menyampakaikan kritik bahwa UU Desa jauh dari RA.

Meski tidak eksplisit, ada beberapa klausul penting dalam UU Desa yang relevan dengan RA.

1. Teritorialisasi dan yurisdiksi

Menurut rezim pemerintahan, semua wilayah Indonesia dibagi habis ke dalam provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Definisi dan syarat desa adalah memiliki batas-batas wilayah yang tegas, sebagai kuasa yurisdiksi atas teritori.

Namun rezim hutan/kebun juga menciptakan sendiri wilayahnya, yang berada di luar kontrol rezim pemerintahan, sehingga hutan/kebun menjadi “negara dalam negara” atau “negara hutan” dan “negara kebun”.

Para aktivis sering menyebut ada sekitar 30 ribu desa yang nebeng berada dalam wilayah “negara hutan” dan “negara kebun” itu, sehingga desa tidak memiliki yurisdiksi wilayah secara berdaulat.

Jumlah itu perlu dipastikan kembali. Kolega saya, Bupati Soekirman, menyebut Serdang Bedagai memiliki sejumlah 44 desa yang berada dalam wilayah kebun.

Padahal masyarakat lokal itu sudah ada sebelum “negara kebun” dibuat, meskipun setelah “negara kebun” dibuat, banyak warga yang berbondong-bondong ke wilayahnya. Namun karena desa tidak memiliki kuasa yurisdiksi atas wilayah kebun, maka sebenarnya desa itu tidak layak disebut desa, dan akibatnya desa tidak memiliki kuasa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Dalam Nawacita bidang desa sebenarnya ada kehendak untuk membebaskan desa-desa dari kantong-kantong hutan/kebun itu. Ini merupakan hasil dialog kami dengan para kepala desa dan aktivis di berbagai daerah yang berkepentingan terhadap pembebasan desa dari “negara hutan” dan “negara kebun”. Tetapi sampai sekarang belum terlaksana.

Teritorialisasi dan yurisdiksi desa ini sebenarnya bentuk reforma agraria yang paling mudah, sebab keduanya tidak bermakna redistribusi kepemilikan.

Sudah jamak kita saksikan, bahwa dalam wilayah desa terdapat berbagai peruntukan lahan seperti fasilitas publik, pemukiman warga, sungai, lahan pertanian, dan sebagainya.

Tidak semua tanah itu milik desa, tetapi desa mempunyai kuasa yurisdiksi, sebagai batas yang tegas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

2 . Akses dan distribusi

Pada dasarnya desa mempunyai hak untuk memanfaatkan lahan negara maupun common pool resources untuk kepentingan masyarakat setempat. Salah satu butir Pasal 26 UU Desa menegaskan bahwa kepala desa berwenang/berhak mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.

Kekayaan itu bisa dalam bentuk tanah, gedung maupun peralatan. Untuk redistribusi lahan/tanah bisa ditempuh dengan dua cara: dari atas dan dari bawah.

Yang dari atas, melalui perjalanan panjang dan rumit, hari ini pemerintah akan membagi (distribusi) sebagian dari target 12,7 juta hektar kepada sekitar 6.5 ribu desa. Desa pasti sudah menunggu realisasinya. Tetapi urusan begini pasti ruwet yang berkuat pada birokrasi, administrasi dan teknis.

Jalur dari bawah juga bisa ditempuh melampaui skema redistribusi dari atas itu. Kepala desa dan perangkat desa umumnya sangat tahu kondisi dan status tanah, baik tanah yang sudah dikenai hak, tanah sumberdaya milik bersama, tanah negara yang tidak termanfaatkan, maupun tanah negara yang terlantar.

Pemerintah bisa membuat regulasi yang mengatur tatacara pengusulan dari desa dan penerimaan kepada desa. Kalau sudah bicara regulasi/aturan pasti berlaku diktum begini: aturan yang simpel tidak tepat, aturan yang ditail/rumit tidak berguna.

Jangan membuat aturan seperti mantra yang simpel, sehingga tidak tepat, sebab tidak clear dan clean. Jangan pula membuat aturan seperti sampah yang tidak berguna, sebab aturan yang rumit selalu membuka celah perburuan rente (pungli).

