Lewati ke konten
Idul Fitri Almalik Pababari Idul Fitri Almalik Pababari

Beri Masukan untuk RUU Penanggulangan Bencana, Amcolabora Institute akan Gelar Diskusi dan Dialog Antar Masyarakat Desa Soal Dampak Bencana di Perdesaan

Desa Wisata

FOTO/Dok. Ilustrasi

Jakarta, desapedia.id – Ancaman gunung berapi, banjir termasuk banjir bandang , tanah longsor ,abrasi pulau, hingga asap karena kebakaran hutan dan gambut akan selalu lebih banyak dihadapi oleh masyarakat desa terutama bagi masyarakat perdesaaan yang tinggal didaerah rawan bencana.

Kejadian ini kerap berulang setiap tahun, karena Indonesia adalah salah satu negara yang prone to disasters dengan kondisi geografisnya dan akibat perubahan iklim ( climate change). Di masyarakat perdesaan sendiri, kesadaran atas risiko bencana dan mitigasi masih minim  serta belum menjadi paradigma dalam pembangunan wilayah dan desa.

Data dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) memprediksi sekitar 50 ribu desa di Indonesia bahkan rawan bencana alam dalam berbagai jenis bencana yaitu tanah longsor, longsor dan kekeringan adalah jenis bencana yang paling mendominasi.

Sedangkan berdasarkan data Potensi Desa (Podes) 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun  tiga (3)  tahun (2015-2017),  hampir selalu terjadi di seluruh wilayah Indonesia—Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Papua.

Disebutkan bahwa sejumlah  304 desa/kelurahan mengalami kejadian bencana tanah longsor, banjir termasuk kebakaran lahan dan hutan, bahkan terjadi bencana terjadi secara bersamaan dalam kurun satu tahun (multiple disasters). Ditemukan bahwa semua desa belum sepenuhnya memiliki sistem serta fasilitas mitigasi bencana.

Dari 304 desa tersebut pun baru 68 desa (22,3 %) memiliki sistem peringatan dini bencana alam, 18 desa (5,52 %) memiliki perlengkapan peralatan dan 46 desa (15,13 %) memiliki rambu dan jalur evakuasi bencana.

Sedangkan pembuatan, perawatan, atau normalisasi sungai, kanal, tanggul, parit, drainase, waduk, baru ada di 129 desa (42,43 %).

Kesenjangan mitigasi bencana ini sepenuhnya bukan hal baru di Indonesia walaupun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mulai dari peraturan UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, peraturan Presiden/pemerintah, peraturan kementerian/lembaga, hingga Peraturan Desa setelah munculnya Undang-undang Desa No 6/2014.

Bahkan mitigasi bencana setiap desa ini menjadi syarat dalam pengukuran desa dalam Indeks Desa Membangun (IDM) yang dikeluarkan Kementerian Desa  dan Daerah Tertinggal setiap tahun. Salah satu variabel ukur utamanya adalah lingkungan, selain sosial dan ekonomi. Unsur pembagi yang paling tinggi dalam IDM yang menekankan pada lingkungan dan di dalamnya memuat persyaratan mitigasi bencana di desa masing-masing.

Dampak bencana ini akan paling terkena pada masyarakat perdesaan yang miskin akses, paling marjinal dan minim pengetahuan dalam kebencanaan.

Sehingga Amcolabora Institute sebagai lembaga penelitian dan think tank bidang manajemen bencana dan perubahan iklim menginiasi kegiatan diskusi ini pada Minggu, 12 Juli 2020 pukul 14.00 sampai selesai. Diskusi ini akan menggunakan platform zoom meeting. Bagi yang berminat mengikuti Webinar ini dapat melakukan pendaftaran melalui link: https://forms.gle/E7GFb7LRamZyV1tz8 .

Direktur Eksekutif Amcolabora Institute, Nukila Evanty berharap masukan dan hasil diskusi ini dapat menjadi bahan dan renungan untuk pengambil kebijakan pemerintah yang sedang menggulirkan RUU Penanggulangan Bencana. Diskusi ini mengundang beberapa nara sumber langsung masyarakat desa, karena merekalah yang melihat, mendengar, mengalami langsung bencana tersebut.

Scroll To Top