Lewati ke konten

Soal Tuntutan Perangkat Desa: Tidak Sesuai dengan Rencana Perampingan Birokrasi dan Menurunkan Biaya Belanja Pegawai    

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Foto/DOK)

Jakarta, desapedia.id – Perangkat Pemerintah Desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) baru – baru ini menggelar demonstrasi di depan gedung DPR RI. Ada beberapa tuntutan yang digaungkan dalam demonstrasi tersebut, salah satunya adalah meminta perangkat desa dijadikan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pemerintah segera mengeluarkan Nomor Induk Perangkat Desa (NIPD) bagi perangkat desa di 74.961 desa diseluruh Indonesia.

Tuntutan lainnya adalah meminta pemerintah menaikan plafon anggaran Dana Desa sebesar 15 persen dari APBN.

Menanggapi hal ini, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan memberikan beberapa catatan penting yang dikutip oleh desapedia.id dari wawancaranya dengan salah satu radio swasta nasional pada minggu lalu (26/1/2023).

“Tuntutan perangkat desa menjadi ASN dan mempunyai Nomor Induk Perangkat Desa (NIPD) sepertinya akan terbentur dengan ketersediaan anggaran negara. Tetapi ini semua tergantung dari political will pemerintah, mungkin pemerintah akan mengakomodir tuntutan ini di dalam perubahan UU Desa soal status perangkat desa, sama seperti masa jabatan kades yang nampaknya akan diakomodir oleh pemerintah dan DPR, tetapi maksimal 2 periode”, ujar pendiri Institut Otonomi Daerah (i – OTDA) ini.

Prof Djo, sapaan akrabnya, mengatakan tuntutan PPDI harus dikaji dan dipertimbangkan, tetapi persoalan mendasarnya adalah apakah kemampuan keuangan negara sudah siap ada tambahan jumlah ASN.

“Kita hitung saja, akan ada 7 sampai 8 orang di setiap Pemdes yang menjadi ASN, kalikan saja dengan jumlah desa, maka ada 560 ribu orang jadi PNS. Sekarang saja ada kebijakan pensiun dini dan pengurangan pegawai. Maka tuntutan PPDI ini ini tidak cocok dengan rencana merampingkan birokrasi dan menurunkan biaya belanja pegawai”, ungkap Prof Djo.

Prof Djo mendesak pemerintah segera bersikap tegas dan memperjelas isu desa ini agar kondisi tidak semakin runyam.

“Mendes, mendagri dan menkeu harus diajak bicara. APBN sudah berat bebannya ada IKN, apalagi ada tuntutan PPDI dana desa minta ditambah 15 persen dari APBN, kemudian perangkat desa menajdi ASN. Belanja kesehatan saja di APBN hanya 10 persen. Lalu belanja pendidikan 20 persen. Kalau dana desa 15 persen itu berarti Rp. 450 T, dari jumlah APBN kita saat ini Rp. 3000 T”, tegasnya.

Menurut Prof Djo, semua pihak harus melihat kembali konsep membangun desa, yaitu desa ini sebenarnya otonomi desa, bukan otonomi daerah yang merupakan pelimpahan wewenang ke daerah.

“Desa itu otonomi asli berdasarkan hak asal – usul. Harusnya perangkat desa itu diongkosi sendiri, dibayari sendiri. Bukan minta ke negara. Desa mengurus urusan berdasarkan prakarsa masyarakat dari desa itu. Desa harus dikembalikan ke asal – usul atau asbabun nuzul. Jangan menjadikan desa sebagai daerah otonomi baru. Kalau minta jadi ASN itu daerah otonomi baru. Desa bukan daerah tingkat III”, timpalnya.

Prof Djo menilai saat ini banyak pemikiran yang sesat, maka harus dikembalikan ke asal usulnya, yaitu seluruh pembiayaan desa itu otonomi asli sesuai dari kemampuan masyarakat desa sendiri.

“Akibatnya kini Dana desa banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dana desa itu untuk mendorong pembangunan, jangan membuat ketergantungan desa. Sekarang korupsi kepala desa malah merajalela. Kemnbalikan otonomi desa berdasarkan hak asal usul, bukan otonomi daerah”, tutupnya. (Red)

Kembali ke atas laman