3. Konsolidasi lahan desa

Dulu anggota DPR, Totok Daryanto, sangat getol bicara soal ini. Salah satu butir Pasal 26 UU Desa menegaskan: kepala desa berwenang membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa.

Klausul ini menyampaikan pesan agar kepala desa bersama warga desa melakukan aksi kolektif mengonsolidasi lahan secara mandiri untuk kepentingan ekonomi desa.

Daripada lahan yang sudah sempit dan terfragmentasi itu disewakan atau dijual oleh orang per orang, lebih baik desa hadir melakukan konsolidasi, agar aset, aktor, akses, dan arena bisa disatukan menjadi kekuatan kolektif.

4. Proteksi desa dari investasi

Investasi masuk desa bukan barang haram. Selama ini, ketika investasi akan masuk ke desa, kepala desa berperan dua hal: menjadi perantara proses penyewaan/pembelian lahan warga; dan mengeluarkan surat rekomendasi izin yang akan diteruskan ke atas.

UU Desa menolak proses yang elitis dan tertutup ini, sebaliknya melembagakan Musyawarah Desa (MD) secara inklusif-deliberatif, untuk membicarakan dan menyepakati rencana investasi yang masuk ke desa.

MD menjadi arena free and prior inform consent (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan), yakni persetujuan (consent) masyarakat desa setelah ada penjelasan (informed) lebih dahulu (prior) dan dilakukan secara bebas, tanpa tekanan atau paksaan (free) dari pihak manapun.

MD bisa menjadi arena untuk deliberasi dan negosiasi desa dengan investor. Jika MD menolak, maka rencana investasi batal. Jika MD menerima maka ada konsekuensi lanjutan, dan hal ini menjadi dasar bagi kepala desa mengeluarkan rekomendasi izin.

Pendek kata, MD itu untuk deliberasi dan negosasi dalam proses investasi, sekaligus memberikan proteksi desa dari keganasan investasi.


Empat agenda di atas mempunyai dua relevansi sekaligus. Pertama, mendorong percepatan RA. Redistribusi tanah kepada desa menjadi tema sentral RA, namun bisa disertai secara simultan dengan tiga agenda lainnya. Kebijakan redistribusi selain dari atas juga bisa disertai dari bawah melalui pengusulan dari desa.

Kedua, RA mempunyai rentetan dengan pembangunan desa, termasuk penggunaan dana desa (DD). Permendesa PDTT No. 19/2017 (Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa 2018) sudah mempersiapkan diri untuk menyambut tanah redistribusi kepada desa, antara lain mengarahkan penggunaan DD untuk pemanfaatan hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan sebagaiya.

Permendesa itu juga mempunyai semangat konsolidasi kekuatan desa (aktor, aset, akses dan arena) terhadap sumber-sumber agraria dalam desa maupun kawasan perdesaan, melalui kelembagaan BUMDesa/BUMDesa Bersama dan koperasi.

Desa untuk Mempercepat Reforma Agraria

Selasa (14/03/17) Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla melakukan pertemuan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Pertemuan ini membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Termasuk upaya menyelesaikan kesenjangan yang ada melalui reforma agraria.

Presiden Jokowi memang telah menetapkan reforma agraria sebagai program prioritasnya. Target program akan dicapai melalui dua skema. Pertama melalui skema legslasi dan redistribusi lahan (seluas 9 juta ha), dan kedua melalui pelaksanaan program perhutanan  sosial (seluas 12,7 juta ha).

Program perhutanan sosial akan dilakukan melalui alokasi sumberdaya hutan yang dikuasai negara kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial (PS).

Peraturan ini menegaskan bahwa PS adalah “sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.”

Melalui kebijakan ini Pemerintah ingin (a) menciptakan dan mempercepat pemerataan akses dan distribusi asset sumberdaya hutan; (b) menyelesaikan konflik tenurial di kawasan hutan; dan (c) mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

UU Desa dan konflik tenurial

Di penghujung tahun 2016 lalu Presiden memang telah menyerahkan surat keputusan tentang pengakuan hutan adat pada 9 komunitas masyarakat adat. Luas hutan yang diserahkan itu sekitar 13.500 ha, yang akan dinimati oleh sekitar 5000 keluarga. Pada masa sebelumnya, khususnya sejak reformasi 1998, sudah ada pula pengakuan pada hutan adat seluas 15.000 ha.

