Lewati ke konten

“Halu”Nya RUU Haluan Ideologi Pancasila

Yulia Indrianingtyas

Peneliti di Pusat Kajian dan Anggaran (Puskadaran) Sekretariat Jenderal DPD RI

RUU HIP

RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) adalah inisiatif dari DPR RI yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna tanggal 12 Mei 2020. Saat ini pembahasan RUU tersebut tengah menunggu dikeluarkannya surat dari Presiden. Tulisan ini akan mencermati beberapa problematik atas kehadiran RUU HIP, sebagai landasan argumentasi untuk mendorong pembatalannya.

Focal Point

Mempelajari agenda rapat dari laman dpr.go.id, diketahui bahwa pembahasan RUU ini jauh dari keterlibatan publik. Dalam kurun waktu sejak dilakukan RDPU hingga disahkan, RUU ini dibahas hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan dan nyaris tidak ada masukan dari berbagai elemen masyarakat dalam proses penyusunannya. Tercatat RDPU hanya dilakukan 1 (satu) kali bersama 2 (dua) orang pakar pada 11 Februari 2020, tanpa RDP dengan instansi terkait. Kemudian dilanjutkan 2 (dua) kali paparan Tim Ahli dan 2 (dua) kali penyusunan RUU oleh panitia kerja yang bersifat tertutup. Pembahasan diakhiri laporan panitia kerja pada menjelang akhir April 2020 sebelum disahkan pada 12 Mei 2020. RUU ini disusun tanpa uji publik.

Tampaknya ada suatu paradoks yang kurang elok ketika rancangan produk hukum yang mengusung Pancasila itu, dalam proses penyusunannya justru menafikkan makna Sila IV Pancasila itu sendiri. Tidak tercermin proses demokrasi sedikitpun dengan mendengarkan aspirasi masyarakat dari segala elemen. Perlu ditambahkan, bahwa draft naskah akademik dan RUU HIP ini disusun oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Tim Ahli, tidak sebagaimana pembentukan RUU lainnya yang dilakukan oleh Badan Keahlian DPR.

Derasnya penolakan publik terhadap RUU HIP secara umum ditujukan atas 2 hal, yakni tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunis/Marxisme; dan konsep simplifikasi Pancasila menjadi trisila yang dikristalisasi menjadi ekasila. Absennya TAP MPRS tersebut di satu sisi – padahal sangat terkait dengan substansi RUU HIP – dan pengkonstruksian sila-sila Pancasila di sisi lain, dihadapkan dengan intoleransi yang merupakan isu berkepanjangan sejak mengemuka pada masa kampanye pilpres, membawa publik kembali menengok sejarah tentang eksistensi Pancasila dalam kehidupan bernegara. Ada ketidakrelaan publik jika fakta sejarah, dimana Pancasila didudukkan sebagai falsafah negara oleh the founding fathers, dibelokkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan sesaat.

Penolakan publik ini merupakan early warning system bahwa Pancasila, yang tampak hanya sebagai asesori ketatanegaraan setelah berakhirnya era Orde Baru, ternyata terinternalisasi dalam pemahaman kehidupan berbangsa dan bernegara setiap warganegara. Upaya pengubahan nama RUU HIP menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP), atau usulan lain menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP), terkesan sebagai strategi berkelit untuk meloloskan agenda. Sebegitu pentingkah agenda dalam RUU HIP harus digulirkan menjadi norma hukum dalam bentuk undang-undang, sampai-sampai menihilkan early warning system?

Terdapat sejumlah problem ketika RUU ini, apapun namanya, dipaksakan menjadi sebuah kebutuhan hukum. Ada problem filosofi, kelembagaan, fungsional, sosiologis, dan historis yang penting untuk diulas guna menyudahi pemaksaan agenda yang disinyalir akan me-reset nation character building bangsa Indonesia.

Problem Filosofis

The founding fathers menempatkan Pancasila sebagai philosofische grondslag, fundamen, falsafah, dan landasan pikir dalam mendirikan negara Indonesia. Dalam tata hukum nasional, Pancasila adalah staatsfundamentalnorm, sebagai rechtsidee yang menjadi acuan hukum positif. Kedudukan staatsfundamentalnorm ini berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ada di puncak piramida, tertinggi dibanding norma hukum lainnya, bahkan lebih tinggi dari konstitusi. Oleh karena kedudukannya, maka upaya menempatkan Pancasila ke dalam hukum positif setingkat undang-undang adalah suatu kesesatan filosofis.

