Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Ini 9 Butir Catatan FITRA Terhadap Implementasi UU Desa, Poin 2 Soroti Keengganan Bupati Terbitkan Perbup tentang Daftar Kewenangan Desa  

Kontradiksi Dana Desa

Ilustrasi (Dok)

Jakarta, desapedia.id – Dalam rilisnya yang diterima oleh desapedia.id, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan menjelaskan mengenai sembilan Butir Catatan FITRA Terhadap Implementasi UU Desa.

Sejumlah Community Organizer (CO) dari 33 desa berkumpul di Yogyakarta, pada 16-18 Desember 2019. Penggalian masalah, capaian, dan solusi atas kerja-kerja CO di desa dan daerah menjadi inti pembahasan pertemuan evaluasi pendampingan desa selama satu tahun ke belakang.

Daerah yang termasuk lokasi piloting penguatan desa Seknas FITRA, antara lain: Kabupaten Bima dan Lombok Utara, Provinsi NTB; Kabupaten Pangkep dan Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Pemalang, Brebes, dan Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah; Kabupaten Trenggalek, Lumajang, Bondowoso, Provinsi Jawa Timur; dan Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.

Selain wujud capaian kegiatan dalam bentuk cerita perubahan, forum diskusi ini juga menghasilkan refleksi lima tahun implementasi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Meski Pemerintah telah menggelontorkan anggaran Dana Desa dari APBN mencapai Rp. 257,7 Triliun sepanjang tahun 2015-2019, Namun perjalannya hingga hari ini dinilai masih menyisihkan masalah. Beberapa masalah itu, di antaranya:

  1. Transparansi Anggaran Desa Belum Berkualitas. Website Desa & Baliho APBDesa kurang informatif dan belum dijadikan sebagai bahan perencanaan dan penganggaran desa serta media kontrol warga atas implementasi anggaran desa.
  2. Keengganan Kabupaten/Kota menerbitkan Perbup/Perwali tentang ‘Daftar Kewenangan Desa’. Dari 74.957 Desa, baru sekitar 20 persen yang sudah menerbitkan Perbup Daftar Kewenangan Desa tersebut.
  3. Sempitnya Diskresi Fiskal dan Inovasi Desa. Perbup/Perwali tentang Penggunaan Anggaran Desa (DD dan ADD) banyak yang sudah diplot oleh Pemda dan banyaknya titipan program tanpa anggaran dari Pemda.
  4. Disharmoni Regulasi Pengelolaan Keuangan Desa, misalnya, Permendesa 16/2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2019 tidak sinkron dengan Permendagri No. 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa terkait nomenklatur Bidang, Sub Bidang, dan Kegiatan, sehingga berpotensi dianggap penyimpangan saat audit.
  5. Rumitnya Penyusunan Laporan Penggunaan Anggaran Desa, baik yang bersumber dari transfer pusat maupun daerah (Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah, dll).
  6. Banyaknya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mangkrak tapi tetap mendapatkan penyertaan modal dari APBDesa. Terdapat 1.670 dari 2.188 BUMDes yang tidak berjalan, tapi tetap mendapat kucuran anggaran dari APBDesa.
  7. Lemahnya Akuntabilitas Sosial di Desa. Kebijakan di tingkat desa dikuasai oleh segelintir orang yang merupakan elit di tingkat desa. Biasanya adalah orang-orang dekat kepala desa atau BPD yang pro terhadap kepala desa. Sementara posisi warga desa sangat lemah, pasif, dan tidak ada keberanian melakukan kontrol terhadap pembangunan yang ada di desa.
  8. Tingginya Korupsi Anggaran Desa. Permasalahan muncul berawal dari pemilihan kepala desa yang masih menggunakan politik uang, sehingga Kepala Desa punya orientasi mengembalikan modal politiknya. Selain itu, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh warga desa, BPD, inspektorat, dan Aparat Penegak Hukum (APH). Hingga 2018, ada 1.371 pelaporan kasus dana desa, di mana ada 252 Kasus Korupsi DD sudah diputus, dan melibatkan 214 Tersangka Kepala Desa. Sumber: Satgas DD, ICW, dan Kejaksaan RI.
  9. Lemahnya fungsi BPD. Badan Permusyawarahan Desa mempunyai tiga fungsi, yakni menyusun Peraturan Desa bersama Kepala Desa, melakukan serap aspirasi dan pengaduan, dan kontrol terhadap kinerja Kepala Desa. Fungsi BPD di banyak desa tumpul karena tidak pernah diberi penguatan kapasitas. Bahkan perannya cenderung ‘dilangkahi’ oleh Aparat Penegak Hukum dalam melakukan pengawasan pelaksanaan APBDesa.

Untuk itu, lanjut Misbah, Seknas FITRA merekomendasikan, antara lain:

  1. Mendorong transparansi desa lebih substantif, dengan mempublikasikan APBDesa lebih detail dan juga realisasi APBDesa;
  2. Mendorong Kementerian Desa/Pemerintah Provinsi mendesak Kabupaten/Kota menerbitkan Perbup/Perwali Daftar Kewenangan Desa;
  3. Memperluas Ruang Fiskal Desa dan mengurangi intervensi program dari Supra Desa;
  4. Harmonisasi regulasi antar kementerian yang mengurusi desa;
  5. Penyederhanaan Laporan Penggunaan Anggaran Desa, kalau bisa Desa hanya membuat satu laporan saja, yakni penggunaan APBDesa, meski anggarannya bersumber dari Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah, Bantuan Keuangan Prov/Kab/Kota, dll.
  6. Melakukan pendampingan yang intensif kepada BUMDes yang potensial serta menutup dan memberi punishment BUMDes-BUMDes abal-abal;
  7. Memperkuat peran BPD dan kelompok masyarakat dalam pencegahan korupsi anggaran desa melalui supervisi dari Inspektorat;
  8. Penindakan kasus-kasus korupsi Anggaran Desa oleh Aparat Penegak Hukum (APH);
  9. Mengembangkan akuntabilitas sosial di tingkat desa melalui Posko Pengaduan Warga yang dikelola BPD. (Red)

 

Scroll To Top