Apakah ini cara penyelesain persoalan yang tepat dan cepat? Jelas tidak. Pada tahun 2014 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sedikitnya terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar.

Konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga (KK). Belum lagi, pada masa Menteri Kehutanan Kabinet Gotong Royong II pernah disebutkan bahwa dari sekitar 74.000 desa ada 33.000-an desa yang batas wilayahnya tumpang-tindih dengan kawasan hutan.

Sementara itu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada Pasal 26 ayat (2) butir j., disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa berwenang mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Di samping itu, pada Pasal 76 ayat (1) disebutkan bahwa Aset Desa, antara lain berupa hutan milik desa.

Merujuk pada dua pengaturan tersebut maka, dalam rangka menyelesaikan konflik tata batas atara desa dan kawasan hutan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan, Pemerintah bisa mempercepat pelaksanaan PS. Khususnya dalam bentuk program hutan desa dan juga hutan adat melalui penetapan desa adat yang masih terancam mandul itu.

Kecuali dapat mencapai target program, cara ini sekaligus juga akan mempercepat pelaksanaan program perhutanan sosial itu sendiri dan sekaligus menyelesaikan konflik tata batas desa dan hutan.

Andai saja untuk 33.000 desa yang memiliki konflik tata batas itu dapat dialokasikan 100 ha saja, maka pelaksanaan program hutan desa ini akan mampu direalisasikan pada 3.300.000 ha, atau sekitar 25% dari target program perhutanan sosial secara keseluruhan.

Jika masing-masing dialokasikan 1000 ha, maka realisasi reforma agraria akan menjadi dua kali lipat dari target. Apalagi jika ada political will merealisasikan nomenklatur desa adat versi UU Desa.

Peran Pemerintah Kabupaten dan Desa. Betapapun, capaian program Perhutana Sosial relatif sangat lambat. Belum juga dapat beringsut secara signifikan. Meski sudah ada pola baru, per akhir September 2017, realisasi izin hanya seluas 605.373,26 hektar saja (Kantor Staf Presiden, Republik Indonesia, Oktober 2017).

Di samping menghadapi kendala dari atas, utamanya birokrasi izin yang panjang dan keterbatasan dana, program perhutanan sosial juga menghadapi kendala dari bawah. Lambannya realisasi pemberian izin juga berpangkal dari sedikitnya kelompok masyarakat di tingkat akar rumput yang mampu dan siap mengajukan permohonan sebagai penyelenggaraan salah satu skema perhutanan sosial itu.

Itu semua terjadi, antara lain, karena kurangnya sosialisasi kebijakan perhutanan sosial pada level masyarakat dan desa, maupun pada pemerintah kabupaten.

Padahal, keterbatasan anggaran di tingkat Pusat dapat diatasi dengan optimalisasi sumberdaya yang ada pada pemerintah kabupaten maupun desa. Ke depan, untuk mempercepat realiasi target, peran pemerintah kabupaten dan desa perlu dioptimalkan.

Bisa Menggunakan Dana Desa

Dalam konteks penggunaan anggaran desa maka penyelenggaraan perhutanan sosial juga dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan dan masuk ke dalam berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).

Stretegi kerja yang demikian itu sesuai pula dengan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi  Nomor 1 tahun 2015 pasal 9 tentang Bidang Pembangunan Desa, yang antara lain disebutkan dalam pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa.

Dalam pasal 14, disebutkan pula bahwa pembangunan Desa juga meliputi fasilitasi pembentukan kelompok tani.

Bahkan, saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 yang baru saja ditandatangani tanggal 22 September 2017 lalu, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1, khususnya pada butir 3 tentang Kegiatan Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, huruf c. angka 1), salah dua kegiatan yang menjadi prioritas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan desa dan hutan sosial.

Demikian pula, sebagaimana diatur pada angka 5), salah dua bidang usaha yang dapat dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan desa dan hutan sosial.

