Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Omnibus Law Cipta Kerja: Menyambut (de)Sentralisasi Baru

Dr Halilul Khairi

Kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Omnibus Law Cipta Kerja

Ilustrasi (DOK)

Sebuah Strategi Baru

Kehadiran RUU Omnibus Law Cipta Kerja awalnya diyakini sebagai sebuah strategi dan harapan baru dalam mewujudkan pelayanan publik yang sederhana, bersih, dan transparan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi yang lebih tinggi serta dapat menciptakan lebih banyak lapngan kerja baru untuk mengatasi pengangguran di Indonesia. Jumlah dokumen perizinan yang sangat banyak dan prosedur Perizinan yang berbelit-belit serta pungutan yang memberatkan investor menjadi salah satu faktor yang diyakini menghalangi dan menghambat daya tarik investasi di Indoensia.

RUU Omnibus Law diharapkan menjadi instumen kebijakan “sekali pukul” untuk menghapus dan menyederhanakan berbagai jenis perizinan dan nonperizinan yang diamanatkan dalam berbagai undang-undang sektoral dengan tidak perlu merevisi undang-undang tersebut satu persatu. Namun sayangnya RUU ini melebar dengan membagun berbagai asumsi yang menyasar dan membawa konsekuensi pada berbagai aspek yang sangat fundamental.

Salah satu asumsi yang dibangun adalah keberadaan otonomi daerah sebagai salah satu penghambat investasi, sehigga dalam RUU ini terlihat sangat jelas adanya keinginan untuk mereduksi makna otonomi daerah dan mereduksi kedudukan daerah otonom yang dapat berdampak pada demokrasi lokal dan kemajemukan daerah di Indonesia.

Ketentuan dalam Pasal 162, 163, 164 dan 166 RUU Omnibus Law menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana kewenangan Presiden yang sejajar dengan kementerian/lembaga. Konsekuensinya adalah  kedudukan pemerintah daerah sama dengan kedudukan menteri/kepala LPNK yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Sejalan dengan pemikiran itu pulalah maka RUU ini memberikan wewenang kepada Presdien melalu penetapan Perpres untuk membatalkan Perda. Konstruksi demikian itu menenpatkan daerah otonom tidak lagi sebagai kesatuan masyarakat hukum (locality/rakyat daerah) yang berhak mengatur diri sendiri berdasarkan azas otonomi sebagaimana yang dimanatkan dalam Pasal 18 UUD 1945, melainkan menjadi sebuah instansi/jabatan yang berada dibawah Presiden.

Pemikiran ini kelihatannya dibangun untuk menempatkan semua kebijakan dan keputusan pemerintahan tersentralisasi pada pemerintah pusat.

Otonomi Daerah dan Daerah Otonom

Daerah otonom adalah sekolompok warga negara (masyarakat hukum) yang mendiami wilayah tertentu yang oleh undang-undang diberi hak untuk mengatur urusan tertentu berdasarkan prakarsa sendiri (azas otonomi). Keberadaan daerah otonom adalah wujud pengakuan negara akan keberagaman masyarakat yang mempunyai nilai, budaya, keyakinan dan kondisi yang berbeda-beda.

Mereka oleh konstitusi dan undang-undang diberi hak untuk mengatur diri sendiri berdasarkan nilai-nilai, budaya dan kondisi lokal yang dapat berbeda satu sama lain. Untuk menyelenggarakan hak-hak otonomi tesebut, maka rakyat daerah membentuk pemerintahan daerah yaitu DPRD dan Pemerintah Daerah yang diberi mandat oleh rakyat daerah.

Kewenangan dan kekuasaan DPRD dan Kepala Daerah merupakan pancaran dari hak otonomi rakyat daerah yang diberikan oleh konstitusi dan undang-undang, bukan pancaran dari kekuasaan Presiden.

Oleh karena itulah maka anggota DPRD dan Kepala Daerah dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh Presiden. Menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana kewenangan Presiden merupakan pengingkaran kepada asaz otonomi yang diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.

Otonomi Daerah di Negara Kesatuan

Negara kesatuan bukanlah bentuk negara sentralistik yang semua kekuasaan ada pada tangan eksekutif pusat. Konsep negara kesatuan menurut C.F Strong mengacu pada sistem pembagian kedaulatan. Kedaulatan dibagi menjadi kedaulatan ke luar (external sovereignty) dan kedaulatan ke dalam (internal sovereignty).

Kedaulatan ke luar adalah independensi terhadap negara lain, sedangkan kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan membuat undang-undang. Berdaulat ke dalam artinya adanya kebebasan tanpa batas untuk membuat undang-undang sesuai dengan kehendak warga negara tersebut. Pada negara federal kedaulatan dibagi antara negara federal dengan negara bagian dimana umumnya kedaulatan ke luar ada pada pemerintah federal dan kedaulatan ke dalam ada pada negara bagian, sedangkan pada negara kesatuan kedaulatan tidak terbagi, artinya daerah otonom tidak bebas membuat peraturan, melainkan dibatasi oleh undang-undang yang dibuat oleh negara.

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah-daerah provinsi dibagi ke dalam kabupaten/kota. Kemudian Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi. Artinya bahwa UUD mengamanatkan adanya pembagian urusan pemerintahan negara kepada daerah.

Ketentuan Pasal 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD harus dimaknai bahwa kekuasaan Presiden bukan tidak terbatas, melainkan dibatasi oleh UUD, dimana UUD dalam Pasal 18 sudah mengamanatkan pembagian kekuasaan secara vertikal (negara dan daerah) yang diatur dengan undang-undang, dan pembagian kekuasaan negara secara horizontal (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Hubungan pemerintah daerah dengan eksekutif pusat tidak hirarkis jabatan atasan-bawahan, karena kewenangan pemerintah daerah merupakan pancaran dari hak otonomi rakyat sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hubungan pusat dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan berupa hubungan hirarki kedaulatan, dimana pemerintahan daerah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan yang dibuat oleh negara. Eksekutif pusat berwenang melakukan pengawasan terhadap daerah otonom untuk menjaga agar tidak terjadi pelanggaran kedaulatan oleh daerah, namun tidak dapat ikut serta secara langsung dalam mengurus kewenangan daerah.

Kewenangan daerah otonom bukanlah pelaksanaan dari kewenangan Presdien. Secara manajemen, pemerintah pusat terpisah dengan pemerintah daerah dan masing-masing merupakan badan hukum (recht person) yang memiliki hak dan kewajiban sendiri-sendiri.

Investasi dan Otonomi  Daerah

Kebijakan kemudahan investasi harus dirancang sedemikian rupa agar pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja semakin baik, namun kebijakan tersebut seyogyanya tidak mengganggu sistem ketatanegaraan yang sudah dibangun dalam konstitusi.

Konsultasi terbuka dengan melibatkan banyak pihak akan menjamin hadirkannya kebijakan yang lebih baik dalam membangun bangsa Indonesia di masa depan. ***

Scroll To Top