Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Perlukah Desa Baduy Dalam Dibuatkan Perda Desa Adat? Begini Penjelasan Prof Hanif dan Prof Jimly

Jakarta, desapedia.id – Pada Rabu (11/05) lalu, desapedia.id mengikuti diskusi antara Guru Besar Universitas Terbuka, Prof. Dr. Hanif Nurcholis dengan Pakar Hukum Tata Negara yang juga anggota DPD RI, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie di laman media sosial Prof. Hanif Nurcholis. Diskusi itu membahas tentang Peraturan Daerah (Perda) Desa Adat.

Diskusi itu diawali dengan pertanyaan perlukah Desa Baduy–Dalam, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten dibuatkan Perda Desa Adat?

Prof. Hanif Nurcholis menjelaskan, Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat.

Menurut Cornelis van Vollenhoven (1901) dan Ter Haar (1933, 2013), Prof Hanif melanjutkan penjelasannya, kesatuan masyarakat hukum adat adalah komunitas organik yang terikat dan mematuhi hukum adat. Ciri–cirinya adalah sebagai berikut:

  1. Komunitas organik yang peri kehidupannya terikat dan mematuhi hukum adat;
  2. Mempunyai pemerintahan adat sebagai instrumen melaksanakan hukum adat;
  3. Mempunyai tanah pusaka sebagai tempat penghidupannya (beschikkingrech);
  4. Mempunyai batas–batas yang jelas atas keberlakukan hukum adat pada komunitasnya (adatrecht kringen/adatrecht gouw);
  5. Mempunyai benda–benda materiil dan non materiil serta mempunyai benda-benda magic yang dikeramatkan;
  6. Komunitasnya tertutup bagi komunitas luar; dan
  7. Menolak semua regulasi dari negara.

“Dalam riset saya di Baduy Dalam, masyarakat ini adalah salah satu kesatuan masyarakat hukum adat karena mempunyai 7 ciri tersebut”, ujar Prof. Hanif.

Prof. Hanif menyatakan Apakah ia perlu diatur dengan sebuah Perda? Menurutnya tidak perlu, karena sudah diatur dalam konstitusi, yaitu pasal 18 B ayat 2 UUD NRI 1945.

“Tugas negara cukup membuat UU Erkenning/Pengakuan atas kesatuan masyarakat hukum adat saja. Hal ini juga sesuai dengan Konvensi ILO Nomor 169 tahun 1989 jo. Deklarasi PBB  thn 2007  tentang Hak–Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Jadi, bukan diatur dengan Perda. Tetapi dengan UU Erkenning yang berlaku secara nasional. Adapun kasus per kasus dapat didelegasikan kepada wakil pemerintah pusat di daerah,” tegas Prof. Hanif.

Prof Jimly Asshiddiqie setuju dengan pernyataan Prof. Hanif. Menurutnya, prinsip desentralisasi asimetris juga bisa diterapkan untuk pemerintahan desa dan kesatuan masyarakat hukum adat, sehingga untuk apa diseragamkan. Maka pengaturan rinci sangat diperlukan di tiap–tiap Kabupaten.

Terkait ciri–ciri kesatuan hukum masyarakat adat yang disampaikan Prof Hanif, Prof Jimly memberikan tambah catatan untuk point 3 dan 7.

“Ini catatan tambahan saya untuk poin 3. Di beberapa daerah Timur seperti Maluku Tenggara dan daerah lainnya, ada juga konsepsi hak ulayat atas kawasan perairan, maka pengertian tanah pusaka harus diperluas mencakup wilayah pusaka adat berupa tanah pusaka, air dan perairan serta wilayah udara”, tegas Prof. Jimly.

Sedangkan untuk tambahan Point 7, lanjut Prof. Jimly, bisa sebagai temuan faktual deskriptif, tetapi dijadikan state policy yang resmi harus ditundukkan pada kesepakatan tertinggi dalam UUD yang oleh Pasal 18B ayat (2) sudah dibatasi oleh (i) prinsip perkembangan (peradaban) dan (ii) prinsip NKRI yang tidak boleh ditolak oleh subjek hukum siapapun dan apapun.

Menanggapi hal tersebut, Prof Hanif Nurcholis mengatakan, pada kasus masyarakat Baduy-Dalam, pembatasan pasal 18B ayat 2 UUD NRI 1945 yaitu (i) prinsip perkembangan (peradaban) dan (ii) prinsip NKRI yang tidak boleh ditolak oleh subjek hukum siapapun dan apapun sudah menyatu dengan sistem pemerintahan adatnya.

“Pemerintahan adatnya adalah pemerintahan fungsional mirip pemerintahan western modern. Hukum adatnya meskipun bukan civil law atau common law atau syariah Islam tetapi humanis dan civilized”, timpal Prof. Hanif.

Prof. Hanif menambahkan, kesetiaan kepada NKRI menyatu dalam tata kelola pemerintahan adatnya yaitu ritual seba. Dalam ritual ini, masyarakat Baduy menyampaikan kesetian mutlak kepada otoritas NKRI dengan cara jalan kaki mempersembahkan hasil bumi dari tanah pusakanya kepada Bupati Lebak, Gubernur Banten, dan Presiden RI setahun sekali.

“Jadi, menurut hemat saya negara tinggal melakukan erkenning saja”, ungkap Prof. Hanif.

Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Prof Jimly Asshiddiqie, tinggal ubah redaksinya saja, bukan menolak tapi mengatur sendiri segala urusan pemerintahan dan pembangunan dalam wilayah kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang–undangan nasional, terutama di bidang hukum pidana.

Berdasarkan masukan Prof. Jimly tersebut, Prof. Hanif menimpalinya, maka ciri ke–7 kesatuan masyarakat diperbaiki sebagai berikut: “Mengatur sendiri tata kelola pemerintahan dan pembangunan dalam wilayah kesatuan masyarakat hukum adatnya berdasarkan hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang–undangan nasional, terutama di bidang hukum pidana. (Red)

 

Scroll To Top