Artinya, Desa sangat berpeluang untuk mengambil posisi sebagai garda terdepan dalam pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan melalui program yang disebut perhutanan sosial itu.

Peran Pemerintah Kabupaten

Hal yang sama juga bisa diperankan oleh Pemerintah Kabupaten. Masalahnya kemudian adalah masih ada keragu-raguan Pemerintah Desa dan masyarakat untuk memanfaatkan peluang Perhutanan Sosial sebagai upaya memperbesar aset Desa.

Pemerintah Desa saat ini belum melihat hutan yang senyatanya terbagi habis dalam wilayah administrasi Desa, sebagai aset desa. Situasi yang demikian itu merupakan buah dari pemisahan antara Desa dan Hutan yang terjadi sejak jaman kolonial Belanda.

Keragu-raguan itu juga ditopang oleh kebaruan kewenangan Desa yang terbuka luas oleh UU Desa yang baru. Belum semua Pemerintah Desa memahami kewenangannya yang baru itu.

Selain itu, rendahnya kapasitas masyarakat dan pemerintah desa dalam hal perencanaan pengelolaan hutan masih menjadi persoalan serius. Oleh karena itu, sesuai tugas pokok dan fungsinya, pemerintah kabupaten harus turun tangan untuk menjadikan pemerintah desa dan masyarakat mampu mengelola hutan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerh memfasilitasi Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Pemangku Kehutanan (Pasal 61 ayat 1)”.

“Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitasi pada tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan, pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar” (Pasal 61 ayat 2).

Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten sebagaimana diatur dalam Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Antara lain dinyatakan bahwa, dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa dalam satu Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Desa.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas Pemerintah Desa berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa).

Secara spesifik Pasal 115 UU Desa menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Salah satu wujudnya adalah melakukan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan; dan melakukan upaya percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis.

Program perhutanan sosial dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa jelas merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU Desa, Pasal 78 ayat 1).

Dengan argumentasi hukum tersebut di atas, maka Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak perlu ragu untuk turut mendukung lancarnya program perhutanan sosial yang menjadi prioritas Presiden Jokowi ini.

Dukungan itu dapat berupa kebijakan yang mengarahkan penggunaan sumberdaya pemerintah kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi (satuan kerja pemerintah daerah/SKPD) dan keuangan daerah. Termasuk himbauan pada pemerintah desa untuk secara sungguh-sungguh memanfaatkan perluang yang terbuka ini.

Dengan peran Pemerintah Desa dan Kabupaten yang demikian itu maka aspirasi masyarakat desa yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi sekaligus melestarikan hutan dapat segera terwujud. Beban Pemerintah Pusat untuk merealisasikan program perhutanan sosial pun dapat dikurangi.

Perempuan yang mengubah wajah desa

Pengalaman dari Poso. Adalah Kamala Chandrakirana, saat itu adalah Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan, yang dengan cara kerjanya sendiri mempromosikan peluang yang dibuka oleh Undang-Undang Desa bagi kemajuan upaya pembelaan hak-hak perempuan (dan anak) di tingkat komunitas.

Atas dorongannya, saat Kongres Perempuan (Kabupaten) Poso berlangsung, antara lain menghasilkan masukan yang lebih komprehensif bagi penyempurnaan UU Desa.

Beberapa tahun sebelum proses legislasi RUU Desa bergulir, Intitute Mosintuwu yang memfasilitasi penyelenggaraan Kongres Perempuan Psoso itu, memang telah memiliki program pengembangan partisipasi perempuan di tingkat desa dalam menciptakan dan melestarikan perdamaian pasca-konflik antar-kelompok yang cukup masif dan sepertinya belum akan usai tuntas (Komnas HAM, 2005; Alganih, 2014; Rendi, 2014; dan Manna, 2014).

Asumsi dasarnya adalah perdamaian hanya akan abadi jika para warga di tingkat akar rumput memahami konteks konflik yang terjadi itu sendiri. Asumsi ini berangkat dari temuan Lian Gogali, pendiri Institute Mosintuwu dan pencetus ide Sekolah Perempuan, sewaktu terlibat dalam berbagai upaya untuk menciptakan perdamaian yang diselenggarakan oleh pemerintah, lembaga donor, maupun berbagai jaringan kerja organisasi masyarakat sipil.

