Lewati ke konten

RDPU dengan Panja Komisi VIII DPR RI, Direktur Eksekutif Amcolabora Institute Ungkap Tantangan Penanggulangan Bencana

Jakarta, desapedia.id – Komisi VIII DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas Rancangan Undang–Undang (RUU) Penanggulangan Bencana yang akan mengubah UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Kamis (17/9) lalu di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Dalam RDPU yang dipimpin oleh Wakil Ketua Panja, TB Ace Hasan Syadzily tersebut, Direktur Eksekutif Amcolabora Institute, Nukila Evanty menyatakan bahwa ada enam isu atau tantangan dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

Nukila menjelaskan, pertama, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah kurang berjalan baik. Kedua, wewenang dan kapasitas kelembagaan daerah dalam penanggulangan bencana kurang efektif.

Ketiga, program mitigasi bencana dengan pemangku kepentingan lainnya kurang bersinergi, terutama masyarakat sipil kurang dilibatkan. Keempat, minimnya standardisasi peringatan dini dan tanggap darurat bencana pemerintah pusat dan pemda. Kelima, kurangnya profesionalitas dalam penanggulangan bencana.

Keenam, belum dimanfaatkannya Iptek dan kurang dilibatkan kewirausahawan untuk bagian dari solusi.

Nukila menjelaskan solusi dalam penanggulangan bencana ialah dengan Formula 8, yakni keterkaitan kebijakan hulu-hilir; tata kelola kolaboratif; pengambilan keputusan yang cepat dan adaptif; sinergi pusat dan daerah; inklusivitas dan kesetaraan; literasi publik dan respons cepat tangguh bencana; diskursus sipil–militer dalam peningkatan kinerja penanggulangan bencana; dan paradigma yang disesuaikan dengan perkembangan isu global, misalnya perubahan iklim.

Nukila yang juga Tim Ahli Asistensi RUU Penanggulangan Bencana ini menekankan bahwa keterkaitan kebijakan hulu-hilir, antara lain perlunya penataan ruang berbasis risiko bencana, keterkaitan dan daya dukung desa-kota (smart and resilient), serta kebijakan terkait tren global penyakit  pandemi Covid–19.

Terkait tata kelola kolaboratif, Nukila menekankan pentingnya kolaborasi antarpemangku kepentingan (penta helix) dan tidak bisa sendiri-sendiri.

“Perlu advokasi peran strategis lembaga penelitian atau akademisi LSM, relawan dan media, kepemimpinan yang efektif dalam situasi krisis serta inovasi pembiayaan non-pemerintah,” ujarnya.

Sedangkan, sinergi antarpusat dan daerah adalah, Nukila melanjutkan, perlu ada strategi sharing pendanaan antara APBN dengan APBD.

“Soal literasi publik dan respon cepat tangguh bencana juga perlu diperkuat, antara lain melalui pembentukan desa tangguh bencana, manajemen krisis tingkat RT/RW, keluarga tangguh bencana, sekolah tangguh bencana, dan penguatan relawan”, ungkap Nukila menutup pemaparannya dihadapan Panja Komisi VIII DPR RI. (Red)

 

Scroll To Top