Lewati ke konten

Negara Beradat, Adat Bernegara Menurut Dr. Sutoro Eko

Jakarta, desapedia.id – Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta, Dr. Sutoro Eko menjadi narasumber pada FGD “Pengembangan kapasitas lembaga Saniri yang aspiratif pada pembangunan masyarakat desa adat di Kota Ambon,” di Jogja (23/1).

FGD yang diselenggarakan oleh Unika Soegijapranata Semarang didukung LPDP itu dihadiri sepuluh orang ahli diantaranya dua profesor dari Universitas Pattimura Ambon.

Sutoro Eko menyampaikan materi berjudul Negara Beradat, Adat Bernegara.

Dalam materi tersebur mengulas tentang bagaimana memandang dan menempatkan Indonesia sebagai negara bangsa modern dan negeri bangsa yang memiliki keragaman adat, suku dan masyarakat lokal, bisakah hal-hal baik berjalan bersama?

Menurut Sutoro Eko, salah satu prinsip normatif penghormatan dan pengakuan adat pada Pasal 18 UUD 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional.

Sedangkan pada Pasal 28i berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Menurut Sutoro Eko, Indonesia adalah negara semesta yang mengenal kerakyatan dan kewargaan sekaligus mengakui-menghormati (rekognisi) terhadap adat.

Namun, lanjut Sutoro Eko, negara semesta tidak pernah hadir, yang hadir adalah negara developmentalis-modernis yang mewarisi negara kolonial dan disepuh dengan neoliberalisme.

Dalam diskursus desa dan adat, Sutoro Eko mencatat ada empat mazhab. Pertama romantis-esensialis (membela dan mempertahankan), kedua revisionis-radikal (melawan), ketiga orientalis-modernis (mengubah tapi memanfaatkan) dan keempat konstruktivis-transformatif (memuliakan dan memperkuat).

Sutoro menjelaskan, satu contoh UU atau peraturan kaku di kertas tapi lentur di lapangan, terkait kepala desa yang jadi tersangka korupsi dana desa. Dari 2000-an kasus hanya 900-an yang benar-benar korupsi. Sisanya karena laporan keuangan yang tidak beres. Ada juga Kades yang nekat membangun kantor desa dengan dana desa meskipun dilarang. Karena itu kebutuhan dan tak ada dana yang dikorupsi maka Kemendagri dan Kemendesa membela Kades itu.

Tentang lembaga adat Saniri itu sendiri,  di Kota Ambon kini ada 22 Negeri Adat yang dipimpin seorang Raja atau Kepala Desa. Badan Saniri Negeri merupakan jantung dari kesatuan masyarakat adat suatu negeri.

Setelah sesi diskusi yang cukup mendalam, Sutoro Eko yang pada 2010 mengadakan penelitian di Ambon itu menggarisbawahi “Hukum positif menjerat manusia, hukum liberal bisa menjerumuskan manusia. Maka dibutuhkan hukum deliberatif yang memuliakan manusia.  (Red) (Foto: Humas STPMD/APMD)

Scroll To Top