Pengalaman Lian itu menunjukkan bahwa seringkali pihak korban yang sesungguhnya dari konflik yang terjadi itu tidak memahami benar tetang apa sesungguhnya yang terjadi.

Melalui Sekolah Perempuan, Institute Mosintuwu ingin membangun kesadaran kritis warga masyarakat di daerah konflik itu, khususnya kaum perempuan.

“Karena kaum perempuanlah yang paling menderita dalam konflik ini. Dalam kondisi normal saja kaum perempuan tersingkirkan, apalagi dalam keadaan yang tidak normal ini,” jelas Lian suatu ketika.

Melalui Sekolah Perempuan kaum perempuan yang berasal dari berbagai desa yang ada di Kabupaten Desa diajak berdiskusi dan memahami masalah-masalah ketidak-adilan yang diderita oleh kaum perempuan, dan pada tingkat selanjutnya, nilai-nilai universal seperti HAM dan gerakan anti-kekerasan, yang perlu dihayati dalam menciptakan kehidupan ke depan yang aman, damai dan sejahtera.

Lalu mengapa pula UU Desa menjadi bahan belajar yang cukup intens dipelajari?

Kutipan-kutipan berikut mungkin bisa menjelaskannya “Di setiap desa, perempuan itu ada. Setiap saat perempuan yang ada di desa,” suara ibu Yarlin nampak bergetar.

“Tapi kami tidak pernah dilibatkan. Dianggap tidak ada. Sekarang tidak bisa begitu lagi. Makanya kami disini. Kaum perempuan hadir untuk sama-sama membangun di desa,” seru ibu Yarlin.

Pernyataan ibu Yarlin disambut tepuk tangan meriah dan teriakan “hidup perempuan Poso” dari beberapa sudut ruangan berstruktur bambu pagi hari itu.

Selain ibu Yarlin yang berasal dari Desa Didiri, hadir pula 60 perempuan lainnya dari 39 desa di Kabupaten Poso dan dari dua kecamatan di Kabupaten Morowali termasuk kurang lebih 50 perwakilan pemerintah desa termasuk BPD dan LPM.

Kehadiran mereka mewakili semangat bersama masyarakat di desa untuk menyambut dan mengimplementasikan UU Desa dengan mengikuti workshop Langkah Bersama UU Desa.

Seperti yang disampaikan ibu Yarlin, Institut Mosintuwu yang menyelenggarakan kegiatan ini mempercayai bahwa membangun desa tanpa melibatkan perempuan bukan saja tidak adil tetapi akan membuat pembangunan tersebut berjalan timpang.

Kehadiran UU Desa telah memberikan harapan yang penting bagi masyarakat desa untuk kembali berdaulat dalam mengelola desa. Namun sayangnya, kelompok perempuan adalah pihak yang paling terakhir mendapatkan informasi mengenai UU Desa.

Pengetahuan selama ini dimonopoli oleh para pejabat yang sebagian besar adalah laki-laki. Oleh karena itu memberikan informasi mengenai UU Desa kepada kelompok perempuan adalah bagian penting untuk membangun sistem pengetahuan bersama yang adil sehingga selanjutnya bisa bersama-sama dapat dilibatkan dalam pembangunan di desa.

Pada kesempatan lain tercatat pula pernyataan berikut:

“Pengalaman perempuan terhadap sering diabaikannya hak layanan masyarakat dalam desa menjadi salah satu motivasi anggota Sekolah Perempuan yang bergabung di tim layanan masyarakat melakukan kampanye dan advokasi pemenuhan hak layanan masyarakat yaitu pendidikan dan kesehatan.  Tujuannya agar  masyarakat miskin dan marginal di dalam desanya mengenal dan memahami hak-nya terutama mendapatkan pelayanan publik yang seharusnya dan yang disediakan.”

