Lewati ke konten

Tujuh Etape Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa: Menjelajahi Badan Hukum BUMDesa

Michael Agustin

Founder & Managing Partner MANP Lawyers Litigation and Corporate

Tujuh Etape Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa

Michael Agustin (FOTO/Dok)

Ada 2 (dua) frasa pada judul buku ini. Buku Ponggok Inspirasi Desa dan Menjelajahi Badan Hukum BUM Desa.

Dua frasa itu membuat pembaca untuk mencari apa makna dan keterkaitan antar kedua frasa. Saya menangkap kesan awal bahwa dua frasa itu lekat dengan target penulisnya. Karya Anom Surya Putra ini merupakan upaya keras untuk menyusun salah satu maha karya.

Upaya keras itu melekat pada sosok penulisnya sebagai insan terpelajar yang selalu haus mencari setetes embun pengetahuan. Pengembara yang selalu menyusuri laku kehidupan intelektualitasnya.

Sebelumnya Anom Surya Putra menumpahkan kegelisahan alam pikirnya kedalam berbagai macam tulisan yang awesome.

Antara lain Agamaku Terbang Tinggi (Skripsi yang diolah dan diterbitkan INSPIRASI, 2001), Teori Hukum Kritis (antologi, diterbitkan Citra Aditya Bakti, 2003), Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Ideologi (antologi, diterbitkan Nuansa Cendekia, 2003).

Buku yang pertama dipengaruhi perjumpaan penulisnya dengan Gus Dur pada kasus pasangan Khonghucu yang ditolak keabsahan perkawinannya. Penulisnya membela dengan studi hermeneutik hukum.

Buku kedua dilatarbelakangi perkenalannya dengan pemikiran Roberto Unger tapi tidak tuntas dan berbelok pada teori hukum Gijssels, Mark van Hoecke, Bruggink dan pemikir strukturalis Foucault. Dr. MAS Hikam (waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi) dan Dr. Edy Suhardono (Psikolog Sosial) tampak menjadi “guru bayangannya”.

Buku ketiga bergaya narasi, berliuk-liuk, khas gaya strukturalis tapi dibungkus secara kritis melalui pengantar oleh Dr. Kusnanto Anggoro. Sosok intelektual pertahanan nasional yang menasihatinya untuk belajar tema konsolidasi demokrasi dan tampaknya menjadi “guru bayangannya”. Disamping ada sosok guru bayangan lain yang ia samarkan dalam buku itu.

Tiga karya Anom Surya Putra mengalami perubahan total pasca terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Bersama kawan pergerakannya, Jaringan Komunikasi Desa (Jarkom Desa), Anom mulai menapak pada pembacaan situasi lapangan.

Ia menulis buku Ruwat BUM Desa Merpati (Jarkom Desa, 2017). Ciri khas tulisannya adalah mengemas bahasa filsafat secara popular, membumikan bahasa langit menjadi bahasa bumi yang mudah dicerna oleh para pembaca. Tulisan kelas doktoral yang dihasilkan dengan bernas oleh sarjana legal researcher.

Semakin lama pemikiran Anom menukik pada kritik teori dengan basis lapangan. Frasa “Ponggok, Inspirasi Kemandirian Desa” merupakan sintesis dari proses pergulatan pemikiran Anom tentang Kemandirian Desa melalui optimalisasi modal ekonomi dan modal sosial yang ada di Desa.

Untuk mengenali isi buku ini Anom memberikan roadmap bagi pembaca. Terdiri dari 7 (tujuh) etape untuk mempermudah pemahaman pembaca terhadap gagasan besar dalam buku.

Etape pertama, Pendahuluan. Disinilah kita bisa mulai menemukan makna dari sub-judul buku: “Menjelajahi Badan Hukum BUM Desa”. Dipaparkan oleh penulis pada bagian ini perihal gagasan besar ide penulisan yang berangkat dari sebuah studi empirik melalui penelitian hukum dengan pendekatan non-doktrinal.

Penulis mendeskripsikan gagasan besarnya perihal Badan Hukum Desa berangkat dari kajian empirik di BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten.

Kemudian pengalaman itu distrukturkan agar berdiri sebangun melalui beberapa diskursus antara lain: studi hukum adat, restorasi Republik Desa sebagai cara berhukum Desa, teori sosiologis badan hukum organik, dan teori terapan analisis dampak pengaturan dan peraturan perundang-undangan bercirikan Desa.

Etape kedua, penulis mengajak pembaca untuk berdarmawisata pemikiran melalui pendekatan kesejarahan untuk mengenali Desa.

Penulis memperkenalkan artefak pemikiran tentang Desa dengan membaginya menjadi 3 (tiga) zaman. Mulai zaman pra-sejarah dan negara kerajaan kemudian zaman kolonial dan pasca kemerdekaan.

Etape ketiga, penulis mengajak pembaca untuk mengenal lebih dalam perihal entitas Badan Hukum Desa dari kaca mata teori personalitas badan hukum, model korporasi fiksi serta model korporasi organik. Penulis juga memaparkan dari sisi kesejarahan tentang keberadaan entitas Badan Hukum Desa sebelum keberlakukan UU No. 6/2014 tentang Desa serta pasca kerberlakuan UU Desa itu.

