Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Komite I DPD RI Ungkap Distorsi Kewenangan Desa dalam UU Desa, Papdesi Beri Tanggapan Begini

Komite I DPD RI Ungkap Distorsi Kewenangan Desa dalam UU Desa, Papdesi Beri Tanggapan Begini - Desapedia

Ketua DPD Papdesi Jawa Timur, Supratman

Jakarta, desapedia.id – komite I DPD RI melalui Wakil Ketuanya, Fernando Sinaga pernah mengungkapkan ada 4 distorsi kewenangan desa yang hakekatnya sudah menjadi institusi yang bertanggungjawab dalam pembangunan desa sebagaimana telah diberitakan oleh desapedia.id pada 16 maret pada 2021 lalu.

Fernando mengungkapkan hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat Umum yang digelar oleh Komite I DPD RI dengan agenda evaluasi dan penyempurnaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pada Selasa (163) lalu.

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPD Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) Provinsi Jawa Timur, Supratman memberikan tanggapannya melalui rilisnya yang dikirimkan kepada desapedia.id pada Rabu (17/3).

Distorsi pertama kewenangan desa dalam UU Desa yang disampaikan oleh Komite I DPD RI adalah soal pelimpahan kewenangan kepada pemerintah desa untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan namun dalam kenyataannya, pemerintah desa masih harus mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota dalam hal penetapan kebijakan pembangunan desa, ditambah lagi pemerintah desa dalam proses penyelenggaraan pembangunan disibukkan dengan urusan administratif yang merupakan pelimpahan urusan dari pemerintah dan pemerintah daerah.

“Begini, petsetujuan atas kebijakan pembangunan desa adalah bentuk pembinaan dan pengawasan. Terminologi atau istilah dalam UU Desa untuk pembinaan dan pengawasan kepada desa oleh Bupati adalah evaluasi. Nah evaluasi atas Perdes–Perdes yang dibuat oleh desa, termasuk dalam perencanaan pembangunan desa. Evalusasi dimaksud agar Perdes – Perdes tersebut dibuat tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau kepentingan umum. Ini tidak jauh beda dengan Perda yg memerlukan evaluasi dari Gubernur, lalu apa masalahnya? Ini yang saya pertanyakan kepada Komite I DPD RI”, terang Supratman.

Menanggapi distorsi kedua yang diungkap Komite I DPD RI yaitu  tidak adanya klausul yang menyatakan pengakuan atas keragaman kapasitas desa yang ada, padahal kenyataannya desa-desa di Indonesia memiliki kapasitas yang berbeda dalam melaksanakan pembangunan desa, di satu sisi terdapat desa yang berstatus desa maju dan desa mandiri, namun di sisi lain mayoritas desa yang ada berstatus desa sangat tertinggal dan desa tertinggal, Supratman mengatakan UU Desa memberikan pengakuan atas keragaman atas desa, mulai dari tradisi budaya, bahkan istilah yang sebutan untuk desa.

“Komite I bisa baca pasal 4 UU Desa soal ada desa mandiri, maju, berkembang dan tertinggal serta sangat tertinggal, ini adalah capaian atas pelaksanaan penyelenggaran pemerintahan desa yang telah dilakukan masing–masing desa. Hal ini bisa saja tergantung pada SDM dan SDA atau potensi desa masing–masing”, ujarnya.

Supratman menjelaskan, keterlibatan masyarakat tidak berarti seluruh masyarakat ikut serta, tetapi melalui keterwakilan dari unsur–unsur yang ada dalam masyarakat. Zaman dulu dalam musyawarah desa pernah ada yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, tetapi tetap saja hanya orang tertentu atau lazimnya yang punya hak dan kewajiban tertentu bahkan perwakilan dari perempuan tidak ada. Menisbahkan seluruh rakyat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan di era sekarang ini seperti jauh panggang dari api walaupun itu mungkin.

Pernyataan Supratman ini menanggapi distorsi ketiga yang diungkap Komite I DPD RI, yaitu soal masyarakat desa yang ditempatkan sebagai subjek pembangunan desa yang berhak turut serta dalam penyelenggaraan pembangunan, nyatanya tidak dilibatkan dalam keseluruhan proses pembangunan desa, terlebih lagi dalam proses evaluasi pembangunan masyarakat tidak dilibatkan untuk menilai hasil dari pembangunan desa yang telah dilaksanakan.

Wakil Ketua Komite I DPD RI Fernando Sinaga membeberkan distorsi keempat, yaitu  penyelenggaraan pembangunan tingkat desa nyatanya lebih didominasi oleh kepala desa selaku pimpinan tertinggi di desa mulai dari tahap perencanaan sampai tahap evaluasi pembangunan, sedangkan pemangku kepentingan lainnya memiliki peran yang beragam, bahkan di beberapa fase pembangunan, keterlibatan pemangku kepentingan lainnya menjadi minim, hal ini tentu saja bertentangan dengan dasar dari penyelenggaraan pembangunan desa yang diatur dalam UU Desa yang diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif.

Soal ini, Supratman berikan tanggapannya yang menohok. Menurutnya, desa dengan watak atau karakteristiknya yang berbeda–beda, tidaklah semua desa dengan hegemoni dan dominasi Kepala Desa (Kades).

“Saya ingatkan Komite I DPD RI bahwa pendistribusian kekuasaan dan kewenangan telah secara teratur dan masih diatur oleh UU Desa, masyarakat desa pun diberi hak untuk berpartisipasi, hanya saja pertanyannya, apa masyarakat menggunakan haknya. Hanya beberapa hal terutama dalam soal penyusunan APBDes, RKPDes, RPJMDes dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa semacam hak prerogratif Pemdes atau Kades. Adalah selayaknya bila Kades yang merupakan top leader desa dan yang lebih banyak menguasai persoalan desa lebih dominan dari pada lembaga yang lain”, tegas Supratman. (Red)

Scroll To Top