Lewati ke konten

Pemerintah Harus Menerbitkan Kembali Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Segera!

Novel Abdul Gofur

Ahli Tata Kelola Kepemerintahan (Governance / Institutional Specialist)

Sampah yang ada di perkotaan di Indonesia banyak ditemukan tidak terkelola dengan baik

WIKIMEDIA/Aldo Samulo

Buruknya pelayanan persampahan di kabupaten dan kota di Indonesia sudah menjadi perihal umum. Sampah-sampah yang ada di perkotaan di Indonesia banyak ditemukan tidak terkelola dengan baik.

Semisal, jarangnya Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).

Kalaupun ada TPS dan TPST, itu jauh dari kondisi normal yang sesuai peraturan teknis kementerian. Belum lagi, sangat sedikitnya program dan kegiatan untuk 3 R (reduce, reuse dan recycle) untuk masyarakat (umum dan sekolah).

Selain itu, hampir semua Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Kabupaten dan Kota masih menggunakan pola open dumping atau pembuangan sampah di lahan terbuka tanpa proses pemilahan dan pengelolahan yang benar.

Mendapatkan masalah ini semua, serta dengan optimis untuk kita semua memperbaikinya, dan juga dalam rangka melengkapi aturan kementerian teknis, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) untuk dapat beroperasi di kabupaten dan kota dengan efektif, serta untuk tidak gagapnya dalam mendapatkan potensi pendapatan dari EPR dan pendanaan lainnya yang sah, maka, mau tidak mau, suka tidak suka, senang tidak sedang, Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Persampahan HARUS AMAT SEGERA diterbitkan kembali.

Kewenangan Pengelolaan Persampahan

Beberapa tahun belakangan, merebaknya arus urbanisasi di Indonesia telah menimbulkan masalah lingkungan.

Salah satu isu lingkungan yang amat bahaya adalah terkait dengan buruknya penanganan pengelolaan persampahan perkotaan (kabupaten dan kota).

Isu pengelolaan persampahan perkotaan ini, selain berdampak bahaya terhadap lingkungan, juga telah menimbulkan dampak buruk terhadap keadaan sosial dan perekonomian.

Dampak lingkungan yang ada seperti pencemaran udara dari tumpukan sampah yang mengeluarkan gas metan dan air lindi yang belum diproses yang masuk ke dalam tanah (banyak terjadi di open dumping site); serta makin massive-nya pencemaran danau/waduk, sungai dan lautan oleh limbah plastik dan mikroplastik.

Untuk dampak sosialnya adalah rendahnya kepedulian/empati warga terhadap keberadaan sampah di sekitar lingkungannya sehingga mengganggu estetika kehidupan sehari-hari.

Tersedotnya anggaran pemerintah daerah untuk pengangkutan (dan pemeliharaan) serta tipping fee ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); biaya tambahan untuk pembersihan sampah yang menumpuk di saluran air/kali/sungai; serta dampak ongkos kesehatan akibat sampah merupakan beberapa penyebab-penyebab pembiayaan yang timbul dan berdampak pada masalah keuangan/perekonomian secara keseluruhan.

Seperti kita ketahui semua bahwa pengelolaan persampahan yang sudah menjadi (salah satu) pelayanan publik Pemerintah Kabupaten dan Kota ini ditandai dengan diserahkannya kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota, atau yang kerap kita kenal dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten dan Kota terkait dengan Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sub-urusan Persampahan; serta di lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup (LH), Sub-Bagian Persampahan

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia telah dimulai dari tahun 1999 melalui UU Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 dengan dibarengi pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah No 23 Tahun 1999.

Melalui kedua UU ini, kewenangan Pemerintah Pusat diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta pembiayaan untuk pelaksanaan urusan dari kewenangan yang diberikannya tersebut.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2014 UU Pemerintahan Daerah ini mengalami perubahan yaitu dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, pada prinsipnya semangat untuk pelaksanaan otonomi daerah / pelaksanaan kewenangan lokal atas urusan provinsi dan kabupaten/kota tetap masih ada.

Melalui kewenangan lokal untuk mengurusi urusan pemerintahan kabupaten dan kota, pada tahun 2008, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan diterbitkan bersamaan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Persampahan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (Pengelolaan SRT dan SSRT).

