Lewati ke konten

Komitmen Kepala Desa Lemah, Dana Desa Rawan Dikorupsi

Komitmen Kepala Desa Lemah, Dana Desa Rawan Dikorupsi - Desapedia

Ilustrasi. (Foto: Ist)

Jakarta, desapedia.id – Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bak angin segar bagi seluruh desa di Indonesia. Sebab, UU Desa ini telah mengamanatkan adanya aliran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembangunan desa.

Bantuan yang dikenal dengan nama Dana Desa ini telah mulai berjalan sejak tahun 2015. Tercatat, pemerintah pusat telah menyalurkan Rp20,67 triliun pada tahun 2015, Rp46,98 triliun pada tahun 2016, Rp60 triliun pada tahun 2017 dan tahun 2018, serta Rp70 triliun pada tahun 2019. Dengan demikian, total Dana Desa yang disalurkan dalam lima tahun berjalan sebesar Rp257 triliun.

Dari catatan itu, komitmen pemerintah pusat untuk mengimplementasikan Dana Desa memang patut diacungi jempol. Bahkan di berbagai kesempatan, Presiden RI Joko Widodo memastikan bahwa besaran anggaran Dana Desa tidak akan pernah dikurangi. Justru, anggaran Dana Desa akan terus ditingkatkan setiap tahunnya.

Tak dipungkiri, Dana Desa memang menjadi instrumen penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Tapi, bagaimana implementasi Dana Desa di tingkat desa? Sudahkah sejalan dengan arahan pemerintah pusat? Sudahkah kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa bertindak sesuai aturan?

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, perangkat desa yang diantaranya kepala desa, sekretaris desa dan lainnya, justru menempati urutan ketiga pelaku korupsi terbanyak pada tahun 2018, setelah pihak swasta (kedua), dan pegawai pemerintah daerah (pertama).

“Peringkat ketiga diduduki oleh aktor baru yaitu perangkat desa dengan jumlah 158 terdakwa atau 13,61 persen,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Menurut ICW, munculnya tren perangkat desa yang melakukan korupsi tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pelaksanaan program Dana Desa itu sendiri. Artinya ada sistem yang belum mumpuni yang mengakibatkan para perangkat desa berbondong-bondong melakukan korupsi.

Ketua DPD Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Provinsi Bengkulu, Juniaheri, merasa tak heran dengan catatan ICW tersebut.

Komitmen Kepala Desa Lemah, Dana Desa Rawan Dikorupsi - Desapedia
Ketua DPD Apdesi Provinsi Bengkulu, Juniaheri.

Dia menilai, secara rata-rata kualitas sumber daya manusia (SDM) para kepala desa masih sangat rendah. “Jadi wajar saja ketika [Kades] melihat uang banyak, mereka memikirkan cara bagaimana bisa mengambil keuntungan dari pelaksanaan program Dana Desa,” ucap Juniaheri kepada Desapedia.id.

Di samping itu, dia mengungkapkan tingginya biaya politik pemilihan kepala desa. “Belum lagi pengembalian dana yang sudah dikeluarkan ketika pencalonan kepala desa, mungkin saja dananya dapat dari pinjaman. Itulah kondisi kepala desa yang sedang menjabat sekarang. Tapi memang ada juga kades yang berkualitas, tapi bisa dihitung dengan jari,” beber Juniaheri.

Dia juga membeberkan akal-akalan kades saat membangun dengan anggaran Dana Desa. “Kadang-kadang kades kurang berani membangun yang hasilnya terlihat langsung oleh masyarakat. Mereka maunya di belakang-belakang agar tidak kelihatan oleh masyarakat. Dan di situlah para kades dan pelaksana teknisnya mengambil keuntungan.”

Jadi, Juniaheri menyimpulkan, komitmen kades untuk memberantas korupsi sangat lemah. “Cenderung tidak ada pengetahuan mereka untuk pemberantasan korupsi. Dan setelah mereka menjalankan pemerintahan justru akal-akalan,” ucapnya.

Penuturan Juniaheri tersebut memang sangat sesuai dengan fakta di lapangan. Hal tersebut berdasarkan pantauan Desapedia.id di sejumlah desa yang ada di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Di Kabupaten Bekasi, banyak masyarakatnya yang tidak mengetahuinya secara jelas penggunaan Dana Desa. “Wah, gak tahu. Jalan-jalan desa memang dibangun, tapi kami tidak tahu darimana anggarannya, dan berapa biaya untuk bangun jalannya,” kata warga setempat yang enggan disebutkan namanya.

Tak hanya itu, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsi pengawasannya juga masih belum optimal. “Gimana mau kritis, anggota BPD juga kebanyakan orang-orangnya (pendukung) lurah (kades),” ujar warga lainnya. (Red)

Scroll To Top