Etape keempat, penulis mulai melakukan kajian komperehensif secara dialektis. Antara apa yang seharusnya dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Hasil telaah teoritisnya perihal keberadaan Badan Hukum Desa dalam dalam kaca mata teori sosiologi dan kaca mata teori badan hukum justru dibawa melesat ke ruang lain yakni realitas empirik BUM Desa Tirta Mandiri.

Konstruksi gagasannya kurang lebih ambisius. Adanya fakta sosial dan sejarah bahwa Badan Hukum Desa memiliki ciri personalitas kolektif sebagai badan hukum organik.

Tetapi personalitas itu bertarung dengan model korporasi fiksi yang direproduksi sejak masa kolonial. Maka, buku ini berupaya keras menemukan titik pijak bahwa model Badan Hukum Desa adalah entitas baru yang memiliki ciri khas secara sosial.

Pada sisi yang lain keberlakuan normatif UU Desa dijadikan pijakan secara berdampingan (ko-eksistensi) untuk menyempurnakan sintesis penulis.

Secara faktual ada dua hal penting yang digunakan oleh BUM Desa Tirta Mandiri untuk merepresentasikan dirinya sebagai Badan Hukum Desa. Yakni, ketika melakukan kerja sama dengan pihak ketiga karena terkait erat dengan legal standing subjek hukum serta terkait dengan hak kontraktual, permodalan dan aset.

Secara terbalik, kita mulai paham maksud penulis bahwa kalau tidak ada niatan kerjasama BUM Desa dengan institusi bisnis (diluar Desa) maka tidak akan muncul isu Badan Hukum.

Etape kelima, penulis menawarkan dua gagasan besar yakni kepastian hukum BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa dan pengelolaan kelembagaan BUM Desa. Penulis menegaskan bahwa proses legitimasi pengakuan atas badan hukum BUM Desa lebih tepat dimulai pada skala lokal Desa.

Setelah itu, proses berlanjut pada pengakuan administratif yang dilakukan oleh kekuasan negara terhadap BUM Desa. Desa terlebih dahulu memproduksi opini-opini publik pada skala lokal Desa berupa kriteria-kriteria BUM Desa sebagai badan hukum bercirikan Desa.

Tahap berikutnya, kekuasaan negara mengakui BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa.

Sampai disini, buku ini melawan mainstream teori badan hukum. Sejernih-jernihnya teori badan hukum kita kenali selama ini, ternyata tampak kusut ketika digunakan membaca fenomena sosiologis BUM Desa.

Kepastian hukum BUM Desa dimulai dari Desa itu sendiri, dan bukan berawal dari pengakuan formal (rekognisi-formal) yang dijalankan oleh kekuasaan negara.

Bukankah hal ini tampak otentik bahwa buku ini menempatkan Desa sebagai subjek daripada objek diskursus badan hukum.

Etape keenam, penulis mendeskripsikan perihal tindakan strategis Menteri Desa. Untuk mengakui eksistensi dan esensi badan hukum Desa serta pedoman pembentukan entitas BUM Desa.

Tawaran penulisnya adalah ada sebuah Peraturan Menteri Desa yang menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Desa adalah badan hukum publik bercirikan Desa menurut kriteria-kriteria yang diatur dalam Peraturan Menteri.

Menteri Desa berwenang memfasilitasi BUM Desa pada skala nasional untuk menerbitkan peraturan Menteri yang mengakui BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik bercirikan Desa.

Personalitas BUM Desa otomatis menyandang status badan hukum bila terdapat rekognisi formal melalui hukum publik.

Kita bisa mengupas rekognisi formal itu secara terbalik melalui istilah Cara Berhukum Inkorporasi. Kekuasaan negara memonopoli rekognisi formal atas status personalitas BUM Desa sebagai badan hukum melalui hukum publik.

Akibatnya ketika peraturan perundang-undangan Desa tidak menyatakan bahasa tekstual-yuridis bahwa BUM Desa adalah badan hukum publik bercirikan Desa maka status badan hukum BUM Desa selalu dipertanyakan.

Penulis menyampaikan closing remark dalam etape ketujuh. Kalam penutup buku berupa catatan kesimpulan dan saran.

Studi kasus Ponggok pada buku ini mengalami perluasan (ekstensifikasi) sebagai perjuangan politik.

Menteri Desa memiliki wewenang supaya mengakui perjuangan itu melalui perubahan peraturan Menteri Desa. Untuk menjamin status badan hukum BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa.

Penulisan buku ini telah membuka selubung kepentingan yang dicita-citakan oleh penulisnya secara tidak sadar.

Institusi kekuasaan modal seperti perbankan dan pihak korporasi swasta akan dengan cepat memposisikan BUM Desa (sebagai Badan Hukum), untuk siap bekerja sama melalui mekanisme perjanjian kerjasama (berbagi modal dan bagi hasil).

Misi semacam ini sudah tidak lagi berbicara teori dan kritik teori hukum, tapi perjuangan politik yang kembali akan dilakoni oleh penulisnya sendiri.***

Scroll To Top