Lewati ke konten

Cerita Pegiat Perhutanan Sosial Soal Antusias Warga Siak   

Cerita Pegiat Perhutanan Sosial Soal Antusias Warga Siak    - Desapedia

Pegiat Perhutanan Sosial yang juga Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan BPN ALMISBAT, Ch. Ambong (ketiga dari kiri)

Jakarta, desapedia.id – Pegiat Perhutanan Sosial yang juga Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Badan Pengurus Nasional Aliansi Masyarakat untuk Indonesia Hebat (BPN ALMISBAT), Ch. Ambong menceritakan kisahnya soal pendampingan yang dilakukannya pada awal bulan Oktober ini di Kabupaten Siak terkait antusias warga dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Kepada desapedia.id Ambong menceritakan bahwa Siak merupakan salah satu kabupaten kaya dari 10 kabupaten di Provinsi Riau. Di Kabupaten ini masih berdiri kokoh bangunan istana peninggalan kerajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang kala itu di pimpin seorang Sultan muda berwibawa dan menyanyangi rakyatnya serta menyatakan bergabung dengan Indonesia di awal kemerdekaan. Sultan hebat itu bernama Sultan Syarif Kasim II.

Hebatnya lagi, Ambong melanjutkan, Sultan Siak ketika itu juga menyerahkan bantuan sebesar 13 juta gulden kepada pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan berikut wilayah kerajaan beserta seluruh harta  kekayaan kerajaan baik kekayaan alam maupun ladang-ladang minyak. Di perkirakan Rp 1.000 triliun seluruh harta yang di sumbangkan oleh kesultanan Siak Sri Indrapura.

Masih seperti pada masa lalu, saat ini mayoritas penduduk Siak adalah suku Melayu dan beraktivitas sebagai petani, pekebun dan nelayan.

Di bawah pemerintahan Jokowi masyarakat Siak mendapatkan hak atas kelola lahan seluas 4.000 hektare melalui kebijakan redistribusi aset Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) eks HGU PT Mahakarya Eka Guna (MEG) pada tahun 2018 lalu.

Baik redistribusi aset melalui TORA dan Perhutanan Sosial keduanya merupakan program prioritas nasional di awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang kemudian diteruskan di periode kedua Jokowi-Maruf Amin.

Ambong menilai, Program TORA dan Perhutanan Sosial bukan sekedar membagi-bagikan sertifikat tanah atau akses kelola lahan kehutanan kepada masyarakat sekitar hutan.

Namun program ini sejatinya dimaksudkan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat desa pinggir hutan dengan tetap mengelola sumber daya hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan.

“Meski masih terdapat kekurangan di sana-sini terutama paska pemberian akses legalitas kepada penerima manfaat program (beneficiaries) terkait kedua program prioritas tersebut, termasuk soal jumlah capaian luas lahan yang belum optimal, namun kebijakan tersebut menandakan bahwwa negara hadir. Substansi yang terkandung dalam kebijakan cukup jelas, yakni pemberian akses kelola lahan dan sertifikat tanah bagi masyarakat”, tegasnya.

Oleh karena itu, lanjut Ambong, TORA yang dikawal oleh Kementerian ATR/BPN dan Perhutanan Sosial oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu disambut secara positif dari para pihak baik kementerian/lembaga, BUMN, perbankan maupun BUMS agar lahan yang sudah diberikan kepada masyarakat selaku penerima manfaat bisa dioptimalkan untuk usaha-usaha ekonomi rakyat baik di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan maupun pengembangan pariwisata yang tersedia melalui berbagai model/skema pengembangan.

Sehubungan dengan itu, Ambong mengatakan, Kementerian Pertanian melalui program ketahanan pangan dan food estate memerlukan lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang terkonsolidasi secara luas. Karenanya, keberadaan lahan Perhutanan Sosial serta TORA sangat relevan dengan kebijakan Kementerian Pertanian.

Ambong menjelaskan, Lahan TORA yang berlokasi di Kecamatan Mempura Desa Koto Ringin dan Kecamatan Pusako Desa Sungai Limau serta Desa Barbari luasnya adalah 2.038 ha.

TORA di Kabupaten Siak telah diserahkan oleh Presiden Jokowi dengan luas lahan 4.000 ha. Lahan tersebut merupakan lahan eks PT MEG pada tahun 2018. Meski hingga saat ini belum terlihat ada upaya pemanfaatan lahan oleh penerima manfaat TORA secara maksimal, namun sejumlah kelompok tani di lokasi sudah memulai untuk kegiatan usaha ekonomi baik pertanian maupun perkebunan hasil hutan bukan kayu.

Lahan tersebut juga sangat potensial dijadikan sentra produksi pangan dan hasil-hasil hutan bukan kayu seperti  nenas, aren, padi gogo, pinang, dan madu hutan. Bahkan Dinas Pertanian Kabupaten Siak saat ini sedang mengembangkan  satu varietas baru nenas bernama ‘Mahkota Siak’ dan tinggal menunggu izin edar dari pihak terkait dan ini adalah peluang.  Adapun nenas Mahkota Siak saat ini sedang ditanam di lahan percontohan seluas 2000 hektar (APL) di luar areal lahan TORA oleh Dinas Pertanian Siak.

Saat berkunjung ke lokasi TORA Desa Barbari, Pusako, pada awal Oktober, Ambong didampingi oleh  Sekretaris Dinas Pertanian Siak Arisman, Kabid PSP Dinas Pertanian Siak Sukarimi, Kabag Atwil dan Fasilitasi Pertanahan Pemkab Siak Aditya Riesman.

Dalam kunjungan itu tampak bahwa berbagai potensi usaha pertanian maupun perkebunan bisa dikembangkan dilahan tersebut. Semisal budidaya ternak madu hutan yang dilakukan Pak Ibnu selaku penerima lahan TORA. Madu hutan yang dia usahakan bersama 30  orang anggota kelompok taninya sudah membuahkan hasil. Dari hasil usahanya itu, pendapatan bersih Pak Ibnu dari penjualan produk madu berkisar 9-12 Juta per bulan.

Penting untuk dicatat bahwa budi daya madu tersebut hanya merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan oleh kelompok masyarakat hutan Desa Barbari, terutama di lahan di lahan TORA tersebut.

“Tentunya, semua itu perlu dukungan dan sentuhan para pihak baik dari kementerian/lembaga terkait, Pemprov, BUMN, serta sektor swasta”, ujarnya.

Melalui upaya tersebut, Ambong berharap program membangun Indonesia dari pinggir dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat berbasis peningkatan produksi komoditi lokal untuk bersaing dengan negara-negara Asia lainnya, sangat berpeluang untuk diwujudkan. (Red)

Scroll To Top