Terlebih nomenklatur usulan penamaan RUU-nya keliru secara maknawi. “Haluan Idelogi Pancasila” adalah suatu contradictio in terminis, karena Pancasila adalah philosofische grondslag, dan Pancasila adalah ideologi itu sendiri. “Pembinaan Ideologi Pancasila” lebih keliru lagi, karena melakukan pembinaan kepada ideologi dari Pancasila sebagai ideologi. Pembinaan semestinya ditujukan kepada masyarakat dalam pelaksanaannya. “Badan Pembinaan Ideologi Pancasila” lebih jauh lagi kekeliruannya, karena tidak saja menyangkut penamaan RUU-nya melainkan juga menyangkut problem kelembagaan.

Problem Kelembagaan

Kebutuhan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diwujudkan Presiden dengan diterbitkannya Perpres Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Dirasa secara struktural terlampau lemah mengingat kedudukannya bersifat non struktural di bawah Presidan, dan tidak ada jaminan keberlanjutan jika ada suksesi, maka untuk melaksanakan tugas tersebut direvitalisasi dan ditingkatkan menjadi oleh sebuah badan, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018. Usulan pengubahan nama, dari RUU HIP menjadi RUU PIP atau RUU BPIP, membawa muatan yang sama yakni mengukuhkan eksistensi BPIP. Ada upaya meningkatkan kedudukan BPIP dari semula ditetapkan melalui Keputusan Presiden menjadi undang-undang. Pertanyaannya: apakah langkah ini tepat?

Terlepas dari eksistensi BPIP saat ini, terlebih jika nanti ditetapkan dalam undang-undang, tugasnya dalam melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila berpotensi menimbulkan konflik kewenangan dengan lembaga lain. Fungsi pembinaan  ideologi Pancasila misalnya, menjadi bagian dari tugas MPR dalam memasyarakatkan Pancasila. Pasal 5 UU MD3 mengamanatkan tugas memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika kepada MPR.

Tugas MPR tersebut lebih dikenal dengan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara, walaupun Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 menyatakan bahwa frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Penting digarisbawahi bahwa menurut MK, mendudukkan Pancasila sederajat dengan UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika akan menimbulkan kekacauan epistimologis, ontologis, dan aksiologis karena Pancasila memiliki kedudukan tersendiri sebagai falsafah negara. Artinya Pancasila memiliki kedudukan lebih tinggi dari 3 pilar lainnya, tidak dapat disejajarkan untuk menggenapi 4 pilar.

Putusan MK tersebut dilakukan dalam kerangka kedudukan MK sebagai the sole interpreter of the constitution, lembaga yang menafsirkan konstitusi. Sedangkan konstitusi memuat fundamen dan cita hukum yakni Pancasila. Secara tidak langsung, MK mempunya kewenangan untuk menafsirkan Pancasila, dimana Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 adalah ruh sekaligus batu uji untuk memutuskan apakah suatu undang-undang sejalan atau tidak. Dengan kata lain constitutional review oleh MK menempatkan rechtsidee Pancasila untuk mengarahkan undang-undang bersifat konstitutif.

Lalu di manakah kedudukan BPIP? Di lain hal, publik masih belum lupa dengan isu hak keuangan yang dinilai terlampau tinggi bagi dewan pengarah BPIP.

Problem Fungsional

Kesalahan pemahaman memaknai Pancasila sebagai philosofische grondslag, sebuah rechtsidee, dan staatsfundamentalnorm, terbukti berimplikasi terhadap problem fungsional. Sejarah mencatat bahwa Orde Lama dan Orde Baru telah gagal mendudukkan Pancasila sebagaimana cita-cita the founding fathers. Pancasila lebih dijadikan alat legitimasi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Anti Pancasila berarti anti penguasa. Kesalahan ini selalu berujung pada tumbangnya rezim penguasa.

Orde Lama terjebak mendudukkan Pancasila dalam Manipol-USDEK (Manifesto Politik – UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Bangsa Indonesia). Dalam konsep arah pembangunan nasional semacam GBHN ini, yang ditetapkan melalui TAP MPRS No. 1/MPRS/1960 tanpa batas waktu, Pancasila dijadikan ideologi negara melalui kedudukannya sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia. Kegagalan Orde Lama meningkat sejak dicetuskannya Nasakom – konsep yang blunder dengan makna Pancasila itu sendiri.

