Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Prof Djo: Kalau Hasil Kajian UU Desa Perlu Direvisi, Mengapa Tidak?

Djohermansyah Djohan

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Foto/DOK)

Jakarta, desapedia.id – Dalam talkshow Kajian Desa bareng Iwan atau Kades Iwan yang disiarkan langsung oleh TV Desa pada Selasa (19/1) lalu, Guru Besar Insitut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan menjelaskan tentang asbabunnuzul atau latar belakang lahirnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini mengatakan, lahirnya UU Desa merupakan rekomendasi dari revisi UU nomor 32 tahun 204 tentang Pemerintahan Daerah. Ketika itu, lanjutnya, revisi UU nomor 32 tahun 2004 dipecah 3 melahirkan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; UU nomor 22 tahun 2014 yang terdiri dari UU nomor 1 tahun 2015, UU nomor 8 tahun 2015 juncto UU nomor 10 tahun 2016; dan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Prof Djo, sapaan akrabnya, menjelaskan ada beberapa masalah yang berkembang saat itu yang menjadi latar belakang lahirnya UU Desa. Pertama, terkait aspek kewilayahan, pemekaran desa yang terus berkembang, masalah batas desa berujung konflik antar wilayah dan ketimpangan sumberdaya antar wilayah desa.

Pada aspek kemasyarakatan, ketika itu disoroti masalah kemiskinan dan dampak globalisasi menggerus nilai-nilai luhur yang ada. Sedangkan dari aspek pemerintahan, terkait dengan tidak jelasnya penyerahan urusan dari pemerintah tingkat atasnya kepada desa, regulasi pengelolaan sumber-sumber pendapatan desa, struktur kelembagaan yang tidak representatif, tuntutan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun, tuntutan perangkat desa untuk diangkat menjadi PNS, serta kecenderungan rivalitas antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan kepala desa.

Kedua, Prof. Djo melanjutkan, adanya RUU Desa ketika itu sesungguhnya menegaskan kembali eksistensi desa dengan memperkuat penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa, dengan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat luas.

Ketiga, ini yang sangat penting, Prof Djo mengatakan bahwa Kedudukan desa adalah sebagai Self Local Community, artinya semua pelaksanaan tugas pelayanan berbasiskan masyarakat.

“Setting desa waktu itu adalah sebagai self local community, desa itu semua pelayanan publiknya berbasis masyarakat, pemerintahan oleh komunitas atau masyarakat. Smbil dijaga hak asal usulnya, tradisinya, budaya dan adatnya. Maka nya ketika itu namanya UU tentang Desa, bukan UU tentang Pemerintahan Desa”, tegas Prof Djo.

Keempat, desa dikembangkan dan dijaga hak asal usulnya, tradisi dan sosial budaya masyarakat seperti tanah kas desa, pasar desa, irigasi desa (subak) dan budaya lokal lainnya.

Sedangkan kelima, Prof Djo mengatakan UU Desa dapat membangkitkan kembali urusan-urusan lokal seperti jagabaya, ulu-ulu, modin, amir serta banyak lagi urusan lokal yang menjadi karakteristik desa selama ini.

Ketika ditanyakan soal perlu atau tidaknya UU Desa direvisi, Prof. Djo mengatakan tergantung pada 3 faktor.

Faktor pertama adalah apakah telah terjadi perubahan konstitusi yang yang mengatur terkait soal desa.

“Di konstitusi yang ada sekarang tidak tersebut–sebut soal desa, jadi bukan di perubahan konstitusi, karena dasar UU Desa adalah UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda”, ujarnya.

Faktor kedua, lanjutnya, perkembangan situasi pemerintahan dan politik serta dinamika di masyarakat. Menurut Prof Djo telah terjadi perkembangan dalam pemerintahan kita, yaitu contohnya sekarang ini ada dua kementerian yang menangani desa, ini yang dimaksud oleh Prof. Djo soal telah terjadi perkembangan situasi di politik dan pemerintahan.

“Sehingga perlu dilhat kembali pengaturan desa kedepannya”, ungkapnya.

Faktor ketiga adalah terkait dengan implementasi UU Desa selama ini. Menurut Prof Djo, kalau dalam implementasi UU Desa telah banyak permasalahan, bisa saja direvisi namun masalah implementasi itu terkait dengan faktor formulasi kebijakan.

“Artinya ketika dibuat kebijakannya itu tidak jelas tidak rinci, tidak utuh, tidak menyeluruh, tidak mengatur secara komplet. Kemudian apakah ada implementasi yang tidak memuaskan dan telah menjadikan berbagai macam distoris dan penyimpangan. Kalau ini yang terjadi, maka UU Desa bisa direvisi. Karena itu harus dilakukan evaluasi secara scientifik. Kalau hasil kajian UU Desa perlu direvisi, mengapa tidak”, tegasnya. (Red)

 

 

 

 

 

Scroll To Top