Penyelenggaraan Sekolah Perempuan dalam mengoptimalisasi UU Desa, jika dapat dikatakan begitu, dilakukan secara bertingkat. Tahap pertama, kegiatan memperajari UU Desa dan proses Sekolah Perempuan itu dimaksudkan untuk menghasilkan ‘calon pelatih’ yang nantinya akan menggulirkan diskusi-diskusi seputar peluang dan tantangan penerapan UU Desa ke depan.

“Pelatihan untuk pelatih” ini, jika dapat dikatakan begitu dilakukan secara bertahap, yang mencakup tidak kurang dari 70 (tujuhpuluh) orang peserta Sekolah Perempuan.

Tahap pertama lebih banyak membicarakan hal-hal yang bersifat menyeluruh dan umum tentang UU Desa; tahap kedua lebih menekankan masalah perencanaan dan pengganggaran pembanguna di desa; dan tahap tiga pengulangan beberapa materi yang belum terlalu jelas dalam pengalaman belajar pada dua tahap sebelumnya.

Untuk kebutuhan belajar bersama, pada tahap berikutnya, para alumni ‘sekolah desa’ yang diselenggrakan oleh Sekolah Perempuan Poso dan Institute Mosintuwu ini membangun jejaring yang mereka sebut sebagai “Forum Belajar UU Desa”.

Salah satu agenda bersama mereka, untuk pertama kalinya adalah menyusun sebuah dokumen yang mereka sebut sebagai ‘Buku Pintar tentang UU Desa”.

Pada tahap selanjutnya, baik melalui “Forum Belajar UU Desa” ataupun melalui Sekolah Perempuan Poso, para alumni ‘sekolah desa’ ini aktif melakukan advokasi tentang perlunya segera Pemerintah Daerah Poso mempersiapkan peraturan-perundangan yang diperlukan bagi penerapan UU Desa di Kabupaten Poso.

Selain itu, mereka kemudian juga telah menyusun agenda advokasi yang bertujuan untuk memperbesar manfaat UU Desa bagi gerakan perempuan di Kabupaten Poso melalui penyusuan:

  • Rencana Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan;
  • Rencana Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Pelaksanaan Pembanguna Desa, dan,
  • Rencana Peraturan Daerah tentang Penguatan dan Perluasan Partisipasi Perempuan.

Ketiga rencana kebijakan daerah itu tentu saja diusulkan menjadi kebijakan yang pro-kepenting perempuan.

Untuk tujuan-tujuan advokasinya, bekerjasama dengan KARSA, gerakan masyarakat sipil di Kabupaten Poso ini sudah pula menyusun semacam nasakah akademik yang diperlukan, lengkap dengan rumusan pasal-pasal pengaturan yang dibutuhkan.

Melihat perkembangan yang sedemikian rupa menarik minat salah satu calon kepala daerah yang akan bertarung pada arena pemilihan kepala daerah pada tahun 2015 lalu.

Jaringan kerja “Forum Belajar UU Desa” ini, lebih khusus lagi Sekolah Perempuan Poso dan Institute Mosintuwu untuk melakukan kerjasama, dengan ‘kontrak politik’, jika sang calon memenangi proses pemilihan, para ‘alumni sekolah desa’ ini akan menjadi partner utama dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan implementasi UU Desa di kabupaten itu.

Terlebih lagi program-program pembangunan pembangunan yang menyangkut kepentingan kaum perempuan dan anak.

Sejauh yang dapat diamati, para promotor program inklusi sosial telah banyak yang menggunakan peluang yang dibuka oleh UU Desa, masih setia dengan pendekatan pemberdayaan.

Berbagai kegiatan yang dilakukan itu dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok kegiatan utama. Masing-masing adalah kelompok kegiatan pengorganisasian; advokasi; dan kelompok kegiatan yang dimaksukan untuk pengembangan ekonomi – baik secara individu terlebih penting lagi adalah kelompok – yang terlibat dalam agenda pemberdayaan masyarakat itu.

Meski tidak berbanding lurus, kerangka kerja ‘tiga kaki’ ini mirip dengan kerangka kerja untuk merancang program-program inklusi sosial yang dikembangkan oleh Gidley dalam esainya.

