Lewati ke konten

Dari Social Distancing Sampai dan Titik Hening

Kang Abi

Penggagas dan Fasilitator Komunitas Duduk Diam Meditasi

Social Distancing Pada Masa Pandemi Covid-19

Dok Pexels/COTTONBRO

Jeda dalam Titik Hening

Wednesday Slow Mechine adalah nama salah satu program highlight di radio station tempat saya pernah bekerja 10 tahun lalu.

Program yang mengajak pendengarnya untuk jeda dan melambatkan kecepatan segala aktifitasnya. Seharian penuh, listener dimanjakan hanya oleh lagu, dan hanya memutar lagu slow bernuansa cinta, romantis yang diharap berdampak melambatnya gerak fisik dan pikiran.

Kita memang perlu mendisiplinkan diri untuk sengaja jeda dan melambat, bahkan menurut saya, mampu untuk berhenti jeda adalah sejenis keterampilan langka yang mendesak untuk kita miliki hari ini.

Keterampilan inilah yang akan mengembalikan kewarasan diri dan arah hidup yang melenceng dari visi hidup: kebahagiaan lahir dan batin.

Ketergesaan lalu ingin cepat-capat telah menjauhkan kesempatan kita berintim (bonding) dengan proses. sementara jeda, di mana gerak fisik dan psikis melambat, adalah tindakan cerdas, yang dapat merawat dan memelihara momen proses dari saat ke saat dengan perhatian dan kesadaran penuh selama beraktifitas.

Seperti pada balap mobil Formula satu, seorang pembalap (tak peduli seberapa handal dan cepatnya ia dapat memacu kendaraannya) akan mengambil kesempatan pit-stop.

Pada momen ini, si pembalap mengatur strategi, ia mendapat perbaikan mesin, mengisi bahan bakar, mengganti roda, mendapat pengarahan, petunjuk dan selanjutnya ia melaju dengan kesegaran baru.

Demikian pula dengan jeda, berhenti beberapa saat adalah healing bagi fisik dan mental yang kelelahan. Kita “mengisi” ‘bahan bakar’ yang adalah spirit hidup holistik, yang menghubungkan selalu setiap tindakan dengan potensi kearifan primordial untuk memberi arahan dan petunjuk bahwa, kebahagiaan lahir-batin bukanlah sesuatu yang jauh dari si diri yang mengejarnya, juga suatu langkah cepat, taktis, praktis dan akurat muncul bukan sebagai respon kalut, tapi suatu spontanitas (terlihatnya) yang menemukan momentumnya.

Hari ini, ketika wabah COVID-19 telah menelan ribuan korban jiwa, akhirnya bukan saja kita di tanah air, tapi masyarakat dunia, berhenti jeda dan menarik diri, menjaga jarak (social distancing) untuk mencegah meluasnya penyebaran virus yang tak kenal ampun ini.

Selain sebagai suatu cara perlawanan kita dengan virus ini, mungkin hikmah lainnya adalah, alam sedang mengambil kesempatannya memanggil “pulang” manusia untuk “nyepi” di rumah, tidak melakukan aktifitas di luar, tidak menjalin kontak langsung dengan orang lain juga tidak membuat kegiatan yang mengundang kerumunan.

Hanya dalam kesempatan seperti inilah kita juga dapat berdiam diri dalam pengertian lain, yakni menelusuri batin ke titik heningnya melalui pengamatan seksama atas apa yang tengah berlangsung di luar diri dan mengamati segala reaksi batin (cemas, ketakutan, khawatir, bimbang, ragu tak menentu, dst) atas segala rangsangan dari luar yang ditangkap indra lahiriah kita.

Berdiam seperti di atas dapat kita lakukan beberapa menit saja, sendiri ataupun bersama keluarga selagi kita di rumah saja seperti keadaan saat ini.

Masing-masing dapat mengambil postur duduk yang baginya cukup nyaman, lalu salah seorang dapat memandu yang lain. Sekilas panduan teknis, sebelum memejamkan mata, mula-mula dengarkan apapun yang dapat terdengar tanpa perlu bereaksi atas yang terdengar.

Biarkan juga mata memandang apapun yang terlihat, tanpa perlu bereaksi dengan apa yang terlihat. Setalah beberapa saat, mata dapat mulai dipejamkan, berdiam sepenuhnya. Biarkan nafas keluar masuk dengan alami, tidak memerlukan usaha apapun untuk nafas masuk maupun nafas keluar.

Biarkan tubuh berdiam dan tenang, biarkan pula pikiran beraktifitas sebagaimana sifatnya yang selalu bekerja aktif, karena secara alami pikiran akan menempatkan dirinya pada keadaan yang pasif, tenang dengan sendirinya dan berhenti bergiat.

Semakin pikiran melambat semakin ia mendekat pada kedaan diam dan tenang, memungkinkan peluang batin menuju ke titik heningnya, yang membawa bimbingan kedamaian, ketentraman, kecerahan dan kebahagiaan.

Sampai titik ini, kita dapat mengembangkan metta meditation dengan membisikan perasaan welas asih, ”Semoga semua makhluk berbahagia, semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan”.

Sumber bacaan: Robert Holden, Ph.D – “Success Intelligence”

Scroll To Top