Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Wawancara Eksklusif – Maria Goreti: DPD RI yang Paling Cocok dengan Visi dan Misi Saya dalam Berpolitik

Anggota DPD RI Maria Goreti

Anggota DPD RI, Maria Goreti, S.Sos., M.Si (FOTO/Dok)

Seperti Ibu ketahui, baru-baru ini masyarakat Dayak melakukan semacam deklarasi memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Tengah. Bagaimana pandangan Ibu dengan itu?

Iya. Dukungan itu merupakan salah satu dari sebelas butir dari naskah yang kemudian dinamakan Protokol Tumbang Anoi 2019.

Latar belakang lahirnya naskah tersebut adalah upaya penguatan entitas Dayak baik dari segi sosial, budaya, dan politik.

Konteksnya ditempatkan pada momentum memperingati 125 tahun kesepakatan Tumbang Anoi serta menyambut rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah.

Saya sendiri sebenarnya diundang untuk menjadi salah satu panelis pada seminarnya, tetapi ternyata tempat acara secara mendadak dipindahkan dari Kuala Kurun ke Tumbang Anoi.

Saya sudah membeli tiket pesawat dan sudah mengatur jadwal untuk bisa tiba di tempat tepat pada saat jadwal saya menjadi pembicara.

Tetapi karena pemindahan tempat yang mendadak itu, akhirnya saya tidak jadi pergi.

Seandainya pun saya memaksakan diri pergi, saya pasti tidak bisa mencapai tempat itu tepat waktu, mengingat jarak tempuh Tumbang Anoi dari Palangkaraya sekitar tujuh jam.

Sebenarnya apa yang ingin Ibu sampaikan pada forum itu?

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kesepakatan Tumbang Anoi 125 tahun lalu menjadi titik refleksi eksistensi ke-Dayak-an kita di muka bumi saat ini.

Ada transformasi budaya terjadi saat itu, yaitu dari budaya barbarian yang biasa ngayau (memenggal kepala sesama manusia, red.) menjadi bangsa yang beradab, yang hidup berdasarkan hukum dan menjunjung tinggi semangat egalitarian.

Pada momen saat itu, suku Dayak yang terdiri dari ratusan sub-suku itu mampu duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Tidak ada dominasi sub-suku yang satu kepada sub-suku yang lain. Kemudian mereka bersepakat untuk memberlakukan hukum bersama tanpa pandang bulu.

Jadi, sesungguhnya, suku Dayak adalah suku yang taat hukum, menjunjung persatuan dan kesatuan, dan dapat hidup berdampingan dengan harmonis di tengah perbedaan.

Ada keprihatinan tersendiri dari pribadi saya.

Kadang ada orang-orang yang tega memanfaatkan ke-Dayak-an yang dimiliki untuk memobilisasi masyarakat Dayak demi kepentingan politik maupun ekonomi segelintir orang.

Tampaknya ada kesengajaan melakukan pembodohan kepada masyarkat Dayak, yang bisa jadi pelakunya adalah orang Dayak juga, dengan tujuan agar mudah dimobilisasi.

Jika kita memang tulus untuk memperjuangkan Dayak, maka mari kita berjuang untuk mencerdaskan masyarakat kita itu agar mampu bersaing di tengah persaingan lokal, nasional, maupun global.

Melestarikan budaya itu penting. Membela hak-hak masyarakat adat itu juga penting.

Tetapi ada juga hal penting yang tidak boleh dilupakan, yaitu mencerdaskan masyarakat, meningkatkan daya saing mereka dengan pendidikan dan keterampilan yang mumpuni.

Kita ini kan tidak ingin jadi barang antik, yang datang dari masa lalu, yang harus dijaga sedemikian rupa agar tidak berubah sama sekali demi mempertahankan nilai keantikannya.

Poin yang ingin saya tekankan di sini adalah, melestarikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal memang tetap harus kita pertahankan, tetapi kita jangan terjerumus ke dalam eksklusivisme.

Dalam konteks ini, semakin kita tertutup, kita akan semakin terbelakang. Maka, mempertahankan eksistensi Dayak juga harus ditempatkan dalam konteks kebangsaan, bahkan lebih luas lagi juga kita sebagai bagian dari warga dunia. (Red)

Scroll To Top