Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Gaji Pendamping Lokal Desa Jauh di Bawah UMK

Pendamping Desa

Ilustrasi / Salni Setiadi

Pendamping Desa merupakan tenaga kerja yang bertugas di beberapa lini pemerintahan desa. Di tingkat provinsi dan kabupaten dikenal dengan sebutan ‘tenaga ahli’ (TA). Sedangkan di kecamatan dikenal dengan ‘pendamping desa’ (PD), dan di tingkat desa dinamakan ‘pendamping lokal desa’ (PLD).

Sebelum lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Istilah ‘Pendamping Desa’ di semua tingkatan wilayah tersebut, dikenal dengan fasilitator PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri Pedesaan.

Jika merujuk Pasal 129, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, tugas ‘pendamping lokal desa’ (PLD) yakni mendampingi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, kerja sama desa, pengembangan BUMDes, dan pembangunan yang berskala lokal.

Lalu, berapa besar honor yang diterima seorang PLD per bulannya? Seorang PLD di wilayah Kabupaten Demak mengungkapkan, gaji pokok yang diterimanya hanya sebesar Rp1.700.000. “Beda jauh dengan UMK (Upah Minimum Kabupaten) Demak yang mencapai Rp2.300.000,” ucap PLD yang enggan disebutkan namanya itu.

Terlebih lagi jika harus membandingkan dengan honor yang diterima pendamping desa tingkat kecamatan (PD). “Honor mereka (PD) Rp3.500.000 perbulannya. Angka itu cukup ideal, tapi sayangnya hanya untuk PD bukan PLD,” ujarnya.

Tak hanya itu, jika dibandingkan dengan upah TA, maka upah PLD sangat jauh berbeda. “Honor mereka hampir diatas Rp6 juta per bulannya”, tambahnya.

Meski honor PLD berada paling bawah, bukan berarti pekerjaan mereka ringan. Seorang PLD lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Temanggung, mengatakan, pekerjaan PLD cukup riskan. Sebab, mereka bersinggungan langsung dengan desa yang terkadang juga memiliki konflik internal.

“Rewangi mumet, sik bahagia desanya, apik rak dipuji, elek dicaci maki, ikulah resiko PLD”, (Dibantu sampai pusing, yang bahagia desanya, kerja bagus tidak dipuji, jelek dicaci maki, itulah risiko PLD),” keluhnya.

Bahkan, menurutnya, ada oknum PD yang melakukan permainan nakal. “Kami menyebutnya dengan istilah ‘menjahit’,” ungkapnya.

Maksudnya, jelas dia, PD menerima jasa pembuatan beberapa proposal maupun SPJ (Surat PertanggungJawaban) sebuah desa, kemudian mendapatkan bayaran yang cukup besar dari pemerintah desa. Tapi pada penyelesaian konflik desa dan pengumpulan data, semuanya dilemparkan ke PLD.

“Walaupun satu korps yang sama, pemerataan kerja dan pendapatan yang jauh berbeda menjadi momok yang mengerikan,” ujarnya kesal. (Indah)

Scroll To Top