Lewati ke konten

Waka Komite I DPD RI Ungkap 4 Distorsi Kewenangan Desa dalam UU Desa

Waka Komite I DPD RI Ungkap 4 Distorsi Kewenangan Desa dalam UU Desa - Desapedia

Waka Komite I DPD RI, Fernando Sinaga. (Foto: Ririn)

Jakarta, desapedia.id – Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas evaluasi pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan rekomendasi tindak lanjut penyempurnaan UU Desa.

RDPU yang digelar pada Selasa (16/3) ini menghadirkan Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Jogjakarta, Dr. Sutoro Eko dan pegiat desa yang kini memimpin Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (PUSTAKA), Dr. Yando Zakaria.

Dalam RDPU yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fernando Sinaga, politisi yang berasal dari daerah pemilihan Provinsi Kalimantan Utara ini menjelaskan, meskipun UU Desa telah memberi suatu kerangka regulatif bagi terlaksananya proses pembangunan desa secara mandiri mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi yang mana desa dijadikan sebagai subjek dalam keseluruhan prosesnya, namun UU Desa tidak mampu menjadi jawaban atas semua permasalahan dan tuntutan yang selama ini diperjuangkan bagi terwujudnya otonomi desa beserta segala hak-hak yang dahulu dimilikinya, khususnya dalam pembangunan desa.

Fernando mengatakan, dalam beberapa pasal yang ada dalam UU Desa, Komite I DPD RI memandang ada distorsi kewenangan desa yang hakekatnya sudah menjadi institusi yang bertanggungjawab dalam pembangunan desa.

Hal-hal yang dianggap kontradiktif dan menjadi kekurangan dalam UU Desa, lanjut Fernando, antara lain:

Pertama, pelimpahan kewenangan kepada pemerintah desa untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan namun dalam kenyataannya, pemerintah desa masih harus mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota dalam hal penetapan kebijakan pembangunan desa, ditambah lagi pemerintah desa dalam proses penyelenggaraan pembangunan disibukkan dengan urusan administratif yang merupakan pelimpahan urusan dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Kedua, tidak adanya klausul yang menyatakan pengakuan atas keragaman kapasitas desa yang ada, padahal kenyataannya desa-desa di Indonesia memiliki kapasitas yang berbeda dalam melaksanakan pembangunan desa, di satu sisi terdapat desa yang berstatus desa maju dan desa mandiri, namun di sisi lain mayoritas desa yang ada berstatus desa sangat tertinggal dan desa tertinggal.

Ketiga, masyarakat desa yang ditempatkan sebagai subjek pembangunan desa yang berhak turut serta dalam penyelenggaraan pembangunan, nyatanya tidak dilibatkan dalam keseluruhan proses pembangunan desa, terlebih lagi dalam proses evaluasi pembangunan masyarakat tidak dilibatkan untuk menilai hasil dari pembangunan desa yang telah dilaksanakan.

Keempat, penyelenggaraan pembangunan tingkat desa nyatanya lebih didominasi oleh kepala desa selaku pimpinan tertinggi di desa mulai dari tahap perencanaan sampai tahap evaluasi pembangunan, sedangkan pemangku kepentingan lainnya memiliki peran yang beragam, bahkan di beberapa fase pembangunan, keterlibatan pemangku kepentingan lainnya menjadi minim, hal ini tentu saja bertentangan dengan dasar dari penyelenggaraan pembangunan desa yang diatur dalam UU Desa yang diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif. (Red)

Scroll To Top