Pengorganisasi dapat disejajarkan sebagai upaya memenuhi dan/atau peningkatan partisipasi kelompok marjinal; advokasi sebagai upaya pengembangan potensi manusia bagi terciptanya iklim kebijakan yang berpihak pada kelompok marjinal; dan pengembangan ekonomi sebagai proksi dari upaya peningkatan akses kelompok marjinal pada berbagai sumber pelayanan dasar yang dibutuhkan.

Jika demikian adanya, agenda bersama apa yang dapat dilakukan para pihak ke depan? Untuk menjawab pertanyaan ini kami mengusulkan kerangka kerja kedua, jika dapat dikatakan begitu, yakni untuk menggunakan kerangka kerja dalam jalur pengembangan dan/atau peningkatan kapasitas.

Merujuk pada kerangka pengembangan kapasitas yang dikembangkan oleh GTZ – SfDM, Support for Decentralization Measures (2005), berbagai kapasitas yang dibutuhkan mencakup

  1. kebijakan dan regulasi turunan lainnya
  2. penataan ulang kelembagaan yang ada
  3. pembaruan prosedur kerja dan mekanisme koordinasi
  4. peningkatan kinerja sumberdaya manusia
  5. pengembangan ketrampilaan sesuai kualifikasi yang dibutuhkan, serta
  6. perubahan sistem nilai dan sikap untuk mengahadapi sistem yang baru

Untuk memudahkan pemahaman, berbagai hal itu dapat dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan pengembangan kapasitas. Masing-masing adalah sebagai berikut:

  1. menyangkut serangkaian kegiatan untuk mengembangkan kapasitas pada tingkat sistem kelembagaan atau kebijakan
  2. pengembangan kapasitas pada tingkat lembaga atau organisasi, dan
  3. serangkaian upaya untuk pengembangan kapasitas pada tingkat individu.

Perlu pula diingat bahwa, dalam rangka meningkatan kinerja program-program yang mempromosikan isu inklusi sosial ini, beberapa kajian, seperti AKATIGA, (2010); Bappenas, (2010); dan Laksono, et.al., (2014), mencatat bahwa pemberdayaan masyarakat adalah proses transformasi dalam waktu yang tidak singkat.

Untuk itu perlu dirancang peta jalan untuk mencapainya; memperkuat lembaga pengorganisasian masyarakat lokal, dengan  perhatian khusus pada kelompok marjinal, dengan memanfaatkan sistem pengorganisasian lokal yang dikenal oleh masyarakat yang bersangkutan; bentuk kegiatan usaha dalam program pemberdayaan mengacu pada livelihood yang ada.

Jangan mengancurkan modal sosial cq. etos kerja yang berlaku; jika diperlukan, memfasilitasi simpan pinjam yang lebih berkelanjutan; perbaikan Institusi dan Teknis, seperti Pembentukan sekolah fasilitator; Pelatihan (Training); Pembiayaan operasional yang memadai; Fokus pada isu partisipasi kunci untuk monitor dan memberikan umpan balik; Menggunakan kelompok monitoring independen; Mengurangi keterlambatan penyaluran dana ke lapangan.

Agar lebih efektif, ke depan penyempurnaan terhadap peraturan pelaksanaan UU Desa tetap diperlukan. Di dalam kebijakan turunan dimaksud, (i) inklusi sosial dapat dinyatakan menjadi perspektif secara lebih eksplisit; (ii) menyebutkan cakupan kelompok marginal secara lebih  lengkap; dan (iii) menegaskan dan memperluas ketentuan-ketentuan jaminan perlindungan dan perlakuan khusus kepada kelompok marginal.

Sementara itu, dalam konteks implementasi kebijakan yang mengakui desa adat, Pemerintan dan dan para pihak yang terkait perlu mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut (i) menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat; (ii) melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis kepada pemerintah terkait tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan; dan (iii) mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepetingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.

(Artikel ini dikutip dari buku “Kembali ke Mandat: Hasil Pengawasan Komite I DPD RI Atas Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Opini)

Dalam rangka lima tahun terbitnya UU Desa pada 15 Januari 2014, kami menayangkan 8 artikel opini mengenai UU Desa. Diantaranya:

Kembali ke atas laman