Lewati ke konten

Sebut Pemdes Sebagai Pemerintahan Palsu, Ini Penjelasan Prof Hanif Nurcholis

Sebut Pemdes Sebagai Pemerintahan Palsu, Ini Penjelasan Prof Hanif Nurcholis - Desapedia

Aparatur pemerintahan desa (Ilustrasi)

Jakarta, desapedia.id – Guru Besar Universitas Terbuka, Prof. Dr. Hanif Nurcholis dalam talkshow Kajian Desa bareng Iwan (Kades Iwan) yang disiarkan langsung di TV Desa pada edisi Selasa (18/1) lalu, sempat menyebut Pemerintahan Desa adalah pemerintahan palsu.

Pernyataan Prof Hanif ini sesungguhnya sudah pernah disampaikannya melalui sebuah tulisan di jurnal yang dimuat oleh Prof Hanif laman media sosialnya beberapa bulan lalu.

“Beberapa teman ada yang bertanya kepada saya tentang tulisan saya di jurnal, buku, dan media lain yang menyebut pemerintahan desa itu pemerintahan palsu. Agar mudah memahami argumen saintifiknya berikut ini saya jelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti”, ujarnya.

Prof Hanif mengatakan, menurut ilmu administrasi negara dan ilmu pemerintahan yang dipelajarinya, pemerintahan itu terdiri atas pemerintah pusat dan daerah otonom (local self-government). Pemerintah pusat terdiri atas pemerintah pusat di pusat (presiden dan kabinet), pemerintah pusat di daerah yang disebut wilayah administrasi (local state government), dan kantor cabang kementrian/lembaga di daerah yang disebut instansi vertikal (field administration).

“Lalu daerah otonom itu terdiri atas daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota. Daerah otonom mempunyai organisasi perangkat daerah/OPD berupa dinas, badan, kantor. Di samping itu daerah otonom juga punya council yang disebut DPRD. Pemdes itu bukan itu semua, bukan pemerintah pusat di pusat, bukan wilayah administrasi, bukan instansi vertikal, bukan daerah otonom, dan bukan organisasi perangkat daerah”, ungkap Prof. Hanif.

Prof. Hanif lalu mempertanyakan adanya kop surat di desa yang tertulis Pemerintahan Desa.

“Ini analognya, ada orang yang bukan tentara tapi memakai seragam tentara dengan atribut dan pangkat tentara. Melihat fenomena ini orang kampung saya bilang, “itu tentara palsu”. Maka Pemdes jelas bukan bagian dari pemerintahan sebagaimana saya jelaskan di atas, kok memakai cap Pemerintahan Desa, maka saya sebut pemerintahan palsu”, terangnya.

Karena itu, Prof Hanif memastikan bahwa Pemdes sebagai pemerintahan palsu dilihat dari sudut pandang ilmu administrasi negara.

“Saya kasihan melihat rakyat desa dan pemerintahannya itu. Kepala desa disuruh memakai pakaian pejabat negara seperti camat dan bupati. Padahal dia bukan pejabat negara. Perangkat desa disuruh memakai pakaian ASN padahal bukan ASN. Nah, ini sama dengan seseorang yang bukan tentara tadi tetapi memakai pakain tentara maka disebut tentara palsu. Analog dengan ini maka Kades yang memakai pakaian pejabat negara adalah pejabat negara palsu. Perangkat desa yang memakai pakaian ASN adalah ASN palsu”, sambungnya.

Prof Hanif melanjutkan, terkait Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang bukan council atau DPRD tetapi disuruh melaksanakan fungsi DPRD.

“Ini kan sama dengan bank titil di desa–desa. Bank titil (bank keliling) ini bukan bank tapi melaksanakan fungsi bank yaitu meminjami uang. Orang kampung aku bilang itu bank palsu. Analog dengan bank titil ini, karena BPD itu bukan council tetapi melaksanakan fungsi council maka ya saya sebut council palsu”, jelas Prof. Hanif.

Prof. Hanif menambahkan, yang lebih aneh bin ajaib lagi adalah Pemdes itu tidak mempunya0 organisasi perangkat desa atau OPDes sebagaimana Pemkab yang punya OPD atau Organisasi Perangkat Daerah).

“Lalu RT, RW, Karang Taruan, PKK, LPMDes, LINMAS, P3A, dan LKDes lainnya difungsikan sebagai OPDes untuk melaksanakan kebijakan desa. Jadi LKDes disamakan dengan OPD Kabupaten. Kalau OPD Kabupaten ya benar sekali karena fungsi OPD memang melaksanakan kebijakan Pemkab dan OPD bagian integral dalam struktur Pemkab. Kalau LKDes kok difungsikan sebagai pelaksana kebijakan Pemdes kan aneh sekali karena LKDes bukan bagian dari struktur pemerintahan desa. LKDes itu organisasi kemasyarakatan di luar struktur organisasi Pemdes, kok disuruh melaksankaan kebijakan Pemdes. Karena LKDes difungsikan mirip dengan OPD Kabupaten maka orang kampung saya juga menyebut LKDes itu OPDes palsu”, ucapnya.

Dengan dibentuknya pemerintahan palsu di Desa, Prof Hanif menyebut rakyat desa menjadi korban yaitu tidak mendapatkan barang publik dan jasa publik dari negara.

“Orang desa membutuhkan perawatan kesehatan, Pemdes tidak memberikan karena ia hanya pemerintahan palsu. Orang desa yang rata–rata petani butuh bibit, pupuk, obat–obatan pertanian, sarana produksi pertanian, traktor bajak, irigasi tersier, gudang penyimpanan padi, cold storage untuk ikan hasil tangkapan nelayan, Pemdes tidak menyediakan karena hanya pemerintahah palsu”,

“Orang desa butuh transportasi publik agar kalau pergi-pulang ke kota tidak susah dan mahal, Pemdes tidak menyediakan karena hanya pemerintahan palsu. Orang desa butuh air bersih, Pemdes tidak menyediakan karena hanya pemerintahan palsu. Orang desa butuh sanitasi dan pembuangan sampah agar lingkungan desa sehat, Pemdes tidak mengurus karena hanya pemerintahah palsu. Orang desa yang berumur 17 tahun butuh KTP, Pemdes hanya menjadi calonya yaitu menstempel surat pengantar lalu melempar ke kecamatan lalu dilempar lagi ke Dinas Dukcapil Kabupaten, karena Pemdes hanya pemerintahan palsu”, ujar Prof Hanif. (Red)

 

 

Scroll To Top