Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Pengamat: Program Perhutanan Sosial Nawacita Tidak Sesuai Target

Fahriza

Pengamat politik lokal dan otonomi daerah, Fahriza (desapedia.id)

Jakarta, desapedia.id – Perhutanan Sosial merupakan bagian dari Land Reform yang menjadi salah satu Visi Pemerintahan saat ini yang  tertuang dalam Nawacita. Dalam  RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa target Land Reform adalah tersedianya sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan terlaksananya redistribusi tanah dan legalisasi aset, dimana salah satunya melalui pelepasan kawasan hutan sedikitnya 4,1 juta hektar.

Pengamat politik lokal dan otonomi daerah, Fahriza, mengatakan, Perhutanan Sosial meningkatkan akses masyarakat untuk mengelola hutan melalui hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan hutan rakyat, serta kemitraan seluas 12,7 juta ha.

“Nawacita menargetkan 4,3 juta ha di tahun 2019 ini, akan tetapi sampai dengan 31 Januari 2019, baru mencapai 2,9 juta ha yang diberikan kepada 600 ribu kepala keluarga. Hal ini tentunya sangat disayangkan, apalagi Reforma Agraria merupakan salah satu dari target Nawacita yang diwujudkan sampai dengan tahun 2019,” kata Fahriza kepada desapedia.id, di Jakarta, Senin (18/02/2019).

Dia menambahkan, sangat disayangkan juga payung hukum bagi pelaksanaan Land Reform baru diterbitkan di penghujung tahun 2018 (Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria). Padahal, UU No 5 tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mengamanatkan kepada pemerintah untuk restrukturisasi (penataan ulang) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain target yang belum tercapai (4,3 juta ha di tahun 2019), kata Fahriza, Perhutanan Sosial perlu dilengkapi dengan Alas Hak (Surat Kepemilikan) sebagai wujud penataan ulang kepemilikan dan pengusaan tanah.

“Perhutanan Sosial hanya memberikan pinjam pakai atau hak pengelolaan kepada masyarakat atau petani di kawasan hutan yang diambilkan dari lahan Perhutani atau Inhutani. Sedangkan lahan ex HGU belum dioptimalkan untuk didistribusikan kepemilikan atau penguasaanya kepada Masyarakat. Artinya sewaktu-waktu ada perubahan kebijakan, lahan tersebut dapat diambil kembali pemerintah, sementara masyarakat tidak punya hak atau alasan untuk mempertanahkan lahan tersebut karena tidak punya Alas Hak,” ungkapnya.

Karena itu, sambung Fahriza, ke depan pemerintah harus lebih berani untuk memberikan Alas Hak kepada masyarakat yang terlibat atau berpartisipasi dalam Program Perhutanan Sosial sesuai dengan tujuan dari Land Reform (retrukrisasi kepemilikan, pengusaaan dan penggunaan tanah). (Red)

Scroll To Top