Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Teman Sebangku Pius Lustrilanang di SMA, Pendamping Desa Ini Hadiri Bedah Buku Aldera

Yogyakarta, desapedia.id – Jumat siang (18/11) kemarin secara khusus Thomas Sutana, Pendamping Lokal Desa (PLD) di Kabupaten Klaten meluangkan waktu pergi ke Fisipol UGM. Selain narasumbernya Dr. Arie Sudjito, daya tarik lainnya adalah mengupas tuntas apa itu Aldera yang ditulis oleh Pius Lustrilanang.

Bicara Aldera tentunya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan para mahasiswa di tahun 90-an yang melawan dan menentang rezim Suharto. Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) adalah salah satu organisasi pergerakan mahasiswa yang ikut berdarah-darah melawan aparat Orde baru saat itu. Saat itu, selain Aldera, ada PRD dengan Budiman Sudjatmiko, SMID dengan Nezar Patria, Forkot dengan Adian Napitupulu.

Tentu saja, ada hubungan personal yang mendorong Thomas untuk ikut bedah buku Aldera. Pius Lustrilanang adalah teman sebangku Thomas di SMA de Britto selama 3 tahun sejak kelas 1 hingga kelas 3. Juga, tentunya ada reuni kecil alumni se-angkatan de Britto ‘87 yang ikut hadir di aula fisipol UGM.

Thomas menegaskan, benang merah pergerakan Aldera yang juga disuarakan oleh para aktivis lainnya adalah keresahan terhadap kedikatoran Suharto saat itu.

Saat itu, politik dan politisi sungguh dibelenggu oleh Suharto. Rakyat pun tidak berani bersuara. Dengan dimotori oleh para aktivis mahasiswa, demo-demo melawan rezim Suharto merebak di berbagai kota.

“Harga yang dibayarkan untuk perjuangan itu dibayar tidak sedikit. Banyak mahasiswa yang jadi korban: meninggal dan diculik. Pius Lustrilanang termasuk korban penculikan oleh tim mawar kopassus saat itu. Tetapi, perjuangan dan pengorbanan tidak sia-sia. Akhirnya, rezim Suharto tumbang pada tahun 1998”, kata Thomas.

Hampir 3 dekade peristiwa sejarah itu telah berlalu. Thomas menilai Buku Aldera merekam catatan sejarah agar sejarah tumbangnya diktator orde baru itu tidak dilupakan oleh rakyat Indonesia.

“Dan jika ditarik ke masa sekarang, apa relevansinya?”, ujar Thomas.

Thomas kemudian mengutip pernyataan Dr.Arie Sudjito yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa sering identik dengan kediktatoran suatu rezim. Jika pemerintah tidak semena-mena, para mahasiswa pun cenderung tidak bergerak. Artinya para mahasiswa akan bergerak keluar kampus jika ada pemerintahan otoriter.

Padahal, lanjut Arie Sudjito sebagaimana dipaparkan Thomas, para mahasiswa semestinya punya keresahan terhadap fenomena sosial, tidak mesti berkaitan dgn politik. Misalkan, soal kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, persoalan intoleransi, persamaan gender dan lain–lain. Para mahasiswa masih bisa berjuang untuk menyelesaikan persoalan sosial di atas.

Secara refleksi pribadi, Thomas menekankan para Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Kemendes PDTT semestinya juga bisa berjuang atas persoalan sosial di masyarakat pedesaan.

“Bekerja bukan hanya disibukkan dengan urusan administrasi, persoalan regulasi dan aturan tapi sungguh berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, memperbaiki lingkungan hidup yang rusak, mengangkat persamaan gender dan lain – lain. Bukankah perjuangan untuk menyelesaikan persoalan di atas sebetulnya perwujudan dari tujuan SDGs?”, tegasnya. (Red)

Scroll To Top