Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Kesimpangsiuran Sampah = Konteks Saat Ini Tidak Sama Dengan Aturan

Novel Abdul Gofur

Ahli Tata Kelola Kepemerintahan (Governance / Institutional Specialist)

Ruwet permasalahan SAMPAH dimulai dari pembagian urusan kewenangannya, yaitu SAMPAH yang dikelola di Dinas PUPR, dan dilain pihak dikelola oleh Dinas LHK. Dualisme!

Menjadi tambah sengkarut, karena konteks saat ini (keadaan/masalah) dibarengi dengan aturan yang tidak sejalan.

Contohnya yang “berbunyi di PP dan Permen”, pengelolaan persampahan yang membagi tanggung jawab, yaitu sampah dari RT ke TPS menjadi tanggung jawab RT/RW, dan dari TPS ke TPA menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Angka 39 % waste collection rate di Indonesia, dan adanya penggalan pengelolaan tanggung jawab perSAMPAHan, niscaya target 70 % di 2025 untuk penanganan sampah tidak akan tercapai.

Di Indonesia ini apa sih yang tidak simpang siur? Dari urusan yang amat dibenci, gak dirindukan, bau dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit, yaitu SAMPAH, dan juga sampai dengan urusan RUU HIP yang saat ini sedang ramai digeruduk oleh Ormas2 di pusat kerja formalnya para wakil partai (belum wakil rakyat), di DPR Senayan sana.

SAMPAH Simpang Siur?

Boleh dibilang begitu, kenapa begitu? Awalnya begini…. Disatu pihak SAMPAH diurusi oleh Dinas PUPR/ Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (kabupaten dan kota) secara fisiknya dan menjadi urusan wajib pelayanan dasar.

Dilain pihak, SAMPAH menjadi urusan wajib namun bukan pelayanan dasar yang dikelola oleh Dinas LHK/Lingkungan Hidup dan Kebersihan (kabupaten dan kota).

Pembagian urusan pengelolaan kewenangan yang telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah ini telah diatur melalui UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada Kegamangan

Dalam penafsiran dan pelaksanaan urusan kewenangan ini – akibat tidak utuhnya kewenangan ini diletakan hanya pada satu dinas saja. Dengan dualisme ini, sangat dimungkinkan overlapping kegiatan yang ujung-ujungnya tidak efisiennya penggunaan anggaran Pemerintah Daerah. Selain itu, dengan kondisi koordinasi yang lemah – penyakit birokrasi, maka akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang sama dalam pengelolaan persampahan.

SAMPAH → “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”

Peribahasa itu tepat sekali untuk menganalogi isu perSAMPAHan di Indonesia.

Sudah karena simpang-siur karena pembagian urusan kewenangan, namun masih ada juga aturan yang mendukungnya tidak utuh atas membaca konteks saat ini (bahkan telah terjadi pada saat diterbitkannya UU Persampahan-UU 18 Tahun 2008) s/d masa 15 s/d 20 tahun kedepan.

Contoh kasusnya adalah, aturan pengangkutan sampah yang dari RT/Rumah Tangga s/d TPS/Tempat Penitipan sementara itu dilakukan (pengumpulan & pengangkutan) oleh community institution (lembaga komunitas di tingkat RT/Rukun Tetangga dan RW/Rukun Warga)

Sedangkan untuk kabupaten dan kota pengumpulan & pengangkutan dari TPS ke TPA/Tempat Pemrosesan Akhir sampah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).

Walaupun secara keseluruhan pengelolaan persampahan (pengumpulan, pemilahan, pengangkutan, dan pemrosesan) itu tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Dualisme! Ketidakjelasan dan akhirnya berakibat – salah duanya – pengelolaan sampah saat ini tidak pernah selesai di tingkat tapak/komunitas. Walhasil, amatlah mudah rekan-rekan semua melihat sampah berserakan setelah 3 s/d 10 langkah keluar dari rumah.

Sesungguhnya, seharusnya dan idealnya tanggung jawab penuh pengelolaan sampah dari RT s/d TPA itu harus Pemerintah Daerah.

Tentunya tanggung jawab penuh ini harus disertakan bantuan pendanaan dan bantuan teknis dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi.

Di kota-kota negara maju (Belanda, Australia, dan negara maju di benua eropa lainnya), serta di negara peer-countries seperti Malaysia, Brazil, Filipina, pengelolaan persampahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (kota-kota).

Saat sampah RT diletakan di tempat (tong-tong) sampah di depan rumah, maka petugas kebersihan kota mengangkutnya (baik ke TPST/Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) atau langsung ke TPA.

Namun demikian, terlepas itu – pengelolaan sampah dari RT s/d TPA – menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah, bukanlah tidak boleh community institution terlibat di pengelolaan persampahan.

Sangat amat dibolehkan, karena mazhab persampahan itu adalah waste management at sources/Pengelolaan Persampahan dari sumber (RT dan atau Kawasan).

Banyak sekali champion-champion dari kepala desa dengan BUMDes nya, pengelola Bank Sampah, serta pelaku-pelaku sukarela yang di community free waste movement dengan moto gerakan bebas sampah berhasil di tingkat komunitas.

Namun karena skalanya mikro dan knowledge basis nya belum banyak terstrukturkan, lebih pada tacit knowledge, maka impact untuk skala kabupaten dan kota belum amat banyak terlihat.

Berbicara konteks, maka itu berbicara tentang masalah (keadaan) yang ada saat ini , dan tentang aturan yang sigap untuk menghadapi keadaan saat ini.

Contoh kasus pada saat ini waste collection rate di Indonesia itu masih 39 %, maka mau tidak mau, waste management at sources-nya itu harus dibarengi dengan pengelolaan persampahan yang harus bersandar pada angkut – kumpul – buang (RT s/d TPA), yang ini lagi-lagi ditekankan harus menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Daerah.

Mendapat gambaran simpang-siur antara konteks dan aturan, maka mau tidak mau aturan yang menyebutkan dualisme itu harus dirubah.

Melihat konteks, suka tidak suka, “bunyi” diaturan pelaksana baik itu di Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen) sudah seharusnya pengelolaan persampahan (pengumpulan, pemilahan, pengangkutan dan pemrosesan) dari RT s/d TPA harus menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Kota).

Selain itu, sudah seyogyanya, pelayanan persampahan harus masuk menjadi kaegori urusan wajib pelayanan dasar.

Maksudnya, baik dari sisi soft approach maupun hard approach, itu harus di ranah sanitasi (kebersihan) – acuan dokumen perencanaannya – salah tiganya – adalah Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK).

Dengan semangat untuk tidak “telanjur basah dan terlanjur dalam” dikesimpangsiuran ini, upaya telah dilakukan oleh saya yaitu dengan menyampaikannya ke pemangku kepentingan (advokasi) – melalui media zoom meeting pada hari Senin, 13 dan 17 Juli 2020, antara lain ke BAPPENAS yaitu ke Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, serta ke Direktur Lingkungan Hidup.

Di upaya advokasi ini, sangatlah tidak fair dan etis apabila membebankan suatu tanggung jawab terhadap sesuatu tanpa ada bantuan untuk kapasitasnya dalam menjalankan tanggung jawabnya.

Maka, selain dari meluruskan kesimpangsiuran ini, usulan lainnya yang juga disampaikan ke Bappenas adalah agar adanya alternative variasi pendanaan untuk pengelolaan persampahan kabupaten dan kota, atau dalam “Bahasa Betawi-nya”: There Must be a Fully Dedicated Waste Management Funding for Kabupaten and Kota. ***

Scroll To Top