Bahwa peraturan perundang-undangan ini telah seiring sejalan dengan semangat pelaksanaan Otonomi Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Seperti yang tertera di Pasal 9 dan Pasal 10, UU No. 18 Tahun 2008; lampiran UU 23 Tahun 2014 yaitu untuk Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sub-urusan Persampahan; serta di lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup (LH), Sub-Bagian Persampahan, serta pada Pasal 2 dan Pasal 3 Permendagri No. 33 Tahun 2010.

Melihat lengkapnya peraturan perundang-udangan tentang pengelolaan persampahan, serta dengan didukung berbagai sumber keuangan yang ada (dana transfer, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bantuan keuangan pusat dan provinsi, hibah, kerjasama, dan pendapatan lain-lainnya yang sah), kiranya sudah selayaknya kekuatan Pemerintahan Kabupaten dan Kota selaku pelaksana kewenangan untuk urusan persampahan kabupaten dan kota dapat terlaksana dengan baik.

Kondisi Terkini

Pelaksanaan pengelolaan persampahan di kabupaten dan kota di Indonesia masih jauh dari harapan seperti yang dicita-citakan di UU No. 18 Tahun 2010, dan PP No. 81 Tahun 2012.

Sampai tahun 2020 ini, hampir semua TPA yang jumlahnya sekitar 438 TPA dari 514 Kabupaten dan Kota di Indonesia, belum melaksanakan amanat regulasi dari UU Pengelolaan Persampahan tersebut.

Pasal 44 PP UU No. 18 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa 5 tahun setelah UU ini diterbitkan untuk dilaksanakan, pelaksanaan pengelolaan controlled landfill dan/ataupun sanitary landfill di TPA harus dilaksanakan, dalam hal ini tidak ada lagi pelaksanaan pengelolaan open dumping di TPA di kabupaten dan kota.

Sementara itu, melalui Kementerian PUPR, anggaran untuk perencanaan penutupan open dumping dan pembangunan sistem control landfill dan sanitary landfill tersebut telah disiapkan.

Kondisi lainnya yang juga hampir sama dengan isu diatas adalah waste collection rate atau tingkat pengumpulan sampah di Indonesia yang masih 39 %.

Ini artinya sampah yang tidak terkumpul itu dapat berakhir dibakar, tercecer di daratan, terbuang di selokan/drainase lalu mengalir ke sungai-sungai dan berujung di muara / lautan.

Indonesia di tahun 2018 menyabet polutan sampah di lautan ke-2 setelah Cina dan Sungai Citarum pernah menjadi sungai tekotor di dunia dari sampah / libah padat dan cair di tahun 2017.

Hal lainnya seperti pemanfaatan Waste to Energy yang ramah lingkungan dari sampah organic belum banyak dimanfaakan, atau sangat amat sedikit presentasenya dibandingkan dengan kebutuhan bauran kebutuhan energi terbarukan di Indonesia.

Pemanfaatan sampah dengan konsep ekonomi sirkular, khususnya daur ulang, yang belum banyak dimanfaatkan secara structural baik oleh Pemerintah (Pusat s/d Desa) maupun masyarakat itu sendiri. Walhasil, presentase kegiatan sampah daur ulang secara nasional hanya 7 %.

Selain itu para pelaku pemanfaatan daur ulang sampah, seperti Bank Sampah {yang resmi (mempunyai lembaga), atau hanya pelapak} dan pelapak, itu masih menjadi bulan-bulanan oleh para pelapak besar/utama maupun oleh para industri daur ulang sampah plastik untuk penjualan sampah plastik (dan sejenisnya) serta sampah kertas/kardus (dan sejenisnya).

Dalam hal ini, para pelaku Bank Sampah mendapatkan harga yang tidak setimpal atau dimainkan sepihak oleh para pelapak besar dan industri daur ulang tersebut (memonopoli harga).

Semestinya, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) selaku regulator, dapat membantu menstabilkan harga, atau membantu subsidi pelaku Bank Sampah ini.

Kondisi-kondisi diatas yang sudah buruk malah bertambah buruk, dan makin runyam dikarenakan kekosongan aturan pelaksanaan pengelolaan persampahan di tingkat kabupaten dan kota, yaitu karena telah dicabutnya Permendagri No. 33 Tahun 2010 melalui Permendagri No. 20 Tahun 2016 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Daerah Tahap III tertanggal 19 April 2016.

Scroll To Top