Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Korupsi Dana Desa oleh Kades Semakin Masif

Korupsi Dana Desa oleh Kades Semakin Masif - Desapedia

Ilustrasi (Ist)

Jakarta, desapedia.id – Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 telah mengamanatkan Dana Desa dianggarkan sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana yang cukup besar itu, sebagaimana juga telah diamanatkan dalam UU Desa, digunakan sepenuhnya untuk mendukung tercapainya politik kedaulatan desa dalam bentuk kewenangan lokal berskala desa dan kewenangan hak asal-usul.

Sayangnya, pemahaman dan cara berpikir kepala desa dan perangkatnya tentang Dana Desa masih saja salah. Sejauh ini mereka masih menganggap Dana Desa semata-mata adalah bonus terpenting dari UU Desa.

Sehingga, yang terjadi adalah korupsi Dana Desa yang dilakukan oleh kepala desa dan perangkat pemerintahannya semakin masif.

Dalam kasus korupsi Dana Desa yang paling mutakhir, adalah ketika Satreskrim Polres Tuban menangkap Kepala Desa Glondonggede, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, karena diduga terlibat korupsi dana kas desa tahun anggaran 2016 lalu. Kades tersebut ditangkap setelah polisi menerima laporan dari warga.

Wakapolres Tuban Kompol Teguh Priyowasono memaparkan, dari hasil penyelidikan polisi, pelaku bernama Kastur (34), terbukti menggelapkan dana yang dialokasikan untuk pembangunan kantor desa sebesar Rp157,257 juta.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, perangkat desa menjadi aktor baru pelaku korupsi yang mendominasi pada tahun 2018. Bahkan, perangkat desa yang diantaranya kepala desa, sekretaris desa dan lainnya, menempati urutan ketiga pelaku korupsi terbanyak setelah pihak swasta (kedua), dan pegawai pemerintah daerah (pertama).

“Peringkat ketiga diduduki oleh aktor baru yaitu perangkat desa dengan jumlah 158 terdakwa atau 13,61 persen,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Menurut Kurnia, hal Ini merupakan konsekuensi dari penerapan UU Desa (UU No. 6 Tahun 2014) yang memberikan keleluasaan kepada desa untuk mengelola keuangannya melalui program Dana Desa.

“Dapat terjadi, banyaknya perangkat desa yang terlibat dalam korupsi program Dana Desa adalah karena program tersebut tidak dibarengi pengembangan kapasitas perencanaan anggaran, penggunaan anggaran, dan pelaporan penggunaan anggaran yang berasal dari Dana Desa, bagi para perangkat desa,” tuturnya.

Menurut ICW analisa ini perlu ditelusuri lebih jauh. Munculnya tren perangkat desa yang melakukan korupsi tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pelaksanaan program Dana Desa itu sendiri. Artinya ada sistem yang belum mumpuni yang mengakibatkan para perangkat desa berbondong-bondong melakukan korupsi.

Kades jadi Aktor Utama

ICW juga pernah mengungkapkan bahwa aktor utama yang terjerat dalam kasus penyalahgunaan Dana Desa adalah para kepala desa.

Dari hasil pantauan ICW per Agustus 2017, kades yang menjadi aktor utama penyalahgunaan Dana Desa mencapai 112 orang. Jumlahnya meningkat sejak tahun 2015 yang terjerat ada sebanyak 15 orang, meningkat tahun 2016 menjadi 32 orang, dan 2017 meningkat lagi menjadi 65 orang.

“Pelakunya tidak seluruhnya kades, ada 32 orang perangkat desa dan 3 orang keluarga dari kades itu sendiri,” ujar Egi Primayogha, Divisi Riset ICW.

Ia mengatakan, kasus korupsi di desa memang tidak fokus pada anggaran saja. Pihaknya juga melihat objek-objek non anggaran dan hal tersebut sangat memprihatinkan karena secara jumlah meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan pemantauan ICW, sejak 2015 hingga 2017, peningkatannya selalu dua kali lipat. Pada tahun 2015 terdapat 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016 dan 96 kasus pada 2017 sehingga total sepanjang tiga tahun itu ada 154 kasus.

“Kami menemukan objek anggaran desa yang dikorupsi mencapai 85 persen atau 127 kasus. Sisanya non-anggaran desa 27 kasus atau 18 persen dari jumlah kasus. Misalnya kasus pungutan liar aparat desa. Kalau objek kasus anggaran desa mencakup korupsi Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Desa, kas desa, dan lainnya,” jelasnya.

Kerugian negara atas korupsi Dana Desa pun cukup besar. Tahun 2015 kerugian negara mencapai Rp 9,12 miliar, tahun 2016 mencapai Rp 8,33 miliar, sedangkan tahun 2017 mencapai lonjakan cukup besar yakni Rp 30,11 miliar sehingga total menjadi Rp 47,56 miliar. Jumlah tersebut, katanya, setara dengan alokasi Dana Desa di APBN untuk 77 desa.

“Modusnya macam-macam. Kami menemukan paling banyak praktik penyalahgunaan anggaran sebanyak 51 kasus, penggelapan 32 kasus, laporan fiktif 17 kasus, proyek fiktif 15 kasus, dan penggelembungan anggaran 14 kasus,” katanya.

Faktor penyebab korupsi di sektor desa juga banyak, di antaranya karena minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran desa, tidak optimalnya Badan Permusyawaratan Desa, terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa, serta tingginya biaya politik pemilihan kepala desa.

Aplikasi Siskeudes

Sebenarnya, pemerintah sudah menerapkan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) sejak akhir 2015 lalu. Aplikasi yang dikembangkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Dalam Negeri ini diharapkan dapat membuat tata kelola keuangan desa lebih efektif, efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

BPKP mencatat, jumlah desa yang menggunakan aplikasi Siskeudes versi 2.0 hingga 22 Maret 2019 baru mencapai 37.086 desa, atau 49,48 persen dari total desa yang mencapai 74.957.

Meski begitu, untuk aplikasi Siskeudes versi 1.0, sampai dengan 31 Desember 2018, telah digunakan di 70.094 desa, atau 93,51 persen dari 74.957 jumlah total desa.

Menurut Direktur Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah III, BPKP, Iskandar Novianto, ada beberapa kendala yang dihadapi BPKP dalam pelaksanaan Siskeudes.

Pertama, tidak sinkronnya regulasi antara Permendagri 20 Tahun 2018 dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, sehingga mempersulit desa dalam mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). “Terjadi perbedaan klasifikasi bidang untuk kegiatan yang sama antara di Permendes PDTT dengan Permendagri,” ujarnya.

Kedua, kemampuan perangkat desa yang tersebar di seluruh indonesia,  terutama wilayah terluar atau pedalaman.

Ketiga, penyesuaian atau adaptasi atas dampak perubahan regulasi keuangan desa oleh pemerintah desa.

Terakhir, belum optimalnya fungsi pembinaan dari pemerintah kabupaten/kota juga kecamatan terhadap pemerintah desa. Misalnya, peningkatan kapasitas pemerintah desa khususnya dalam penerapan aplikasi Siskeudes. (Diolah dari berbagai sumber)

Scroll To Top