Lewati ke konten

Ini Faktor Pendukung dan Penghambat Berkembangnya BUMDes

BUMDes

Ilustrasi BUMDes. (Ist)

Faktor-Faktor Penghambat Tumbuh Berkembangnya BUMDes

1. Kerancuan Posisi BUMDes sebagai Institusi Sosial dan Komersial

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 memberikan keleluasaan jenis usaha yang akan dikelola BUMDes.

Dalam melaksanakan fungsinya, BUMDes tidak hanya sebagai institusi komersial semata, tetapi juga juga sebagai institusi sosial yang tujuan akhirnya dapat berkontribusi dalam menyejahterakan masyarakat.

Hanya saja kedua fungsi ini tidak banyak dibahas dalam peraturan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri.

Pemahaman terhadap terhadap BUMDes yang harus menghasilkan profit akan mengerahkan pada pilihan jenis usaha yang dapat menghasilkan keuntungan semata.

Hal ini akan menjadi trade off bagi keterlibatan dan partisipasi warga dalam pengelolaan dan manfaat dari usaha yang dipilih BUMDes.

Pemerintah perlu untuk memperjelas fungsi BUMDes sebagai institusi sosial dan institusi komersial.

Kejelasan aturan terkait dua fungsi tersebut akan menguatkan BUMDes, terutama dalam melakukan kerja sama usaha dengan pihak lain.

Selain itu, kejelasan tersebut akan dapat menghilangkan kebingungan bagi pengelola BUMDes.

2. Rendahnya Inisiatif Internal Masyarakat dalam Menggerakkan Ekonomi

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengkonstruksikan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self-governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government).

Desa juga tidak identik dengan Pemerintah Desa dan kepala Desa, namun meliputi pemerintahan lokal dan sekaligus mengandung masyarakat, yang keseluruhannya membentuk kesatuan hukum.

Konstruksi ini juga membawa perbedaan antara aspek kajian BUMDes dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang merupakan badan usaha yang berperan sebagai alat intervensi pemerintah pada tataran perekonomian nasional atau daerah.

Inisiatif dalam membentuk usaha desa juga seharusnya hadir bersamaan di internal desa (pemerintah desa dan masyarakat) dalam musyawarah desa sehingga kehadirannya bisa menggali potensi dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh desa.

Dalam studi ditemukan insiatif pembentukan lebih banyak muncul dari pihak luar desa. Walaupun ada juga inisiatif yang hadir dari internal desa (pemerintah desa dan masyarakat), namun masih minim.

Menjadi penting dalam pembentukan BUMDes harus memahami potensi dan kondisi desa yang kemudian atas inisiatif bersama (perangkat desa dan masyarakat) membentuk BUMDes.

Penyelenggaraan musyawarah desa dalam pembentukan BUMDes tidak sebatas memenuhi administratif semata, namun perlu dilihat faktor-faktor produksi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Terlampauinya target pembentukan BUMDes harus dibarengi dengan kualitas serta optimalnya usaha yang dijalani.

3. Kebijakan yang Belum Mengarahkan Profesionalisme BUMDes

Masih banyak struktur pengelolaan BUMDes belum seluruhnya menyesuaikan dengan Permendes Nomor 4 Tahun 2015 tentang BUMDes.

Hasil itu dapat dilihat dengan masih ada pengelola operasional BUMDes yang dijabat oleh aparatur Pemerintahan Desa.

Selain itu, tidak diperjelasnya unsur pengawas BUMDes dalam Permendesa, terlebih dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Kondisi ini membuat “semu” proses pertanggungjawaban BUMDes.

Pasal 31 Permendes tersebut menyatakan bahwa salah satu tugas anggota BPD adalah menjadi pengawas BUMDes yang merupakan bagian/organ dari BUMDes, maka dapat dikatakan anggota BPD itu melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri, meskipun proses pertanggungjawabannya melalui pemerintah desa.

Kejelasan pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi potensi moral hazard (penyelewengan/penyalahgunaan) oleh pelaksana BUMDes.

Kejelasan ini akan mewujudkan pengelolaan BUMDes yang demokratis dan sesuai dengan prinsip kegotongroyongan.

Oleh karena itu, sepatutnya direksi BUMDes memperhatikan dan menerapkan standar manajemen yang professional dan menjunjung tinggi prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Dari poin-poin di atas, dipandang perlu adanya sinkronisasi kebijakan dalam pengaturan organ BUMDes, sehingga akan memperkokoh pengelolaan BUMDes secara umum.

Pada gilirannya hal ini akan berdampak pada profesionalisme kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

4. Pemahaman Perangkat Desa Mengenai BUMDes Masih Kurang

Pemahaman perangkat desa terutama kepala desa mengenai BUMDes masih kurang.

Ini terjadi karena kepala desa selama ini hanya mengenal tugas sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yang lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan penanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas.

Akibatnya, butuh usaha keras untuk memahami BUMDes yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan.

Lemahnya pemahaman mengenai BUMDes itulah yang membuat wacana BUMDes tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa.

Bagaimana bisa bersosialisasi kalau pemahamannya sendiri masih sangat kurang memadai.

Akibatnya, isu BUMDes hanya berhembus pada kalangan elit desa saja atau hanya pada lingkaran perangkat desa.

5. Kepemimpinan dan Manajerial Pemerintah Desa dan Direksi BUMDes

Pemerintah Desa merupakan organ yang bertugas melakukan pengawasan secara umum sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasehat kepada direksi dan kepala unit usaha dalam melaksanakan pengelolaan BUMDes dan memberikan saran atau pendapat mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BUMDes.

Dalam melaksanakan kewajibannya, Pemerintah Desa mempunyai kewenangan untuk meminta penjelasan dari pengurus mengenai segala persoalan yang menyangkut pengelolaan BUMDes dan melindungi BUMDes terhadap hal-hal yang dapat merusak keberlangsungan dan citra BUMDes.

BUMDes merupakan salah satu program Pemerintah Desa dalam melakukan pemberdayaan masyarakat desa, oleh karena itu Pemerintah Desa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan terhadap BUMDes dalam pengembangan ekonomi lokal atau pemberdayaan masyarakat.

Namun, jika suatu BUMDes tidak mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Desa untuk mengembangkan usahanya, maka akan sangat sulit bagi BUMDes tersebut untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.

Begitu juga dengan kemampuan para direksi BUMDes.

Tak mudah bagi desa mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Akibatnya, BUMDes tidak melaju cepat dan hanya jalan di tempat.

6. Konsep Pembangunan Desa yang Keliru

Konsep pembangunan desa yang selama ini dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan sturktur dari atas.

Selain itu pembangunan fisik lebih gampan terlihat sebagai ‘prestasi’ karena ada bentuk fisik yang terlihat.

Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program yang tidak hasilnya tida terlihat secara fisik.

Lemahnya pembangunan SDM inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirusahaan desa tidak berkembang.  (Red)

Sumber: Laporan Kajian Pusat Perancangan dan Kajian Hukum (Pusperjakum) DPD RI

Scroll To Top