Lewati ke konten

Guru Besar UT Tulis Surat Terbuka untuk Parlemen Terkait Revisi UU Desa

Guru Besar UT Tulis Surat Terbuka untuk Parlemen Terkait Revisi UU Desa - Desapedia

Guru Besar Universitas Terbuka (UT) Hanif Nurcholis. (Foto: Ist)

Jakarta, desapedia.id – Guru Besar Universitas Terbuka (UT) Hanif Nurcholis menuliskan surat terbuka yang ditujukan ke Ketua Komite I DPD RI dan Ketua Komisi II DPR RI.

Surat tersebut ditulis Hanif di akun facebooknya pada Kamis, 7 Oktober 2021. Dalam surat terbuka ini, Hanif memberikan saran dan kritik terkait revisi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berikut isi lengkap surat dari Hanif Nurcholis:

REVISI UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Yth. Ketua Komite I DPD dan Ketua Komisi II DPR

Berikut masukan saya untuk revisi UU Desa demi menyejahterakan rakyat desa melalui pemberian barang publik dan jasa publik dasar kepada rakyat desa.

Pengaturan desa dinas melalui UU No. 6/2014 pasal 1-95 adalah kesalahan fatal berdasarkan enam fakta: (1) bertentangan dengan pasal UUD NRI 1945 yang dijadikan payung; (2) meneruskan Desa zaman penjajahan di bawah UU Desa 1906 (IGO 1906); (3) menciptakan badan hukum sosial-politik model state corporatism; (4) menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan Kementerian Desa PDTT dan K/L lain, bukan bagian sistem pemerintahan daerah; (5) pemerintah desa tidak memberikan pelayanan dasar kepada rakyat desa; dan (6) pemerintah desa diselenggarakan di luar standar pemerintahan moden sehingga tidak efektif dan efisien.

Pertama, UU Desa menjadikan pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusionalnya padahal pasal ini norma pengaturan untuk kesatuan masyarakat hukum adat, bukan norma pengaturan desa dinas. Pasal 18B ayat (2) benar untuk pengaturan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam pasal 96-111 UU No. 6/2014 tapi salah fatal untuk pengaturan desa dinas karena desa dinas bukan kesatuan masyarakat hukum adat (indigeonous people).

Kedua, UU No. 6/2014 pasal 1-95 hanya copy paste UU Desa 1906 (IGO 1906) zaman penjajahan Belanda dengan polesan sana-sini. Desa dalam pengaturan UU Desa 1906 diletakkan di bawah kontrol onder district hoofd (asisten wedana/camat) dalam model pemerintahan tidak langsung (indirect bestuur). Statusnya bukan bagian dari pemerintahan pamong praja (binnenlands bestuur) dan pemerintahan daerah (locale bestuur) tapi hanya badan hukum komunitas di luar struktur pemerintahan resmi (niet rechtstreek bestuured gebied).

Ketiga, Desa menjadi varian korporatisme negara (state corporatism) yaitu badan hukum sosial politik buatan negara yang digunakan untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi penguasa. Model ini pertama kali dilakukan oleh penjajah Jepang dengan cara merubah inlandsche gemeente (desa) menjadi ku dilengkapi dengan sub korporatis tonarigumi (RT), aza (RW), fujingkai (PKK), heiho (Hansip), keibodan (Hanra), dan seinendan (Karangtaruna). Model inilah yang dipakai Orde Baru untuk menyukseskan tujuan politik dan ekonomi penguasa pada tingkat desa. Model ini diteruskan sampai sekarang.

Keempat, pemerintah desa bukan bagian sistem pemerintahan daerah tapi lebih sebagai korporatisme negara kepanjangan tangan Kementerian Desa PDTT dan K/L lain di pusat. Berdasarkan UU No. 23/2014 pemerintah daerah hanya terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota. Desa bukan pemerintah daerah, bukan wilayah administrasi, bukan instansi vertikal, dan juga bukan organisasi perangkat daerah.

Kelima, pemerintah desa tidak memberikan pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi). Pemerintah desa tidak memberikan perawatan kesehatan kepada rakyatnya yang sakit; tidak mengurus rakyatnya yang tidak sekolah; tidak menyediakan lembaga keuangan petani; tidak menyediakan bibit, pupuk, obat-obatan pertanian, alat produksi pertania; tdk mengurus irigasi tersier; dan tidak menyediakan air bersih. Pemerintah desa hanya melaksanakan program Kemendes, Kemensos, dan K/L lain di Jakarta.

Keenam, pemerintah desa diselenggarakan oleh perangkat desa yang bukan ASN dan struktur organisasinya tanpa organ pelaksana. Perangkat desa bukan ASN dan bukan tenaga kontrak dengan pemerintah kabupaten/kota, provinsi, pusat. Mereka direkrut dan dikembangkan di luar standar kualifikasi dan kompetensi ASN. Struktur organisasi pemerintah desa sangat sederhana hanya terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, staf pembantu sekretaris desa, dan pelaksana. Struktur ini mirip dengan Panitia HUT Kemerdekaan yang terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi, tanpa organisasi pelaksana. Dengan kualifikasi dan kompetensi perangkat desa di luar standar ASN dan struktur organisasi sangat sederhana pemerintah desa tidak mampu melaksanakan program pemerintah secara efektif dan efisien.

Untuk itu, demi menyejahterakan rakyat desa pemerintah desa perlu ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi pasal 18, 18A, dan 18B ayat (1). Masukkan ke dalam sistem pemerintahan daerah formal sebagaimana telah diatur dalam UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 19/1965. Ulah Orde Baru yang mengembalikan lagi desa ke masa UU Desa 1906 demi kepentingan politik dan ekonominya sudah saatnya dihentikan. Kembalikan ke jalan yang benar. Jadikan pemdes sbg instrumen negara yang memberikan barang publik dan jasa publik dasar kpd rakyat desa demi menyejahterakan rakyat desa. (Red)

Scroll To Top