Bekasi, desapedia.id – Kehidupan pemulung di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sumurbatu, Kota Bekasi, Jawa Barat, memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak.
Setiap hari, mereka berjibaku di antara gunungan sampah, memilah limbah yang masih memiliki nilai ekonomi. Tak jarang, aktivitas ini dilakukan berdampingan dengan lalu lalang alat berat yang sedang menata sampah, tanpa menghiraukan risiko keselamatan.
Para pemulung di wilayah ini tidak hanya berasal dari penduduk setempat. Banyak di antara mereka yang datang dari berbagai daerah seperti Karawang, Kabupaten Bekasi, Indramayu, Bogor, Banten, dan daerah lainnya. Mereka tinggal di gubuk-gubuk non-permanen dengan kondisi sanitasi yang memprihatinkan.
“Kami berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti di mana banyaknya sampah bernilai ekonomis,” ujar seorang pemulung, Sabtu (15/6/2024). “Kalau di satu titik sudah berkurang sampah yang bisa dijual, ya kami cari lokasi baru. Gubuk-gubuk kami bongkar, lalu dibangun lagi di tempat lain. Begitulah hidup kami, selalu mengejar rezeki di antara tumpukan sampah,” imbuhnya.
Tak jarang, anak-anak mereka yang masih belia pun turut dibawa ke lokasi, mengabaikan ancaman keselamatan dan kesehatan.
Kecelakaan kerja di Bantargebang juga bukan hal yang asing. Mulai dari tertimpa longsor sampah, tertabrak alat berat, hingga kejatuhan batang pohon kerap dialami pemulung. Banyak yang mengalami cacat permanen, bahkan meninggal dunia. Ketiadaan keterampilan dan pendidikan memaksa mereka bertumpu pada kekuatan fisik semata, mewariskan kemiskinan dan keterpurukan pada generasi penerus.
Menyaksikan fenomena yang terus berulang, Narpan atau akrab disapa Apong, mantan pemulung yang kini menjadi tukang servis elektronik bekas, berinisiatif membentuk Komunitas Pemulung Bantargebang Sejahtera (KPBS). “Tujuan KPBS yaitu untuk memperjuangkan hak dan meningkatkan kesejahteraan kawan-kawan pemulung,” ujar Apong.
Bersama sejumlah kawan, dia berharap dapat memantau dan mendata keluarga pemulung secara konkret. Dengan begitu, akses terhadap pendidikan anak, layanan kesehatan, perlindungan hukum, peningkatan keterampilan, serta kesejahteraan bisa lebih mudah diraih.
Lewat KPBS, Apong mengajak para donatur untuk turun langsung menyaksikan kondisi nyata pemulung Bantargebang. “Kami ingin Anda semua melihat langsung bagaimana mereka bertahan hidup di sini. Bukan sekadar dari cerita atau foto,” ajaknya.
KPBS juga berupaya membantu pemerintah menertibkan data kependudukan pemulung secara swadaya. Pencatatan administratif para pekerja informal ini dinilai krusial dalam sistem pemerintahan.
“Data kependudukan itu penting. Tanpa itu, mereka seperti warga negara tanpa negara. Dengan terpantaunya secara rutin, hak-hak sebagai warga negara Indonesia diharapkan bisa lebih mudah dipenuhi,” ungkap Apong. (Pri)