Jakarta, desapedia.id – Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah hadir sebagai salah satu narasumber pada talkshow Kajian Desa bareng Iwan (Kades Iwan) yang tayang secara langsung di TV Desa pada Selasa (23/5/2023) lalu.
Di Talkshow yang mengusung tema “Makna 25 Tahun Reformasi bagi Desa” itu, Luluk menjelaskan soal usulan kenaikan Dana Desa yang bersumber dari APBN menjadi Rp 5 miliar per desa.
“Revisi UU Desa itu menurut saya menjadi sangat penting karena dapat memastikan yang Rp 5 miliar setiap desa usulan Pak Muhaimin Ketua Umum kami. UU Desa yang saat ini memberi amanat 10 persen, tetapi ketika amanat UU itu hanya bicara tentang 10 persen dan itu tidak disebutkan nominalnya, maka ini relatif menjadi semacam mainan pingpong diantara pihak pengambil keputusan”, tegas Luluk.
Luluk menjelaskan selain Dana Desa yang menjadi mandatory spending UU Desa, alokasi anggaran dari APBN untuk desa tersebar di mana – mana dan tata kelolanya tidak terkoordinasi dengan baik. Luluk menyebutnya masih “terpecah belah”.
“Misalnya yang terkait dengan Bansos ternyata masuknya di kementerian Sosial, infrastruktur ternyata juga masih ada sebagian di tempat lain yang kaitanya dengan irigasi yaitu di Kementerian PUPR dan Kementerian Pertanian, kemudian penanganan stunting desa di Kementerian Kesehatan. Dan lainnya itu masih nyebar di mana – mana”, keluhnya.
Menurut Luluk, Dana desa menjadi Rp 5 miliar setiap desa itu sebenarnya mengintegrasikan dari semua sumber alokasi pendanaan untuk program – program yang strategis dari berbagai kementerian.
“Pengintegrasian ini harus dipastikan tercantum di revisi UU Desa, sehingga anggaran untuk desa tidak pecah belah lagi dan itu sudah jelas koordinasinya, juga sudah jelas perencanaannya, itu juga sudah pasti semuanya kemudian juga pasti terintegrasi dan yang paling tepat lagi adalah tepat sasaran”, ujar Luluk.
Melalui pengintegrasian anggaran untuk desa tersebut, Luluk menambahkan, akan memudahkan program dan anggarannya menjadi tepat sasaran.
“Karena akan berbasis pada data yang riil yang dihasilkan oleh desa setempat, desa itu sendiri yang tahu jumlah persis stuntingnya misalnya berapa, desa yang tahu persis jumlah lansia dan jumlah orang hamil, karena desa – lah yang tahu persis kebutuhan pembangunan misalnya jalan usaha tani, irigasi, bangun jalan harus berapa kilometer”, jelasnya.
Luluk menilai, dengan pembangunan desa berdasarkan basis data yang benar – benar bersumber dari desa, maka Rp 5 miliar per desa ini merupakan keniscayaan.
“Saya sampaikan contoh kasus lainnya, di Kementerian Kesehatan dan Kantor Wapres konon ada dana hingga ratusan trilun untuk percepatan penanganan stunting, pernah kita dapatkan informasi ini dari Kantor Wapres bahwa dana percepatan stunting itu lebih kurang di atas Rp 300 triliun, nah pertanyaan saya waktu itu dana ini menyebarnya di mana saja, Apakah itu masuk di Kementerian Kesehatan semuanya atau itu ada di Kementerian Desa PDTT atau ada di mana? Nah ini kan ada terjadi situasi yang carut – marut”, timpal Luluk.
Luluk menambahkan, kondisi tersebut sesungguhnya disebabkan oleh politik anggaran masing – masing Kementerian dan Lembaga sehingga alokasinya itu masih menyebar di mana – mana.
“Nah kita ingin mengkonsolidasikan itu, sehingga kita kembalikan kepada Desa. Karena itu usulan Rp 5 miliar per desa harus mendapatkan dukungan dari semua pihak. Sebenarnya bukan hanya untuk memastikan terjadinya peningkatan kapasitas fiskal agar desa bisa mengalokasikan berdasarkan kebutuhan – kebutuhan yang riil sesuai masukan warga desa, tetapi kami juga ingin melakukan penguatan akuntabilitas dan transparansi di dalam pengelolaan pemerintahan desa sesuai semangat reformasi”, tutup Luluk. (Red)