Orde Baru juga terjebak kekeliruan dalam mendudukkan Pancasila. Puncak kegagalan Orde Lama yang ditandai dengan peristiwa G30S/PKI menjadi titik balik bagi Orde Baru untuk mengambil langkah penanaman nilai-nilai Pancasila secara all out. Sejarah kelam atas pertarungan nasionalis–agama–komunis yang mencapai titik kulminasi dengan pemberontakan G30S/PKI begitu membekas sehingga Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai antitesis Orde Lama. Implementasi atas upaya itu dibentuklah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7), sebagai jaminan bahwa “mahzab” Pancasila ditanamkan sebagai kepribadian setiap WNI. Penataran P-4 hukumnya “wajib ain” ketika memasuki jenjang pendidikan.

Seiring tumbangnya Orde Baru, era reformasi juga melakukan antitesis terhadap Pancasila. Kebencian terhadap rezim yang berkuasa lebih dari 3 dasawarsa, dengan Pancasila sebagai alat pukul untuk melanggengkan status quo, mendorong pembubaran BP-7 melalui TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Belajar dari sejarah setiap era, upaya antitesis semacam ini adalah langkah gegabah, segegabah menunjuk artis yang tidak hafal Pancasila sebagai duta Pancasila.

Apakah RUU HIP adalah lanjutan dari langkah antitesis terhadap Pancasila? Bukankah sejarah sudah menunjukkan bahwa jika Pancasila didegradasi untuk propaganda legitimasi kekuasaan maka kepentingan itu akan berakhir tidak secara elegan?

Problem Sosiologis

Siapapun yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan saat ini, adalah warganegara Indonesia yang sudah kenyang dengan Penataran P-4 dan pernah hafal 36 butir Pancasila. Jika penanaman nilai-nilai Pancasila melalui berbagai pola jam pengajaran saat itu berhasil, semestinya kita menuai hasilnya saat ini. Indikatornya antara lain rendahnya tingkat korupsi dan tindak kejahatan, meningkat drastisnya IPM dibarengi rendahnya indeks gini, tidak menajamnya intoleransi, dan dikeluarkannya produk-produk hukum yang sesuai kebutuhan masyarakat. Konklusinya adalah bahwa para pemangku pemerintahan, yang notabene manusia Pancasila, tidak menyertakan nilai-nilai Pancasila dalam setiap produk kebijakan yang dikeluarkannya.

Ketika indikator-indikator itu masih jauh panggang dari api, artinya ada permasalahan sosiologis yang masih menjadi PR dan perlu memikirkan kembali metode internalisasi nilai-nilai Pancasila. Misalnya menelaah mengapa Jepang bisa menginternalisasi nilai-nilai budaya tanpa berkorelasi dengan rezim. Jangan sampai kehadiran RUU HIP, RUU PIP, RUU BPIP, atau apalah namanya, justru mengulangi kesalahan yang berdampak sosiologis ini.

Problem Historis

Pancasila sebagai falsafah negara, philosofische grondslag, harus diakui sebagai sebuah nilai yang tumbuh dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Namun bagaimanapun harus diakui pula bahwa Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm lahir melalui kompromi. Kompromi bermartabat didapat melalui perdebatan tajam, yang menyatukan golongan agama dan golongan nasionalis.

Lima dasar yang disebut Pancasila pertama kali dikemukakan Soekarno pada Sidan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Lalu Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, naskah yang nantinya dijadikan Preambule UUD 1945, juga menuangkan lima dasar Pancasila. Kompromi bermartabat menjadikan bunyi kelima sila Pancasila berubah sebagaimana dibacakan pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dengan menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yakni “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Resistensi publik terhadap pengusulan RUU HIP salah satunya berakar dari problem historis ini. Publik antipati terhadap upaya menggugat sejarah Pancasila, yang dilakukan dengan cara meremehkan dialektika tokoh-tokoh bangsa dan menafikkan proses kesepakatan penuh martabat.

Epenkah?

Epenkah? Begitu kata orang Papua untuk menanyakan apakah hal itu penting. Beberapa problem yang terdeteksi telah menjelaskan lebih banyaknya mudharat daripada manfaatnya dalam memperjuangkan RUU HIP. RUU “halu” ini lebih baik dihapuskan dari daftar Prolegnas, bukan hanya ditunda. Karena pertaruhannya besar : nation and character building. ***

Scroll To Top